Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Rupiah Paling Merana Se-Asia, Sederet Sentimen Global Enggan Berpihak Padanya?

        Rupiah Paling Merana Se-Asia, Sederet Sentimen Global Enggan Berpihak Padanya? Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Mata uang global bergerak variatif dengan kecenderungan menguat di hadapan dolar AS. Memasuki awal pekan ini, Senin (27/04/2020), dolar AS keok memerah terahdap dolar Australia, euro, poundsterling, dolar New Zealand, dan dolar Kanda. Begitu pun juga nasih dolar AS di hadapan mata uang Asia, yakni yuan, yen, dolar Singapura, dan dolar Taiwan. 

        Kendati segelintir mata uang Asia, seperti won dan baht tertekan, nilai tukar rupiah menjadi yang paling merana di hadapan dolar AS. Dilansir dari RTI, hingga pukul 09.55 WIB, rupiah terdepresiasi -0,68% ke level Rp15.505 per dolar AS. Rupiah juga anjlok di hadapan dolar Australia (-1,35%), poundsterling (-0,89%), dan euro (-0,70%). 

        Baca Juga: Yang Dinanti Tak Kunjung Tiba, Emas Global Gundah Gulana!

        Seperti disampaikan sebelumnya, rupiah menjadi mata uang paling lemah se-Asia. Itu artinya, rupiah tak berdaya di hadapan yuan (-0,83%), dolar Taiwan (-0,82%), dolar Hong Singapura (-0,79%), dolar Hong Kong (-0,70%), yen (-0,67%), won (-0,56%), ringgit (-0,42%), dan baht (-0,38%). 

        Baca Juga: Terbawah di Asia, Rupiah Parkir di Level Rp15.515 per Dolar AS

        Asal tahu saja, aset keuangan dari negara berkembang tengah menguat lantaran ada beberapa sentimen global yang menyokong. Kepala Riset Monex Investindo Futures, Ariston Tjendra, menilai bahwa rupiah sejatinya juga bisa ikut menguat hari ini, terlebih dengana adanya sentimen stabilnya harga minyak dan pembukaan lockdown di sejumlah negara. 

        "Sentimen positif datang dari harga minyak mentah yang mulai stabil, lockdown di beberapa negara pandemi yang akan segera dibuka, dan isu Bank Sentral Jepang (BOJ) yang mempertimbangkan stimulus pembelian obligasi tanpa batas," jelas Ariston seperti dikutip dari Sindonews, Jakarta, Senin (27/04/2020). 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Lestari Ningsih
        Editor: Lestari Ningsih

        Bagikan Artikel: