Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Bahaya! Ini Bahayanya Kalau Bank BUMN Jadi Penyangga Likuiditas

        Bahaya! Ini Bahayanya Kalau Bank BUMN Jadi Penyangga Likuiditas Kredit Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Rencana penunjukan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) sebagai bank penyangga likuiditas bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), justru dianggap akan membebani bank-bank BUMN di tengah kebijakan restrukturisasi kredit perbankan sesuai dengan arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

        Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani kurang sependapat jika bank Himbara menjadi bank penyangga likuiditas bagi bank-bank yang likuiditasnya seret. Menurutnya, kebijakan ini akan memengaruhi saham bank-bank BUMN karena dalam hal ini dikhawatirkan para pemegang saham minoritas memiliki pandangan negatif soal kebijakan tersebut.

        "Harus hati-hati juga karena bank Himbara sudah go public. Jadi, ada pemegang saham minoritas, nah itu kan bahaya juga. Mereka pasti berpikir lho ini kan bank harus mencari profit, tapi malah nanganin yang lain. Mereka pasti juga berpikir nanganin restrukturisasi saja sudah banyak sekali dan repot, ini malah bank lain," ujar Aviliani kepada wartawan di Jakarta.

        Baca Juga: BPK Ungkit Kinerja Pengawasan, Bos OJK Angkat Bicara

        Di sisi lain, kata dia, penunjukan bank Himbara sebagai bank penyangga likuiditas tentu akan menimbulkan konflik kepentingan antara bank penyangga likuiditas dan penerima likuiditas.

        Sebagai bank penyangga likuiditas, tentu bank Himbara harus bisa menilai dan membantu likuiditas bank-bank yang sedang kesulitan. Padahal, dalam hal ini, OJK memiliki wewenang untuk menilai apakah bank tersebut layak atau tidak untuk mendapatkan pinjaman likuiditas.

        "Ada beberapa yang perlu dipertimbangkan kalau Himbara menjadi penyangga likuiditas. Pertama, pasti ada conflict of interest karena Himbara akan menilai bank lain, otomatis yang nerima likuiditas kan banknya dong, pasti Himbara menilai bank penerima likuiditas. Padahal, selama ini kan saling rahasia-rahasian, antarbank. Saya rasa harusnya penilaian itu ada di OJK," ucapnya.

        Lebih lanjut dirinya meminta agar KSSK bisa mengkaji ulang terkait bank Himbara yang akan dijadikan sebagai bank penyangga likuiditas. Ia menyarankan, baiknya lembaga keuangan lain di luar bank Himbara yang dijadikan sebagai lembaga penyangga likuiditas seperti PT Perusahaan Pengelola Aset (PTPPA), perusahaan BUMN yang mengelola aset-aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), baik aset kredit, saham maupun properti.

        "Kenapa PPA? Karena PPA ini kan semacam venture capital, menempatkan dulu dana, kemudian nanti ditarik lagi. PPA juga di bawah pemerintah kan. Dia BUMN juga, jadi kalau dia yang melakukan kan tidak ada conflict of interest. Saya usul dana pemerintah likuiditas itu menyalurkannya bisa ke PPA atau PT SMI, juga bisa yang kepanjangan tangan dari Kemenkeu," paparnya.

        Senada dengan Aviliani, ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah menekankan, urusan likuiditas seharusnya tidak melibatkan bank Himbara, melainkan menjadi wewenang bank sentral yang tugasnya mengatur likuiditas di pasar. Menurutnya, jika bank mengalami kesulitan likuiditas, maka langkah terakhir, yakni bank sentral harus menggelontorkan likuiditasnya untuk perbankan.

        "Kenapa urusan likuiditas ini melibatkan bank Himbara? Seharusnya likuiditas, urusannya bank sentral. Yang mengatur likuiditas perekonomiankan bank sentral. Bank sentral juga dalam posisi lender of the last resort. Ini menegaskan peran bank sentral dalam mengatur likuiditas. Bank sentral memiliki semua instrumen untuk menjaga likuiditas sistem perbankan," tegasnya.

        Ia mengungkapkan, jika KSSK memutuskan untuk menjadikan bank BUMN sebagai bank penyangga likuiditas, mau tidak mau, bank Himbara harus bisa menilai apakah bank penerima likuiditas tersebut layak untuk menerima likuiditas atau tidak. Namun, yang dikhawatirkan, apabila ke depan terdapat masalah pada bank penerima likuiditas, tentu yang harus bertanggung jawab adalah bank penyangga likuiditas, dalam hal ini bank BUMN.

        "Sekarang yang ditempuh adalah menggunakan bank Himbara sebagai bank perantara, disebut sebagai bank anchor. Kenapa harus melalui bank anchor? Kalau itu yang dilakukan, pertanyaannya likuiditas bank Himbara sumbernya dari mana? Kemungkinan besar dari pemerintah. Pengaturan dan pengawasan tetap di OJK, tapi nanti kalau ada apa-apa yang akan diminta pertanggungjawaban adalah pejabat bank Himbara. Ini kan politisasi," tambahnya.

        Sebelumnya, Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai rencana KSSK menunjuk bank Himbara menjadi bank penyangga likuiditas untuk menghadapi dampak dari pandemi virus Corona (Covid-19), sama saja melempar tanggung jawab.

        "Jika bank Himbara melakukan tugas pinjaman likuiditas, maka tugas tersebut bertentangan dengan UU PPKSK dan Perppu Nomor 1 Tahun 2020," kata Heri dalam pernyataannya minggu lalu.

        Asal tahu saja, Perppu tersebut tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

        Baca Juga: Kesulitan Likuiditas, OJK Segera Proses Merger Bank Banten dan Bank BJB

        Menurut politisi Partai Gerindra itu, di sini jelas dibicarakan tentang stabilitas sistem keuangan yang merupakan ranah dan tupoksi KSSK.

        Dirinya menegaskan, tidak ada dasar hukum bagi KSSK melibatkan bank-bank Himbara dalam masalah ini karena bank Himbara bukanlah anggota KSSK. Kalau bank Himbara mendapatkan likuiditas yang digelontorkan dari Kemenkeu melalui BI, wajar karena Himbara milik negara. Untuk itu, sebaiknya KSSK tidak mengorbankan bank Himbara sebagai penyangga likuiditas bagi perbankan yang kesulitan likuiditas akibat pandemi Covid-19.

        "Satu contoh saja, Bank Mandiri yang menjadi salah satu ikon bank milik negara beraset lebih dari Rp1.300 triliun. Kalau Mandiri jadi penyangga likuiditas bank sistemik yang kesulitan likuiditas, apakah sanggup menilai asetnya? Bagaimana fungsi kontrol dan pengawasan Bank Mandiri pada perbankan yang kesulitan likuiditas tersebut? Kalau terjadi sesuatu bagaimana? Apakah bank Himbara dipertaruhkan?" sambungnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Fajar Sulaiman
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: