Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Bank Dunia Puji Indonesia, Fadli Zon Gak Terima, Sampai Bawa-Bawa Rakyat...

        Bank Dunia Puji Indonesia, Fadli Zon Gak Terima, Sampai Bawa-Bawa Rakyat... Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Politisi Partai Gerindra Fadli Zon tampak tidak terima dengan pujian Bank Dunia (World Bank) kepada pemerintah Indonesia atas kecermatan mengelola utang.

        Menurut Fadli Zon, pujian Bank Dunia kepada pemerintah Indonesia itu wajar lantaran yang menjadi patokan adalah harapan Bank Dunia itu sendiri.

        "Saya kira wajar kalau Bank Dunia puji, mungkin sesuai dengan harapan mereka, bukan harapan rakyat Indonesia," cuitnya dalam akun Twitternya, Minggu (21/6/2020).

        Baca Juga: HUT Jokowi, Ungkapan Doa Fadli Zon hingga Said Didu Adem Bener

        Baca Juga: Fadli Zon Ngomel Ada Pria Digarap Polisi Gegara Guyonan Gus Dur: Indonesia Mendekati...

        Diketahui, Bank Dunia mengapresiasi tingkat utang Indonesia dan menyebut perhitungan Menteri Keuangan Sri Mulyani begitu cermat.

        Begitu kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Menurutnya, Bank Dunia juga mengatakan Indonesia masih berhati-hati.

        "Mereka (Bank Dunia) sangat impress dengan program pemerintah. Apabila ada yang berpikir soal utang berlebihan, World Bank ini malah apresiasi kalau kita masih sangat prudent dan hati-hati. Bahkan Ibu Sri Mulyani dan Kemenkeu melakukan perhitungan sangat cermat," ujar Luhut di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (19/6/2020).

        Luhut menjelaskan program keuangan pemerintah masih dianggap sangat sangat baik dibanding negara berkembang lainnya.

        "Jadi, program kita disebut sangat komprehensif programnya apabila dibanding negara berkembang lainnya. Di mana secara implementasi dan makro kita dianggap sangat baik," jelas dia.

        Sebelumnya, pemerintah terus memastikan agar rasio utang Indonesia tetap berada di posisi aman. Adapun rasio utang pemerintah yang aman sudah diatur dalam UU Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara.

        Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, menjaga rasio utang memang menjadi salah satu konsen pemerintah. Mengingat, rasio utang ini mendapatkan banyak perhatian dari beberapa kelompok menyusul tingginya pembiayaan lewat utang akibat pandemi virus corona pada tahun ini.

        Di sisi lain Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara membantah tudingan bahwa pemerintah doyan berutang. Menurutnya, di mata dunia Indonesia dicap sebagai salah satu negara yang memiliki disiplin fiskal sangat tinggi.

        "Defisit anggaran saat situasi normal selalu di bawah tiga persen. Itu artinya Indonesia paling enggak doyan ngutang terlalu banyak," katanya di Jakarta, belum lama ini.

        Baca Juga: Naik Lagi, Utang Pemerintah Kini Sentuh Rp5.258 Triliun

        Suahasil mencontohkan ada negara lain di dunia yang paling doyan ngutang, yaitu negara-negara di Amerika Latin. "Jangan cuma lihat situasi dalam negeri, coba lihat negara Amerika latin. Semuanya doyan ngutang," ujarnya.

        Menurutnya, dunia internasional mengecap Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki disiplin fiskal sangat tinggi. Meski saat ini defisit APBN naik menjadi 6,34 persen dan rasio utang menjadi 35 persen, Suahasil menilai hal itu dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan kebutuhan dalam negeri saat pandemi Covid-19.

        Apalagi, penerimaan negara terjun bebas karena ada banyak masyarakat atau pengusaha yang tidak membayar pajak.

        "Sekarang menghadapi Covid-19 ini kebutuhannya membesar. Kebutuhan kesehatan, perlindungan sosial, support dunia usaha. Istilahnya kita minta izin kepada masyarakat, kita defisit 6,3 persen nih," tuturnya.

        Utang yang diperoleh pemerintah, kata Suahasil, digunakan untuk membiayai sektor kesehatan, jaring pengamanan sosial, dan pemulihan dunia usaha.

        "Kita butuh upgrade 132 rumah sakit agar tenaga medis mampu menangani pasien Covid-19. Termasuk perlindungan sosial, bagi masyarakat dan dunia usaha. Ada yang di-PHK atau penghasilannya turun drastis akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB)," jelasnya.

        Untuk itu, ia meminta masyarakat mendukung pemerintah dengan menjalankan protokol kesehatan di masa-masa transisi.

        "Pemerintah sangat fleksibel. Kita enggak tahu Covid-19 ini akan berlangsung berapa lama. Sekarang masuk PSBB transisi, kegiatan sosial ekonomi dimulai lagi dengan protokol kesehatan," ucapnya.

        Suahasil juga mengungkapkan negara saat ini masih membayar utang dari warisan krisis yang terjadi pada tahun 1997-1998 silam. Saat itu, rasio utang Indonesia mencapai 100 persen dari produk domestik bruto (PDB).

        "Utang 1998 masih ada yang belum dibayar. Artinya, masih ada yang harus dibayar sampai sekarang dan itu 22 tahun lalu. Ibaratnya, orang tua kita memutuskan utang," ungkapnya.

        Suahasil menjelaskan utang tersebut tercatat dalam neraca Bank Indonesia. Namun, dia memastikan rasio utang negara pada 2020 diperkirakan jauh lebih kecil dibandingkan dengan 1998, yakni 30-35 persen dari PDB. Pinjaman pun didapat dengan penjualan surat-surat utang negara, baik ke dalam maupun luar negeri.

        Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam, mengatakan peningkatan utang akan terjadi karena agresifnya pemerintah dalam menarik pembiayaan di masa pandemi.

        "Di satu sisi penerimaan pemerintah menurun drastis sehingga defisit anggaran melebar dan membutuhkan pembiayaan yang jauh lebih besar," ujarnya.

        Piter menilai anggaran kebutuhan penanggulangan dampak wabah berpotensi terus bertambah. Akibatnya peningkatan utang pun tak terhindarkan.

        "Fenomena ini akan berlanjut selama wabah masih berlangsung karena kondisi kita sekarang ini dalam suasana tidak normal dan tidak banyak pilihan," katanya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Vicky Fadil

        Bagikan Artikel: