Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso memastikan, pengawasan telah terintegrasi antara sektor perbankan, industri keuangan non bank (IKNB) dan pasar modal. OJK memainkan beragam jurus dan cara demi melindungi konsumen di sektor keuangan.
Menurut Wimboh, hal ini sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas sektor keuangan. apalagi di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang. Berkembangnya produk dan layanan transaksi keuangan yang semakin luas, serta memiliki keterkaitan yang tinggi antar produk perbankan, pasar modal, dan LKNB menekankan semakin dibutuhkannya pengawasan terintegrasi.
“Langkah ini dalam rangka menjaga stabilitas serta melindungi konsumen keuangan, terutama di masa pandemi ini,” kata Wimboh dalam jumpa pers virtual di Jakarta, kemarin.
Baca Juga: OJK: Pengawasan Terintegrasi Sektor Keuangan Sangat Diperlukan
Baca Juga: Industri Asuransi Diguncang Masalah, Langkah Konkret OJK Dinanti
Dalam melakukan pengawasan terintegrasi, sambung dia, OJk memiliki komite Pengawas Terintegrasi yang beranggotakan kepala Eksekutif Pengawas Perbankan, kepala Eksekutif Pasar Modal dan kepala Eksekutif LKNB. Termasuk Deputi komisioner dari masingmasing kompartemen untuk berbagai kebijakan strategis konglomerasi keuangan, terutama yang bersifat lintas sektor jasa keuangan.
Selain itu, OJK juga memiliki unit Perizinan dan kebijakan sektor Jasa keuangan Terintegrasi, yang bertugas memproses perizinan dan menformulasikan kebijakan yang bersifat lintas sektoral.
"Dengan adanya pengawasan terintegrasi ini, OJK dapat melakukan pengawasan lebih efektif terhadap transaksi dan produk keuangan yang melibatkan intragroup dan lintas sektoral, untuk mengidentifikasi lebih dini risiko pada sektor jasa keuangan. Sehingga pelaksanan program pemulihan ekonomi nasional dapat dilakukan lebih terintegrasi,” ucap Wimboh.
Sejak 2014, imbuhnya, OJK telah menerbitkan serangkaian pengaturan pengawasan terintegrasi mencakup manajemen risiko, tata kelola dan permodalan terintegrasi dan proses pengawasan terintegrasi.sementara, guna memitigasi dampak lebih lanjut pandemi Covid-19 terhadap perekonomian, OJK telah mengerahkan semua kebijakan dan instrumen demi meringankan beban masyarakat, sektor informal, UMKM dan pelaku usaha.
Kebijakan yang diterbitkan sifatnya pre-emptive untuk mencegah terjadinya pemburukan yang lebih dalam, maupun berupa insentif atau relaksasi.
Wimboh menjelaskan, di masa pandemi ini, sudah 11 ada Peraturan OJK(POJK) di sektor perbankan, LKNB dan pasar modal yang diterbitkan untuk memitigasi dampak Covid-19 dan meredam volatilitas pasar keuangan, serta menjaga stabilitas sektor jasa keuangan.salah satunya adalah soal restrukturisasi. sejak diluncurkan 16 Maret 2020, restrukturisasi kredit perbankan hingga 10 Agustus telah mencapai nilai Rp 837,64 triliun dari 7,18 juta debitor.
Jumlah ini berasal dari restrukturisasi kredit untuk sektor uMkM yang mencapai Rp 353,17 triliun berasal dari 5,73 juta debitor. sedangkan untuk non uMkM, realisasi restrukturisasi kredit mencapai Rp 484,47 triliun dengan jumlah debitor 1,44 juta.untuk perusahaan pembiayaan, per 19 Agustus 2020, OJK mencatat sebanyak 182 perusahaan pembiayaan sudah menjalankan restrukturisasi pinjaman tersebut.
Realisasinya sudah disetujui sebanyak 4,34 juta debitor, dengan total nilai mencapai Rp 162,34 triliun.OJK juga mengeluarkan kebijakan untuk restrukturisasi pinjaman usaha mikro yang terhimpun di Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dengan nilai realisasi Rp 20,79 miliar dari 32 LkM. Selain itu, restrukturisasi juga diberikan untuk pinjaman di Bank Wakaf Mikro (BWM) dengan nilai Rp 1,73 miliar untuk 13 BWM.
Mengamini Wimboh, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan, pengawasan yang terintegrasi itu masih sangat diperlukan bagi pelaku sektor keuangan tersebut.“Penguatan efektivitas pengawasan terintegrasi di antara entitas pelaku sektor keuangan masih dibutuhkan. karena antar entitas (bank, LKNB, pasar modal) makin mengait satu sama lain. Tujuannya untuk meminimalisir risiko dampak sistemik,” tegasnya.
Namun begitu, masing-masing sektor tersebut perlu adanya standar minimal berazaskan kehatihatian yang setara. Menurut Eko, dari sisi bank selama ini ada standar internasional berupa pengelolaan risiko terhadap modal, sementara industri LKNB dinilai masih perlu banyak pembenahan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: