Dikira sudah diam dan menyerah, ternyata serangan terhadap kelapa sawit dan produk turunannya masih saja membuncah. Mengejutkannya, serangan kali ini berasal dari salah satu negara European Free Trade Association (EFTA) yang telah menandatangani kesepakatan perdagangan internasional dengan Indonesia melalui Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement, salah satunya untuk komoditas kelapa sawit.
Perjanjian kerja sama antara kedua negara tersebut sudah diteken. Namun Uniterre, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berjuang untuk petani di Swiss, menolak keras masuknya produk kelapa sawit Indonesia ke Heidiland.
Untuk memuluskan rencana penolakan, Uniterre bahkan sudah mengumpulkan sebanyak 65.000 tanda tangan rakyat Swiss. Jumlah tanda tangan yang sudah dikantongi oleh LSM tersebut melebihi kuota minimal yang sejumlah 50.000 tanda tangan untuk dapat berlanjut ke referendum.
Baca Juga: Pascapandemi, BK Ekspor Minyak Sawit Malaysia Nol, Indonesia: Sudah Lebih Dulu!
Artinya, keputusan boleh atau tidaknya produk kelapa sawit Indonesia akan ditentukan murni di tangan rakyat Swiss. Organisasi Uniterre ini mengampanyekan penolakan produk kelapa sawit dengan isu utama perusakan lingkungan hutan beserta kesengsaraan yang menimpa penghuninya, khususnya gajah dan orang utan.
Di Swiss, penentuan kebijakan berasal dari dua macam, yaitu parlemen dan rakyat. Persis seperti pemilihan presiden atau kepala daerah di Indonesia, sekitar delapan juta rakyat Swiss akan menentukan nasib produk kelapa sawit itu nantinya lewat coblosan.
Pejabat Uniterre, Mathias Stalder mengatakan, "Kami sudah mengumpulkan 65.000 tanda tangan." Lebih lanjut Stalder menyampaikan bahwa kotak surat yang berisi tanda tangan tersebut akan diserahkan ke Kejaksaan Agung Swiss pada 22 Juni mendatang.
Bundesrat, kumpulan tujuh kepala pemerintahan Swiss, akan memutuskan apakah referendum yang diusulkan Uniterre tersebut memenuhi syarat atau tidak. Dalam perundangan Swiss, makna dari memenuhi syarat atau tidak ini yakni terkait persoalan administrasi.
Stalder berpendapat bahwa sah atau tidaknya referendum yang diusulkan Uniterre bergantung pada tanda tangan yang sudah mereka kumpulkan. Swiss merupakan negara yang sering melakukan referendum, sedikitnya empat kali setahun referendum akan diadakan melalui pos.
"Kalau disetujui, diperkirakan akan ada pemilu penolakan atau penerimaan produk kelapa sawit Indonesia November tahun ini atau Maret tahun depan," ujar Stalder.
Jika penolakan terhadap produk kelapa sawit ini menjadi referendum, maka akan menjadi referendum nasional. Semua rakyat Swiss, khususnya yang berhak memilih, akan menentukannya.
Doktor lulusan ETH Zurich, Nur Hasanah mengatakan, "Sejauh ini pemerintah baru bisa menyanggahnya dengan isu ekonomi, bagaimana mengangkat kemiskinan bukan soal pemeliharaan hutan." Hasanah berharap pemerintah Indonesia mulai mengedepankan kampanye penghijauan hutan, serta perlindungan gajah dan orang utan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: