Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Meski Resesi, Indonesia Belum Tentu Terjadi Krisis Ekonomi

        Meski Resesi, Indonesia Belum Tentu Terjadi Krisis Ekonomi Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sinyal terjadinya resesi di Indonesia semakin kuat saat ini. Terlebih lagi Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD meyakini 99,99 persen bulan depan RI akan masuk jurang resesi karena terdampak Virus Corona. Meskipun, hal itu dibantah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartato.

        Selain Mahfud, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun memperkirakan pada Kuartal III-2020, pertumbuhan ekonomi berpotensi mengarah ke posisi minus 2 persen hingga nol persen secara tahunan.

        Baca Juga: Faisal Basri Sindir Komandan Ekonomi Jokowi: Resesi, Nol Besar!

        Padahal, pada Kuartal II-2020, ekonomi Indonesia telah terkontraksi hingga minus 5,32 persen secara tahunan. Jika kontraksi berlanjut dua kuartal berturut maka secara teknikal ekonomi Indonesia resesi.

        "Resesi secara teknikal didefinisikan sebagai kontraksi dalam aktivitas perekonomian, yang ditandai oleh kontraksi pertumbuhan ekonomi dua periode berturut-turut," kata Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede dikutip dari VIVA, Senin, 31 Agustus 2020.

        Meskipun berpotensi terjadi resesi, Josua menganggap ekonomi Indonesia belum tentu mengalami krisis ekonomi. Sebab, krisis ekonomi, dikatakannya, baru terjadi jika ada shock atau tekanan ke indikator perekonomian seperti jatuhnya nilai aset ataupun melonjaknya harga barang.

        "Dampak jangka panjang, krisis tersebut dikatakan sebagai depresi. Semua negara yang mengalami depresi dapat dikategorikan sebagai krisis ekonomi, sementara resesi yang terjadi belum tentu didorong oleh shock sehingga tidak semua resesi adalah krisis ekonomi," ucapnya.

        Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menekankan bedanya krisis ekonomi dengan krisis moneter. Sebab, kedua krisis tersebut, dia mengatakan, memiliki indikator yang berbeda dan dampaknya juga beda.

        Dia menjelaskan, krisis moneter atau keuangan biasanya dimulai dengan turunnya nilai tukar rupiah yang sangat mendalam, bahkan bisa terdepresiasi lebih dari 30 persen. Setelah itu baru berdampak pada indikator moneter lain hingga berujung pada krisis ekonomi

        "Baru berdampak ke indikator moneter lainnya seperti inflasi kemudian suku bunga dan sebagainya. Kalau krisis ekonomi dimulai dari indikator-indikator ekonomi umumnya di growth, pertumbuhan ekonomi, mulainya dari GDP (Gross Domestic Bruto)," katanya kepada VIVA.

        Jika krisis moneter berlangsung lama, dipastikannya akan diikuti dengan krisis ekonomi yang menyebabkan turunnya pendapatan masyarakat. Namun, jika krisis ekonomi yang terjadi terlebih dahulu, dia menegaskan, pasar keuangan belum tentu bergejolak hingga timbul krisis.

        Akan tetapi, dia memastikan, keduanya memiliki dampak buruk yang akan langsung dirasakan masyarakat. Misalnya, melonjaknya utang perusahaan, terjadinya gagal bayar atau kebangkrutan hingga terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran.

        "Utangnya mendadak banyak karena perbedaan nilai tukar akhirnya banyak perusahaan berdampak ke PHK dan sebagainya karena utangnya bengkak, dia enggak bisa bayar, default itu yang terjadi saat krisis 1997-1998," ujar Tauhid.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: