Sisa-sisa tulang-belulang hampir 150 tentara Korea Selatan yang terbunuh dalam Perang Korea, telah tiba kembali di Korea Selatan, pada Rabu (24/6/2020), kata Kementerian Pertahanan di Seoul.
Sehari sebelum peringatan 70 tahun pecahnya perang Korea, 147 jenazah itu dibawa ke Seoul dari Hawaii, setelah Korea Utara mengirim jenazah serdadu Korea Selatan yang mereka temukan selama 30 tahun terakhir ke pangkalan militer AS di Hawaii.
Baca Juga: Ketegangan Loyo, Kim Jong-un Batal Kerahkan Militer buat Serang Korsel karena...
Korea Utara yang didukung China dan Uni Soviet pada 25 Juni 1950 menyerang Korea Selatan yang didukung oleh AS. Dewan Keamanan PBB yang saat itu baru dibentuk lalu mengerahkan pasukan internasional yang terdiri dari 21 negara untuk menghentikan ''invasi korea Utara". 90 persen pasukan yang dikerahkan berasal dari Amerika Serikat.
Perang berkecamuk selama tiga tahun dan menewaskan jutaan orang, termasuk ratusan ribu tentara di kedua belah pihak. Kementerian Pertahanan di Seoul secara resmi mencatat korban perang Korea dengan 520.000 pasukan dan warga Korea Utara yang tewas di pihak lawan, dan 137.000 tentara Korea Selatan dan 37.000 ribu tentara AS tewas di pihaknya.
Pertempuran diakhiri pada 27 Juli 1953 dengan Kesepakatan Gencatan Senjata antara pihak-pihak yang bertikai, antara lain oleh pendiri Korut Kim Il Sung (foto artikel).
Kesepakatan itu antara lain mengatur pembentukan Zona Demiliterisasi (DMZ) untuk memisahkan Korea Utara dan Korea Selatan, dan mengizinkan kembalinya para tahanan. Namun tidak ada perjanjian perdamaian yang ditandatangani setelah itu, sehingga secara resmi perang antara kedua negara Korea masih berlum berakhir.
Korea masih dalam keadaan perang
Sampai kini, AS masih menempatkan sekitar 28.500 tentara di Korea Selatan, sebagai bagian dari ''pasukan perlindungan". Korea Utara yang mengklaim memiliki ''angkatan bersenjata terbesar dunia" menempatkan pasukan dan persenjataan dekat Zona Demilitarisasi dan sejak itu mulai mengembangkan senjata nuklir dan sistem rudal jarak jauh.
Pemerintah Korea Selatan di bawah pimpinan Presiden Moon Jae-in selama ini mengupayakan penyelesaian konflik melalui perundingan diplomatik. Beberapa tahun terakhir, terlihat adanya pencairan hubungan.
Kesibukan diplomasi yang menjanjikan berhasil beberapa kali mempertemukan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dengan pemimpin dan delegasi Korea Selatan. Salah satu puncak upaya diplomasi itu adalah ''pertemuan bersejarah" antara Presiden AS Donald Trump dan Kim Jong Un di Singapura.
Itulah pertama kalinya seorang pemimpin AS bertemu dengan pemimpin Korut. Kedua pemimpin ketika itu berjanji menyelesaikan sengketa program nuklir Korea Utara, yang berjanji memulai langkah denuklirisasi. Sebagai imbalannya, AS berjanji mencabut sanksi ekonomi terhadap Korea Utara.
Namun pembicaraan denuklirisasi AS-Korut akhirnya terhenti, sekalipun Donald Trump dan Kim Jong Un setelah Singapura masih melakukan dua kali pertemuan langsung, yaitu di Vietnam dan di Zona Demiliterisasi Korea di Panmunjom.
Perundingan denuklirisasi terhenti
Setelah menyatakan perundingan denuklirisasi gagal, Korea Utara mulai lagi mengadakan uji coba rudal jarak jauh. Kim Jong Un menuntut AS melonggarkan sanksi ekonomi, sementara Donald Trump bersikeras Korea Utara harus lebih dulu melakukan denuklirisasi, sebelum pelonggaran embargo bisa dilakukan.
Sejak beberapa minggu terakhir, ketegangan diplomatik antara Utara-Selatan kembali memuncak. Setelah mengeluarkan ancaman verbal, terutama oleh Kim Yo Jong, saudara perempuan Kim Jong Un yang sampai beberapa bulan lalu sama sekali tidak dikenal di panggung internasional, Korea Utara pertengahan Juni meledakkan Kantor Penghubung Utara-Selatan yang selama ini kosong di perbatasan Kaesong.
Bagi Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, upaya penyelesaian konflik jadi makin berat. Untuk menyelamatkan misi diplomatik ini, perlu konsesi besar dari pemerintahan Korsel kepada Korut, kata Hong Min, analis politik di Institute for National Unification di Seoul.
Sehari sebelum peringatan 70 tahun Perang Korea, kantor berita resmi Korea Utara memberitakan bahwa Kim Jong Un ''menunda aksi militer" Korea Utara di kawasan perbatasan, yang sebelumnya disuarakan oleh saudara perempuannya Kim Yo Jong.
Korea Utara juga tadinya mengancam akan mengirim 12 juta pamflet propaganda ke Korea Selatan sebagai ''langkah balasan" atas aksi-aksi aktivis HAM dan para pelarian Korea Utara yang sering mengirim pamflet-pamflet dengan balon udara dari Korea Selatan melintasi perbatasan ke Korea Utara.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: