Fluktuasi harga ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia dari Januari-September 2019 terjadi sangat signifikan. Idealnya, harga CPO yakni US$700/ton sehingga stakeholders yang terlibat dapat menikmati keuntungan per satu kali siklus tanam.
Kenyataannya, berdasarkan data Gapki 2019, harga jual CPO tertinggi sepanjang tahun ini mencapai US$575/MT, lalu sempat anjlok menjadi US$520/MT pada bulan September 2019. Indikasi penyebab terjadinya fluktuasi harga tersebut di antaranya pertama, kuantitas dan kualitas produksi TBS yang tidak stabil akibat cuaca kering berkepanjangan sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan jumlah permintaan dan penawaran CPO.
Baca Juga: Pungutan Ekspor CPO Ditunda sampai Tahun Depan
Kondisi persediaan CPO Indonesia saat ini berlimpah sebagai salah bentuk keberhasilan dari pemberlakuan regulasi terkait industri kelapa sawit berdasarkan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) di 566 perusahaan kelapa sawit.
Hasilnya, total produksi TBS mencapai lebih dari 56 juta ton/tahun dan CPO sebanyak lebih dari 12 juta ton/tahun. Namun, permintaan CPO dari negara importir belum mampu menyaingi produktivitas dalam negeri yang berlimpah tersebut. Selain itu, konsumsi minyak sawit di pasar domestik yang hanya 20% dari total produksi nasional perlu ditingkatkan sehingga dapat menjadi alternatif solusi saat pasar ekspor mengalami krisis dan fluktuatif.
Kedua, peran serta minyak kedelai (soybean oil/SBO) sebagai substitusi minyak nabati, rendahnya harga SBO ikut serta mempengaruhi harga CPO. Hal ini terjadi terkait adanya kasus perang dagang antara China-Amerika Serikat.
Sifat konsumerisme China terhadap minyak kedelai menjadikannya harus mencari alternatif lain agar kebutuhan lokal terpenuhi. Akibatnya, impor terhadap CPO baru dilakukan China secara signifikan.
Ketiga, adanya perubahan kebijakan tarif bea masuk CPO dan turunannya ke negara importir juga dapat mempengaruhi harga ekspor CPO. Induk permasalahanya terletak pada peningkatan tarif bea masuk oleh India sebagai importir CPO potensial bagi Indonesia dari 40% menjadi 45% untuk CPO dan untuk produk turunannya dari 50% menjadi 54%.
Tarif bea masuk Indonesia ini lebih tinggi dibandingkan Malaysia dan berdampak pada merosotnya jumlah ekspor sebesar 12% dari tahun sebelumnya. Diskriminasi penetapan tarif bea masuk antara Indonesia dan Malaysia dikarenakan adanya perjanjian Malaysia-India Comprehensive Economic Cooperation Agreement (MICECA) sejak Januari 2019 lalu sehingga pasar India dapat dimasuki oleh Malaysia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: