Pandemi Covid-19 membuat dunia bergejolak, termasuk Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Airlangga Hartarto mengatakan perekonomian Indonesia pada kuartal II 2020 akan lebih buruk dan negatif.
Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan pun sampai memberikan kemungkinan skenario sangat berat, yaitu ekonomi Indonesia tumbuh minus 0,4% pada 2020.
Skenario sangat berat yang menyebabkan defisit anggaran tersebut mungkin terjadi karena produktivitas dan konsumsi berhenti akibat dari pembatasan sosial secara fisik. Negara mengalami beban ekonomi berlipat-lipat, yaitu mengeluarkan anggaran jaminan sosial bagi warga terdampak, menurunkan pendapatan negara dari sisi pajak, memberikan insentif bagi pelaku usaha agar bertahan dan menghindari PHK, serta beban biaya penanganan kesehatan yang besar.
Baca Juga: Cetak Uang saat Ini Gak Bikin Hiperinflasi, Ekonom Beberkan 3 Alasannya
Membengkaknya defisit anggaran akibat tingginya tekanan ekonomi dari pandemi, memunculkan narasi mencetak uang atau menerbitkan surat utang.
Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah mengusulkan agar Bank Indonesia (BI) mencetak uang antara Rp400–Rp600 triliun sebagai cara cepat menyediakan dana segar di tengah terbatasnya uang negara untuk pembiayaan penanggulangan dampak Covid-19. Uang tersebut bisa dipakai untuk membeli surat utang pemerintah atau surat utang perbankan dan korporasi.
Menanggapi hal itu, Tri Kunawangsih Purnamaningrum dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti, mengatakan, bahaya yang ditawarkan dari cetak uang berlebihan bisa menimbulkan hiperinflasi.
"Hiperinflasi dapat menyebabkan turunnya nilai mata uang. Uang yang terlalu banyak dapat menyebabkan warga menjadi konsumtif sehingga menurunkan nilai uang. Hal ini patut diperhatikan mengingat nilai tukar rupiah pernah menjadi 17 ribu di awal kemunculan kasus Covid-19," tuturnya.
Bob Azam dari Kadin menyatakan, urgensi cetak uang adalah skenario terburuk terhadap dampak Covid-19. Setidaknya skenario perlu dipersiapkan pemerintah sampai pada level terburuk demi kepastian bisnis dan usaha.
"Saat ini perusahaan-perusahaan tidak memiliki income, sehingga umum terjadi unpaid leave yang akrab dengan ketidakpastian. Industri otomotif yang berkontribusi 7,5% bagi GDP Indonesia diperkirakan penjualannya akan menurun sampai 40%," ungkapnya.
Bob Azam juga menambahkan, injeksi langsung kepada dunia usaha belum ada. Dana kebanyakan mengalir ke BUMN, bukan ke UMKM dan pekerja. Di negara lain transfer bantuan sudah langsung dari pemerintah kepada pengusaha.
"Namun, di Indonesia masih harus melalui perbankan. Pinjaman melalui perbankan tentunya menguntungkan pengusaha ketimbang UMKM karena nilai pinjaman kredit oleh pengusaha memiliki jaminan kredit yang lebih baik dibandingkan dengan jaminan kredit dari UMKM," cetusnya.
Atas pernyataan Bob Azam, Ella dari DPR RI menyatakan bahwa mekanisme stimulus harus tetap dilakukan melalui perbankan melalui prosedur peminjaman. Selain itu dari rapat bersama dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), subsidi untuk industri dan korporasi hanya dilakukan pada tingkat PPh saja. Tidak ada subsidi upah. Kementerian Keuangan beralasan bahwa keuangan Indonesia tidak mungkin bisa menanggung biayanya.
Sebagai penutup, Tri Kunawangsih menyatakan bahwa UMKM menjadi pihak yang membantu perekonomian Tanah Air pada krisis moneter terakhir. Saat ini pula negara perlu memperhatikan UMKM. Ia juga menyampaikan bahwa kondisi inflasi tidak hanya dipengaruhi banyaknya peredaran uang, tetapi juga karena tingginya jumlah pengangguran.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: