Pemerintah perlu terus menggenjot kinerja ekspor di tengah ketidakpastian ekonomi global. Dibukanya pasar-pasar baru untuk menjadi tujuan ekspor Indonesia merupakan langkah strategis yang dapat ditempuh untuk menangkap peluang memperbesar volume ekspor.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan, mengatakan, pemerintah perlu memperhatikan dua hal, yaitu pembukaan pasar-pasar baru dan harmonisasi regulasi untuk mendukung investasi. Perjanjian kerja sama perdagangan secara bilateral maupun regional menjadi sangat penting untuk dilakukan. Dari pantauan CIPS, sejauh ini pemerintah Indonesia telah mengantongi 17 perjanjian kerja sama ekonomi, mayoritas melibatkan ASEAN dengan 10 perjanjian. Selain itu masih terdapat 12 perundingan yang masih berjalan. Di antaranya mencakup kerja sama dengan mitra yang memiliki potensi pangsa pasar yang besar seperti perjanjian Indonesia?EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), ASEAN?India Free Trade Agreement (FTA), dan juga Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang disebut-sebut akan rampung di akhir tahun ini.
Baca Juga: Pertemuan Bilateral Indonesia-Eurasia: Jalin Kerja Sama Ekonomi Yang Lebih Luas
"Pemerintah juga perlu terus mengeksplorasi kemungkinan kerja sama perdagangan yang dapat menjadi negara tujuan ekspor. Tercatat setidaknya terdapat 11 potensi kerja sama perdagangan dengan mitra yang baru. Beberapa di antaranya disinyalir berada di kawasan Afrika dan juga Timur Tengah,? jelas Pingkan dalam keterangan tertulis, Jumat (18/10/2019).
Terkait dengan harmonisasi regulasi yang berkaitan dengan investasi, pemerintah Indonesia masih kalah saing dengan beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, Myanmar, dan Laos. Hal ini dibuktikan dengan peringkat Indonesia yang ada pada di peringkat 117 dari 157 negara untuk indikator integritas sistem hukum.
Secara keseluruhan, Indonesia menempati peringkat ke-68 pada Indeks Global Keterbukaan Ekonomi yang diluncurkan oleh Legatum Institute di Jakarta pada 15 Oktober silam. Dengan memperhatikan poin ini, lanjut Ilman, diharapkan pemerintah mampu membenahi hal-hal strategis yang berimplikasi langsung terhadap investasi sebagai salah satu upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan mengimbangi neraca perdagangan yang masih defisit.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru mengenai kondisi neraca perdagangan Indonesia menunjukkan Indonesia masih mengalami defisit yang dihitung secara kumulatif dari Januari hingga September sebesar US$1,94 miliar. Angka ini didapat dari selisih antara jumlah kumulatif impor dan ekspor pada rentang waktu Januari hingga September 2019. Selama sembilan bulan belakangan ini, Indonesia mencatatkan impor sejumlah US$126,11 miliar dan ekspor sejumlah US$124,17 miliar.
Walaupun neraca dagang defisit, sambung Pingkan, terjadi penurunan agregat dari tahun sebelumnya. Tren pada neraca perdagangan Indonesia saat ini pun dapat dikatakan cukup positif, terlebih jika dibandingkan year on year dengan periode serupa di tahun lalu. Secara kumulatif dari Januari hingga September tahun ini, Indonesia mengalami defisit sebesar US$1,94 miliar, hampir setengah lebih rendah jika dibandingkan dengan angka pada periode yang sama di tahun 2018 silam yang juga defisit dengan nominal 3,8 miliar dolar AS.
Untuk bulan September, data BPS menunjukan neraca perdagangan Indonesia defisit sebesar 160 juta dolar AS, lebih buruk jika dibandingkan dengan nominal bulan sebelumnya yang mencatatkan surplus US$85 juta. Hal ini dikarenakan ekspor pada September 2019 tercatat sebesar US$14,1 miliar atau turun 1,21% dibanding bulan Agustus 2019 atau 5,74% year on year di bulan yang sama. Sementara itu untuk impor di bulan yang sama tercatat turun 2,41% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Puri Mei Setyaningrum
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: