Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Soal Moratorium Izin Koperasi Kemenkop-UKM, AKSES: Salah Diagnosis dan Salah Sasaran!

        Soal Moratorium Izin Koperasi Kemenkop-UKM, AKSES: Salah Diagnosis dan Salah Sasaran! Kredit Foto: Ning Rahayu
        Warta Ekonomi, Bogor -

        Kementerian Koperasi dan UKM menerbitkan kebijakan moratorium Izin Koperasi SImpan Pinjam, berlaku hingga 3 mendatang sejak 26 Mei lalu.

        Moratorium tersebut menandakan kalau Kemenkop dan UKM itu seperti sedang gamang menghadapi maraknya koperasi abal-abal dan rentenir berkedok koperasi. 

        Menurut Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto, Kemenkop dan UKM itu selama ini punya unit layanan teknis dan salah satunya adalah pemberian izin bagi usaha koperasi simpan pinjam. "Fungsi layanan pemberian badan hukumnya sudah dipindahkan ke Kemenkum dan HAM sejak ditandatanganinya  PP tentang OSS (Online Single Submitiion)," ujarnya, Sabtu (20/6/2020).

        Baca Juga: Tegas, Pengamat Ini Bilang Kemenkop dan UKM Tidak Paham Koperasi

        Baca Juga: Izin Koperasi Disetop Sementara, Nasib yang Sudah Diajukan?

        Meski tujuan moratorium baik, sebetulnya itu sudah menyalahi prinsip kerja layanan publik mengingat fungsi perizinan itu penting untuk mendorong investasi dan apalagi di masa pandemi saat ini, menurut Suroto.

        Ia menilai, keputusan Kemenkop dan UKM kontraproduktif dengan upaya mendorong akselerasi ekonomi di tengah pandemi. "Sebetulnya masalah perizinan itu tidak perlu dimoratorium karena tinggal diverifikasi saja. Persoalan regulasi perizinannya berupa Permen juga baru saja diterbitkan," imbuhnya.

        Lebih lanjut, di balik kebijakan moratorium itu, Suroto menduga ada upaya membuat birokratisasi kembali izin pengembangan koperasi simpan pinjam yang pada waktu ini semua sudah ditarik ke sistem online yang tadinya rumit dan manual.

        Ia menjelaskan, "persoalan maraknya koperasi abal abal dan rentenir berbaju koperasi itu sebetulnya secara mendasar terletak di lemahnya UU Perkoperasian yang tidak imperatif dan juga "political will" dari Kemenkop dan UKM yang secara sengaja memanfaatkan kelemahan UU."

        Pemerintah Perlu Tegas dalam Upaya Preventif

        Waktu tiga bulan tentu tidak cukup untuk memperbaiki regulasi setingkat UU, kata Suroto lagi. Untuk itu, ia mendesak pemerintah agar lebih tegas dalam melakukan upaya preventif serta  mengefektifkan fungsi pengawasan yang sudah dibentuk di bawah kedeputian tersendiri.

        "Tidak perlu dilakukan moraturium," ujarnya lagi.

        Upaya preventif berdasarkan UU itu, antara lain: pembubaran koperasi oleh pemerintah yang juga sudah diatur melalui regulasi setingkat PP dan Permen.

        "Ada sekitar 130 ribu koperasi dari 152 ribu yang abal abal dan potensi untuk selalu dimanfaatkan oleh oknum untuk menipu masyarakat dan merugikan. Ini harusnya tinggal dibubarkan dan baru kemudian sisanya tinggal diberikan insentif kebijakan untuk memperkuat kelembagaanya dengan mendorong perkuatan fungsi integrasi vertikal organisasinya," paparnya.

        Kemenkop dan UKM sendiri berfungsi memberikan layanan teknis perizinan koperasi, tambah Suroto. Jika itu tidak jalan sebetulnya Kemenkop dan UKM ini sebagai institusi sudah tidak berjalan. 

        Ia menambahkan, "koperasi itu self-regulated organization, organisasi mengatur diri mereka sendiri. Jadi peranan pemerintah itu harusnya diakselerasi ke sana. Bukan seperti polisi yang akan tidak efisien."

        Lebih lanjut, Sutoro menyebut, koperasi simpan pinjam itu tidak menikmati fasilitas seperti penjaminan, dana penempatan pemerintah, modal penyertaan pemerintah dan subsidi bunga seperti yang dinikmati oleh perbankan. Belum lagi soal didiskriminasi dalam berbagai regulasi ekonomi sektoral.

        "Kalau mau dikembangkan ini yang juga perlu dikerjakan. Jadi bukan dengan mempersoalkan perizinannya," ujarnya lagi.

        Kebijakan moratorium perizinan koperasi oleh Kemenkop dan UKM itu bukan hanya salah sasaran tapi juga salah diagnosis, begitu paragraf penutup dalam keterangan resminya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Tanayastri Dini Isna

        Bagikan Artikel: