Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        BBM Jenis Premium Lebih Boros, Ini Penjelasan Ahli

        BBM Jenis Premium Lebih Boros, Ini Penjelasan Ahli Kredit Foto: Antara/Fauzan
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Bahan bakar minyak (BBM) research octane number (RON) rendah, seperti Premium, dinilai sudah tidak sesuai perkembangan zaman, apalagi mayoritas kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat, saat ini menggunakan teknologi terbaru yang mengharuskan konsumsi BBM dengan RON tinggi, minimal RON 92, seperti Pertamax.

        BBM RON rendah juga lebih boros dan berdampak negatif pada mesin. Mayoritas negara di dunia bahkan sudah tidak menjual BBM RON 88 seperti Premium. Mesin kendaraan bermotor keluaran terbaru memang tidak diperuntukkan bagi BBM RON rendah seperti Premium. Jika dipaksakan, akan muncul banyak masalah. Karena pembakaran tidak sempurna, mesin akan mengelitik, tenaga berkurang, dan mesin jadi tidak awet.   

        Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menilai, untuk mendorong konsumsi BBM RON tinggi, penjualan premium sudah seharusnya mulai dibatasi. Hanya saja, harus diakui ada tantangan lain, sisi konsumsi solar subsidi karena banyak kendaraan angkutan menggunakannya.

        Baca Juga: Soal Harga BBM yang Belum Turun, Mantan Ketua DPR: Parpol Jangan Diam, Rakyat Sudah Lelah Teriak

        Dampaknya, ketiadaan solar subsidi mengakibatkan ongkos transportasi naik dan harga barang bisa naik juga. Namun ia yakin pemerintah punya skema terbaik mendorong kendaraan angkutan menggunakan BBM dengan kualitas bagus. 

        Bahkan, agar konsumsi BBM RON tinggi seperti Pertamax bisa lebih tinggi, pemerintah disarankan mengalihkan subsidi ke Pertamax series. Karena itu, pemerintah bisa juga mendorong menyediakan bahan bakar dengan kualitas yang lebih baik dengan harga yang lebih murah. Misalnya RON 92 seharga RON 88 atau RON 90.  

        "Pemerintah bisa membuat standar bahan bakar yang lebih baik dan segera menerapkannya, misalnya Euro IV. Demikian juga membuat kebijakan fuel economy untuk kendaraan bermotor yang progresif," kata Mamit, Rabu (17/6/2020).

        Keunggulan BBM RON tinggi, seperti seri Pertamax, ibarat 'makanan bergizi' bagi kendaraan. Kalau BBM yang dipakai berkualitas, performa dan keawetan mesin sangat terjaga. Karena itu pula, bukan soal jika kendaraan keluaran lama pun menggunakan Pertamax. 

        Selain berdampak negatif bagi mesin kendaraan bermotor, BBM RON rendah juga berakibat buruk terhadap lingkungan hidup dan kesehatan. Karena pembakaran tidak sempurna, BBM RON rendah akan menghasilkan emisi sangat tinggi. Selain itu, juga akan menghasilkan karbon monoksida dan nitrogen dioksida yang juga tinggi. Penggunaan BBM berkualitas akan mendorong penurunan emisi dan memperbaiki kualitas udara.

        Bahan bakar berkualitas juga membuat sistem pembakaran mesin (engine combustion) lebih sempurna sehingga lebih irit BBM, mesin awet, dan perawatan kendaraan mudah. Kata Mamit, beban negara untuk BBM berkurang karena dana kompensasi dialihkan ke sektor lain yang lebih membutuhkan sehingga lebih tepat sasaran.

        Baca Juga: Konsumsi BBM Sudah Mengarah ke Normal, Ketersediaan Stok Pertamina Aman?

        Angka yang menunjukkan mutu bahan bakar serta daya tahannya untuk menahan kompresi di ruang bakar sebelum terbakar secara spontan, ialah nilai oktan terentang dari 85-100. Semakin tinggi nilai oktan, semakin tinggi tekanan yang dapat diberikan terhadap bahan bakar di ruang bakar.

        Pada 2018, terdapat mobil penjumpang sebanyak 16.440.987, sementara sepeda motor pada 2018 tercatat mencapai 120.101.047, serta mobil barang sebanyak 7.778.544. Sehingga total kendaraan ialah 146.858.759. Dengan banyaknya keluaran kendaraan tahun 2010 ke atas di Indonesia, seharusnya BBM yang banyak digunakan saat ini sesuai dengan teknologi kendaraannya.

        "Karena itu, tidak tepat jika kendaraan produksi terbaru, menggunakan BBM dengan oktan rendah karena akan cenderung lebih banyak emisi gas rumah kaca, kemudian kurang dalam segi fuel economy, serta cenderung menghasilkan deposit yang lebih tinggi sehingga mesin tidak optimal," tutup Mamit.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Agus Aryanto
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: