Ditengah pandemi Covid-19, Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) justru melakukan pemecatan sepihak kepada sejumlah tenaga ahli pada Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (TP2AK) Stunting. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tersebut dinilai cacat hukum karena melanggar UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan.
Kuasa Hukum Tenaga Ahli Stunting, Ridho mengatakan apa yang dilakukan Setwapres sangat tidak manusiawi. Apalagi, pemecatan tersebut dilakukan saat Indonesia menghadapi pandemi Covid-19.?
"Ini lembaga negara, pemerintah. Masa justru mencontohkan hal yang tidak baik kepada publik. Apalagi alasan pemecatan yang dilakukan terkesan mengada-ngada dan tidak sesuai prosedur ketenagakerjaan," ungkap Ridho dalam keterangan resminya, Rabu (1/4/2020).
Baca Juga: Keren! Miliarder Ini Minta Semua Pengusaha Ikut Gerakan '90 Hari Tanpa PHK Karyawan'
Baca Juga: Harga Saham RS Ini Naik Berkali-kali Lipat Saat Corona Menggila, Bursa Kasih Lampu Kuning
Ridho menjelaskan, alasan Setwapres melakukan pemecatan terhadap enam orang tenaga ahli stunting karena mereka dianggap memiliki kinerja buruk. Namun, saat ditanya seperti apa proses evaluasi kinerja tersebut, Setwapres tidak mampu menunjukkannya.?
Lazimnya, menurut Ridho, jika seorang pekerja dinilai berbuat kesalahan atau dianggap memiliki kinerja yang buruk maka pemberi kerja wajib melayangkan surat peringatan (SP) kepada pekerja tersebut dengan tenggat waktu tertentu untuk melakukan evaluasi dan perbaikan.
"Klien kami tidak pernah menerima SP 1, 2 , maupun 3. Tiba-tiba dipanggil satu persatu oleh juru bayar yaitu PT LPPSLH, dan langsung dipecat begitu saja. Padahal mereka dikontrak selama 30 bulan, dan baru akan berakhir tahun 2021 mendatang," jelasnya.
Ridho menambahkan, status para tenaga ahli stunting seperti tertera dalam kontrak kerja adalah sebagai karyawan dengan perjajian kerja waktu tertentu (PKWT). Artinya, sudah seharusnya seluruh tenaga ahli tersebut menyelesaikan pekerjaannya sampai dengan jangka waktu berakhir kontrak.?
Akibat kejadian ini, tambah Ridho para tenaga ahli stunting korban pemecatan mengalami tekanan psikologis yang hebat. Apalagi, ditengah situasi darurat bencana non alam Covid-19 ini.?
"Mereka punya anak, istri, punya keluarga, dan rata-rata merupakan tulang punggung keluarga. Apa ini bisa disebut manusiawi ?. Setahu saya, sampai hari ini belum ada satu pun dari mereka yang mendapatkan pekerjaan," tambahnya.
Ridho menyebutkan, pihaknya telah melakukan upaya perundingan dengan Setwapres yang diwakili oleh PT LPPSLH, namun tidak menemui titik temu. Rencananya, perkara ini akan dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) agar para korban memperoleh keadilan.
"Kami menuntut ganti rugi atas kerugian materil akibat PHK sepihak ini senilai Rp3,5 miliar," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: