WE Online, Jakarta- Perolehan suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) lebih rendah dari ekspektasi membuat pasar gusar. Hasil perhitungan cepat (quick count) berbagai lembaga survei menunjukkan, partai mengusung calon presiden Joko Widodo (Jokowi) ini hanya mendapat suara kurang dari 20 persen. Padahal, untuk bisa mengusung calon presiden sebuah partai harus lolos batas minimal perolehan suara (presidential threshold) sebesar 25 persen. Intinya, PDIP tak bisa mencalonkan Jokowi sendirian. PDIP harus berkoalisi dengan partai lain.
Pada titik inilah pasar tidak bergairah. Ketika PDIP mengumumkan secara resmi Jokowi sebagai calon presiden, pasar bereaksi sangat positif. Dalam setengah hari perdagangan saja, terjadi pembelian bersih asing sebesar kurang lebih Rp7 triliun di Bursa Efek Indonesia (BEI). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak sekitar 3,2 persen. Aura optimisme itu terus terjadi menyambut pemilihan legislatif (Pileg) 9 April lalu; sehari sebelum pencoblosan IHSG bertengger pada level 4.900 an. Namun, begitu hasil quick count mengecewakan, pasar berbalik arah. Perdagangan saham sehari setelah Pileg mengalami tekanan jual, sehingga IHSG melorot menuju level 4.700 an atau terjadi koreksi sebesar kurang lebih 3,1 persen.
Ternyata ?Jokowi Effect? tak bertahan lama. Tadinya, investor berharap Jokowi mampu membawa perubahan konstelasi politik di Indonesia. Partai pengusung menguasai parlemen, dan pemilihan presiden terjadi dalam satu putaran saja. Dengan demikian, segera terjadi kepastian bagi dunia usaha, serta memiliki prospek lebih baik dalam pengambilan keputusan lebih cepat, karena tidak harus berkompromi dengan banyak kepentingan partai politik. Namun, ekspektasi tersebut tidak terjadi. Nyatanya, PDIP hanya memperoleh suara kurang dari 20 persen. Apa yang harus dilakukan?
Agenda Ekonomi
Jalan memang masih berliku, hingga pemilu presiden selesai dan menentukan secara definitif siapa presiden yang akan memimpin pemerintahan selama lima tahun ke depan. Siapa presidennya memang penting, karena akan menentukan orientasi kebijakan, tim kabinet dan implementasi program di lapangan. Bagaimanapun prosesnya, yang jelas pada bulan Oktober 2014 ini, sudah harus ganti dengan presiden baru dengan perangkat kabinet baru pula. Apa isi program mereka? Para investor sudah tak sabar menanti babak berikut paska pileg kemarin.
Sebenarnya, konstelasi bursa calon presiden tak akan banyak terpengaruh,? maksimal hanya akan ada calon presiden dari 3 partai besar, yaitu PDIP, Partai Gerindra dan mungkin Partai Golkar. Masing-masing sudah menentukan siapa calon presidennya. Namun, siapa calon wakil presidennya, bagaimana orientasi kebijakan dan siapa-siapa saja yang masuk dalam daftar calon menteri, semuanya masih terasa gelap. Dalam hari-hari ini, diskusi akan mengerucut pada hal-hal tersebut.
Jika diringkas, paling tidak ada tiga isu besar yang menjadi perhatian publik hingga pemilu presiden nanti, pada 9 Juli. Pertama, bagaimana peta koalisi partai politik. Kedua, apa platform kebijakan pokoknya (khususnya di bidang ekonomi). Ketiga, bagaimana komposisi atau susunan kabinetnya. Jika koalisinya melibatkan lebih banyak partai politik maka jumlah kursi yang harus diisi oleh orang pilihan partai koalisi menjadi semakin besar. Dengan demikian, jika harapannya terbentuk kabinet yang diisi orang-orang profesional, tentu tak sepenuhnya bisa terlaksana.
Memang hal yang paling mencemaskan bagi pelaku usaha dan juga para investor di pasar keuangan adalah soal koalisi ini. Mereka memiliki trauma dengan model koalisi pada pemerintahan sekarang ini, yang dinilai tidak efektif. Tadinya, dengan munculnya ?Jokowi Effect?, mereka berharap akan ada perubahan situasi secara mendasar, yaitu tercipta kekuatan dominan di parlemen dan presiden terpilih satu putaran. Dengan begitu legitimasi pemerintahannya menjadi kuat, sehingga bisa mengakselerasi kebijakan pokok yang dirasakan mandeg seperti sekarang ini.
Lambatnya pembangunan infrastruktur, ketergantungan pada sumber energi minyak (pembengkakan subsidi), arus impor (energi dan pangan) yang begitu besar, serta birokasi yang tidak kompetitif hanya sebagian kecil dari masalah yang sering dikeluhkan. Dengan pemerintahan baru yang solid nantinya, investor berharap ada perubahan signifikan melalui kebijakan progresif.
Membangkitkan Optimisme?
Benarkah tidak ada hal yang mampu membuat investor bergairah? Sebenarnya ruang untuk terus memacu optimisme masih terbuka lebar. Apapun alasannya, pasar domestik Indonesia masih dianggap begitu menjanjikan, sehingga investor masih akan terus tertarik untuk masuk. Masalahnya terlalu banyak masalah kelembagaan yang sering menganggu, sehingga potensi yang besar terkadang tak terealisasi dengan baik.
Untuk melanjutkan optimisme, perlu ada beberapa hal yang segera dilakukan oleh semua pihak, terutama partai politik. Pertama, melanjutkan proses koalisi dengan menggunakan acuan utama kepentingan nasional. Tak ada lagi ruang bagi kepentingan kelompok apalagi pribadi. Semua proses ini tertuju bagi kepentingan bangsa. Kedua, harus meyakinkan semua pihak, bahka plaftorm yang akan dibangun oleh partai koalisi tak akan menegasi pihak tertentu. Misalnya saja investor asing. Apapun alasannya, perekonomian kita masih memerlukan kehadiran investor asing. Hanya, perlu dipikirkan format yang memberi manfaat maksimal bagi kedua belah pihak.
Ketiga, tunjukkan minat untuk mengisi kabinet dan birokrasi dengan orang-orang terbaik di bidangnya. Tak ada lagi tempat bagi politisi menduduki kebinet, khususnya bagi posisi-posisi pokok. Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian BUMN, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian benar-benar harus solid. Mereka adalah kementerian pilar yang akan menentukan kualitas kelembagaan serta kualitas perekonomian yang akan tercipta dalam beberapa tahun ke depan.
Salah satu masalah pokok yang kita hadapi sekarang ini adalah lemahnya daya saing perekonomian, akibat tidak adanya basis industri. Perekonomian ditandai dengan cepatnya pertumbuhan sektor jasa, keuangan dan ritel, namun sektor industrinya lemah. Terlebih lagi, sektor pertanian menjadi sektor yang nyaris ditinggalkan. Pertumbuhan sektor pertanian pada 10 tahun terakhir hanya 3-5 persen saja. Bandingkan dengan sektor transportasi telekomunikasi, misalnya, yang pernah tumbuh sekitar 13-14 persen.
Ada missing link antara perkembangan industri manufaktur dan jasa dengan sektor pertanian. Salah satu pokok kebijakan yang harusnya menjadi perhatian semua parpol ke depan adalah memperbaiki jaringan rantai nilai (value chain) sektor pertanian dengan sektor lainnya, agar ketika terjadi pertumbuhan ekonomi, gerbong pertanian tidak terlepas di belakang, melainkan ikut juga melaju ke depan.
Itulah salah satu pokok kebijakan yang dinantikan, karena diyakini akan turut memperbaiki kualitas pertumbuhan itu sendiri. Dari waktu ke waktu tenaga kerja yang terserap dari setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen terus menurun. Karena sektor-sektor yang tumbuh adalah sektor ekonomi yang tidak menyerap tenaga kerja banyak, seperti sektor jasa dan keuangan. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan jurang ketimpangan yang semakin lebar.
Tak ada cara lain untuk memperbaiki kualitas pertumbuhan yang ditandai dengan mengecilkan jurang kemiskinan tanpa melibatkan sektor pertanian. Sektor inilah yang paling banyak menciptakan tenaga kerja serta menentukan nasib kesejahteraan lebih dari separuh penduduk Indonesia.
A. Praseyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
Sumber: Majalah Warta Ekonomi Nomor 8/2014
Foto: SY
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Arif Hatta
Tag Terkait: