Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        PKS Endus New Normal Cuma Kedok Borok Pemerintah

        PKS Endus New Normal Cuma Kedok Borok Pemerintah Kredit Foto: Antara/Fakhri Hermansyah
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meminta pemerintah jujur atas kondisi pandemi virus corona sebelum menerapkan new normal alias tatanan kehidupan normal yang baru. Mengingat berbagai wacana yang muncul dari pemerintah seakan-akan situasi sudah makin membaik sehingga direspons masyarakat dengan mulai melonggarkan aktivitas.

        Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Sukamta mengingatkan, belum lama ini Wakil Presiden Ma'ruf Amin meminta maaf karena virus corona bukan sesuatu yang mudah dihadapi. Publik memaklumi itu.

        "Tetapi tidak cukup hanya minta maaf, yang terpenting pemerintah harus jujur kepada rakyat," kata Sukamta melalui pesan tertulis, Kamis (28/5/2020).

        Baca Juga: Muhammadiyah Cemas Masjid-masjid Tetap Tutup, Sementara Pintu Mal Terbuka Lebar

        Protokol beradaptasi dengan tatanan normal baru sudah diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan. Bahkan Presiden Joko Widodo juga sudah meminta sosialiasi secara masif terhadap protokol ini dengan arah yang sudah jelas berupa kebijakan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

        Publik, kata Sukamta, perlu mendapatkan informasi yang benar akan situasi pandemi ini sudah relatif terkendali atau sebaliknya. "Atau wacana new normal ini hanya sebagai kedok untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah tangani Covid-19."

        Anggota Komisi I DPR RI itu mencatat ada lima persoalan mendasar sejak awal penanganan Covid-19. Pertama, tidak pernah ada kejelasan rencana besar penanganan virus corona. Bahkan setelah masa tanggap darurat berjalan hampir tiga bulan, tidak jelas tahapan apa saja yang akan dilakukan selain hanya pandai berwacana soal pelonggaran PSBB dan new normal.

        "Padahal kejelasan tahapan itu penting tidak hanya dalam upaya penanganan pandemi, tetapi juga menjadi rujukan bagi dunia pendidikan, dunia usaha, pariwisata dalam memulai kembali aktivitasnya," ujarnya.

        Kedua, persoalan mendasar ada pada sistem koordinasi. Sejauh ini tidak terlihat jelas garis komando antara Presiden, kementerian, dan Gugus Tugas, dan pemerintah daerah. Contoh, pada 27 Mei, Presiden menagih janji kesiapan aparaturnya untuk menguji 10 ribu spesimen per hari.

        "Pesan ini tidak jelas ditujukan kepada siapa: apakah Menteri Kesehatan atau Gugus Tugas atau menagih dirinya sendiri sebagai komando tertinggi."

        Hal itu makin menunjukkan bahwa selama ini tidak ada koordinasi yang baik di pemerintah pusat. Sementara komunikasi dengan daerah juga seperti dalam soal pengaturan transportasi yang simpang-siur. Sudah begitu Presiden mengatakan daerah harus mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 sebelum menerapkan new normal.

        Ketiga, dari pernyataan presiden soal menagih target uji spesimen menunjukkan bahwa selama ini tes Covid-19 masih jauh dari optimal karena hanya dua kali yang bisa lebih dari 10 ribu uji spesimen. Sementara angka-angka yang diumumkan setiap sore oleh Jubir Gugus Tugas tidak memberikan gambaran nyata penyebaran virus.

        Bahkan banyak ahli epidemiologi yang mengkritik soal ini. Ini artinya, kurva Covid-19 yang tersaji hingga kini tidak bisa menjadi rujukan dalam membuat kebijakan pelonggaran karena masih terbatasnya pengujian.

        Keempat, masih ada kesenjangan sarana prasaran kesehatan di setiap daerah dan juga SDM tenaga kesehatan. Rasio jumlah tempat tidur rumah sakit di tahun 2018 hanya 1 dibanding 1.000 penduduk. Di Korea Selatan rasio 11 dibanding 1.000 penduduk. Sementara Presiden meminta Puskemas untuk lebih dilibatkan dalam penanganan Covid-19 namun baru 33 persen yang kondisinya memadai.

        "Ini artinya sarpras (sarana dan prasarana) kesehatan yang ada saat ini tidak memadai untuk menghadapi lonjakan jumlah pasien positif, belum lagi soal ketersediaan APD yang banyak dikeluhkan oleh rumah sakit hingga hari ini," katanya.

        Baca Juga: Surabaya Terancam Seperti Wuhan, Gubernur Jatim Umumkan: Malang Raya Menuju New Normal

        Kelima, pelaksanaan PSBB di berbagai daerah tidak optimal dan banyak pelanggaran. Ini bisa dibaca dari tingkat kedisiplinan masyarakat masih rendah. Apakah dengan kondisi masyarakat seperti ini akan siap dengan protokol kesehatan yang ketat. 

        "Dan kurangi komentar yang bernada meremehkan oleh pihak Pemerintah sebagaimana Pak Menko Polhukam kemarin (26 Mei 2020) yang menyebutkan kematian akibat kecelakaan dan diare lebih banyak dibandingkan virus corona. Komentar-komentar seperti ini bisa mendorong masyarakat menjadi permisif dan akhirnya mengurangi kewaspadaan," ujarnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: