Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Jaksa Sebut Sofyan Beri Kesempatan Eni Saragih dan Kotjo Korupsi

        Jaksa Sebut Sofyan Beri Kesempatan Eni Saragih dan Kotjo Korupsi Kredit Foto: Antara/Reno Esnir
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menilai bahwa mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) 2016-2018 Sofyan Basir dinilai telah memberikan kesempatan, sarana dan keterangan kepada anggota Komisi VII DPR dari fraksi Golkar Eni Maulani Saragih dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo untuk memuluskan keinginan mereka demi mempercepat kesepakatan PLTU MT Riau-1.

        Baca Juga: Sofyan Djalil Bantah Prabowo Punya HTI di Kaltim

        "Terdakwa telah mempertemukan Eni Maulani Saragih dan Johannes Budisutrisno Kotjo dengan direktur pengadaan strategis 2 PT PLN dan melakukan beberapa kali pertemuan untuk membahas pembangunan proyek PLTU MT Riau-1," kata jaksa penuntut umum KPK Ronald F Worotikan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

        Menurut jaksa, dalam persidangan telah terungkap bahwa sekitar Juli 2017, Sofyan pernah mempertemukan pemilik saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR) Ltd Johannes Budisutrisno Kotjo dan Eni Maulani Saragih dengan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso di ruangan Sofyan.

        "Dalam pertemuan itu terdakwa meminta Supangkat untuk menjelaskan mengenai mekanisme pembangunan IPP berdasarkan Perpres No 4 tahun 2016 yang menjadi acuan PT PLN untuk menugaskan anak perusahaannya bermitra dengan perusahaan swasta dengan syarat kepemilikan saham anak perusahaan PT PLN minimal 51 persen," tambah jaksa.

        Sofyan juga mempersilakan Johannes Kotjo dan Eni untuk langsung berkoordinasi dengan Supangkat terkait proyek pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau-1.

        Dalam rangka membahas proses kesepakatan pembangunan PLTU MT Riau-1 Sofyan juga beberapa kali bertemu dengan Johannes Kotjo dan Eni Saragih baik di BRI Lounge, restoran Arkaida Senayan, di rumah Sofyan dan di kantor pusat PLN.

        "Terdakwa mengarahkan Nicke Wiyawati yang pada saat itu menjawab selaku direktur perencanaan PT PLN untuk tetap memasukkan proyek IPP PLTU Mulut Tambang 2x300 MW di Peranap, kabupaten Indragiri Hulu, Riau ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero)," ungkap jaksa Ronald.

        Berdasarkan fakta hukum, terungkap fakta bahwa pada awal 2017 di hotel Fairmont, Sofyan mengajak Supangkat dan Nicke Wisyawati bertemu Eni Maulani dan Johannes Kotjo. Pada kesempatan itu, Eni dan Johannes meminta kepada Sofyan agar PLTU MT Riau-1 tetap dicantumkan dalam RUPTL PT PLN 2017-2026, kemudian Sofyan meminta Nicke menindaklanjuti permintaan itu.

        "Dapat disimpulkan bahwa terdakwa telah memberikan kesempatan kepada Johannes Kotjo untuk mendapat proyek pembangunan PLTU MT Riau-1," tambah jaksa Ronald.

        Hal tersebut diperkuat dengan Sofyan menandatangani power purchase agreement (PPA) proyek IPP PLTU Mulut Tambang 2x300 MW di Peranap sebelum seluruh prosedurnya dilalui dan dilakukan tanpa membahas sebelumnya dengan Direksi PT PLN (Persero) lainnya.

        Padahal dalam persidangan juga terungkap bahwa ada beberapa direksi PT PLN yang sebelumnya tidak pernah mengetahui mengenai adanya penandatangan PJBTL/PPA namun kemudian diminta untuk menandatangani persetujuan direksi secara sirkuler yaitu Sarwono Sudarto selaku direktur keuangan PT PLN.

        "Yang mana yang bersangkutan baru menandatangani persetujuan direksi secara sirkuler jauh setelah terdakwa menandatangani PJBTL/PPA yaitu pada Mei 2018. Lebih lanjut Muhamad Ali selaku direktur human capital management baru menandatangani persetujuan direksi secara sirkuler pada Januari 2018," ungkap jaksa.

        Sampai terjadinya OTT KPK, Sofyan selaku dirut PLN nyata tidak pernah membatalkan kesepakatan proyek pembangunan PLTU MT Riau-1 dengan CHEC Ltd maupun BNR Ltd padahal negosiasi dengan CHEC sudah berlangsung terlalu lama dan Sofyan malah pernah menyampaikan untuk segera mengganti CHEC Ltd dengan investor lain.

        "Karenanya 'ancaman penggantian CHEC Ltd selaku investor harus diartikan hanya sekadar kata-kata. Lebih khusus lagi terdapat peristiwa dimana sekitar 3 bulan setelah terdakwa menyampaikan agar mengganti CHEC Ltd dengan investor lain terdakwa malah memberikan arahan untuk memberikan waktu deadline 2 minggu lagi kepada CHEC Ltd saat diinformasikan oleh Iwan Agung Firstantara bahwa CHEC masih belum bersedia menandatangani PPA," jelas jaksa Ronald.

        Meski Sofyan belum menerima manfaat (benefit) terkait perkara tapi hal itu bukan merupakan syarat pembantuan (medeplichtige).

        "Karena sebagai pihak yang membantu tidak harus terdapat manfaat yang diperoleh terdakwa dari tindakan pidana a quo karena penerima manfaat ada pada diri Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham selaku penerima suap dan Johanes Budisutrisno Ktojo selaku pemberi suap yang menyampaikan bahwa secara umum dalam pembantuan orang yang membantu tidak harus memperoleh manfaat yang didapat dari orang yang dibantu," tambah jaksa Ronald.

        Setelah Sofyan sengaja membantu Eni dan Johannes Kotjo, Eni dan Idrus Marham menerima imbalan berupa uang sejumlah Rp4,75 miliar dari Johannes Kotjo.

        Dalam perkara ini, Sofyan Basir dituntut 5 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti memfasilitasi pertemuan antara anggota Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, politikus Partai Golkar Idrus Marham dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: