Eddy Martono tak bisa melupakan Mamuju. Kabupaten di Sulawesi Barat itu memberikan kenangan sekaligus kebanggaan di hati pria ini. Eddy adalah orang yang berperan besar dalam pembangunan daerah ini, khususnya perkebunan kelapa sawit.
Berjalan kaki sejauh 6 km, naik gerobak sapi, ketakutan akan binatang buas, hingga terombang-ambing di tengah laut kiranya sudah menjadi keseharian Eddy di daerah ini. Tapi itu dulu, tahun 1990, saat ia baru ditugaskan perusahaannya, PT Astra Agro Niaga ke Mamuju untuk membuka perkebunan kelapa sawit, proyek pemerintah Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Trans.
"Mamuju, waktu pertama saya menginjakkan kaki ke sana masih sangat tertinggal. Tidak ada infrastruktur jalan maupun pelabuhan. Jalan logging masih berupa tanah untuk lalu lintas mengangkut kayu, kelapa, atau cokelat. Untuk masuk ke sana, harus lewat laut. Naik kapal. Itu pun tergantung cuaca," kata pria asal Yogyakarta ini.
Baca Juga: Tuntas Akuisisi Pabrik Kelapa Sawit, Rencana Strategis Bisnis Mahkota Group Ternyata. . . .
Saking terpencilnya, kantor pusat di Jakarta atau perwailan di Palu akan menghubunginya lewat radio SSB jika Bupati atau Kantor Wilayah Transmigrasi memanggilnya. Untuk menemui mereka di Kota Mamuju, Eddy harus menaiki kapal kayu yang baru merapat jika melihat bendera yang dipasang Eddy tinggi-tinggi.
Desa Sarudu, tempat Eddy bertugas belum tersentuh pembangunan. Eddy yang waktu itu masih berusia 28 tahun sempat kesulitan berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Seorang warga yang dekat dengannya mengingatkan agar berhati-hati bila berhubungan dengan warga desa.
"Ada orang lokal yang sudah cukup berpendidikan bilang: hati-hati kepala bapak empuk sendiri," kata Eddy menirukan orang tersebut. Warga desa, kata Eddy, sebagian besar dari suku Mandar yang masih mempercayai dan melakoni tradisi berbau mistis.
Namun, Eddy tak gentar. Ia yang saat itu kepala proyek perkebunan mengunjungi tokoh masyarakat untuk bersilaturahmi. Lalu, datanglah peringatan kedua dari warga. Ia lagi-lagi diminta waspada jika berkunjung ke rumah warga, bersalaman, dan disuguhi minum.
"Lebaran itu saya tidak pulang ke Jawa. Setelah salat Ied, saya ke rumah tokoh masyarakat. Di sana saya disuguhi kopi susu. Kalau tuan rumah menyuguhi kopi susu, artinya dia menghormati tamunya," kata Eddy lega.
Eddy tak menampik fakta bahwa daerah tempatnya bertugas merupakan daerah basis Kahar Muzzakar. Pemimpin gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan yang meninggal tahun 1965. Penolakan keras juga ia terima dari kelompok masyarakat yang masih terkait dengan pemberontak tersebut.
Mereka menuntut kesejahteraan masyarakat disegerakan, tidak menunggu empat tahun. "Itu tidak mungkin karena membuka perkebunan butuh waktu beberapa tahun. Saya waktu itu dikepung 20 orang membawa badik," kenangnya.
Untunglah, kepala desa saat itu, Amboy Jiwo, berada di pihaknya dan melindunginya. Meski hidupnya terancam, Eddy memaklumi sikap warga desa. "Mereka hanya kurang informasi karena memang belum tersentuh pembangunan," katanya bijak.
Empat tahun membangun perkebunan Mamuju, Eddy merasakan hasil membanggakan. Infrastruktur terbangun berkat adanya proyek perkebunan. Akses ke lokasi perkebunan kini teramat mudah. Pihak perusahaannya merintis pembangunan jalan dari pantai menuju lokasi perkebunan.
"Saat ini dari Desa Sarudu menuju kota Mamuju butuh waktu sekitar 3,5 jam melalui darat dan menuju ke Palu butuh waktu sekitar 4,5 jam melalui darat dan pasti tidak tergantung dengan ombak laut lagi," katanya.
Hal paling membanggakan Eddy adalah pemekaran Provinsi Sulawesi Barat pada 2004. Mamuju yang dulunya kecamatan di Sulsel menjadi kabupaten di Sulbar. Ia yakin Sulbar terbentuk berkat adanya perkebunan kelapa sawit di daerah itu.
"Di sana tidak ada tambang seperti daerah lain. Hanya ada HPH perkebunan sawit. Setelah 14 tahun, terbentuk Sulbar," katanya.
Kabupaten Mamuju juga sudah berkembang menjadi tiga kabupaten. Pertama, Kabupaten Mamuju Utara, bupatinya dijabat oleh Agus Amboy Jiwo, putera dari Kepala Desa Sarudu Almarhum Amboy Jiwo. Kedua Kabupaten Mamuju Tengah, bupatinya Aras Tamauni, wilayah yang dulu berada di Kecamatan Budong-Budong merupakan lokasi proyek PIR Karet PTPN XVII Jawa Tengah, kemudian diambil alih oleh PT Astra dan dikonversi menjadi PIR Trans Kelapa Sawit. Kabupaten ketiga Mamuju Induk, bupatinya Habsi Wahid.
Baca Juga:?Industri Kelapa Sawit Penggerak Ekonomi Sulawesi Barat
Pada 5 Oktober 2004, Provinsi Sulawesi Barat resmi terbentuk berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2004 dengan ibu kotanya Mamuju. Menurut Eddy, hal ini sangat mustahil dapat terjadi jika Kabupaten Mamuju pada waktu itu tidak ada investor yang bersedia membuka daerah tersebut.
"Perkebunan Kelapa Sawit, baik PBSN maupun PIR Trans, terbukti dapat membuka daerah-daerah yang tertinggal menjadi daerah yang berkembang dan maju. Karena selain mendatangkan transmigran untuk proyek PIR Trans, tenaga kerja juga didatangkan dari tempat lain karena di lokasi proyek tenaga kerja tidak mencukupi," katanya.
Uang pun tetap berputar di daerah tersebut, untuk pembayaran gaji karyawan, pembayaran kontraktor dan supplier lokal dan lain-lain. "Karakter proyek perkebunan kelapa sawit sangat berbeda dengan kegiatan proyek HPH maupun juga tambang," katanya.
Hal serupa diungkapkan Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Barat Muh Idris di seminar tentang kelapa sawit yang digelar di Mamuju, Sulbar, belum lama ini. Ia mengatakan, Sulbar terbentuk karena di daerah itu terdapat perkebunan kelapa sawit. Penerimaan pendapatan daerah Sulbar pun berasal dari dua sumber utama, yakni dana alokasi khusus (DAK) dan perkebunan kelapa sawit.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Lili Lestari
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: