Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Awas, Pakar Jumpai Tanda-tanda Peningkatan Perang Nuklir AS dan China

        Awas, Pakar Jumpai Tanda-tanda Peningkatan Perang Nuklir AS dan China Kredit Foto: Creative Commons
        Warta Ekonomi, Sydney -

        Risiko konfrontasi nuklir antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin meningkat, karena Beijing memperoleh senjata baru yang memungkinkannya untuk menyerang musuh-musuhnya terlebih dahulu.

        Ketika kedua negara memasuki periode baru persaingan strategis yang ketat, ada risiko kecil penggunaan nuklir yang disengaja dan risiko yang lebih besar jika AS atau China secara tidak sengaja menggunakan senjata nuklir untuk melawan negara lain.

        Baca Juga: PBB Pastikan Gak Ada Pemenang dalam Peperangan Nuklir, Kenapa?

        Hal ini dapat terjadi jika salah satu negara menurunkan persenjataan nuklir negara lain dengan menggunakan senjata konvensional, baik secara tidak sengaja maupun kerusakan tambahan, sehingga negara tersebut merespons dengan senjata nuklir.

        Sebuah laporan baru oleh United States Studies Centre (Pusat Studi AS) mengatakan serangan senjata konvensional AS atau pun serangan siber yang melumpuhkan kemampuan China untuk meluncurkan rudal balistik konvensional dapat secara tidak sengaja merusak rudal nuklirnya.

        Beijing kemudian dapat melihat serangan ini sebagai awal untuk melucuti senjata nuklirnya, dan memilih untuk menggunakannya terlebih dahulu sebelum semakin terdegradasi.

        Atau, China dapat melancarkan serangan luar angkasa terhadap satelit AS, atau pun serangan siber, untuk mengganggu pertahanan rudal AS, yang memicu serangan balik nuklir AS.(Baca:Media China Sentil Indonesia karena Menentang Klaim China di Laut China Selatan)

        Strategi nuklir China selama beberapa dekade terakhir telah difokuskan untuk mencegah ancaman nuklir, tetapi negara itu telah memperoleh kemampuan baru —seperti peluncur untuk rudal balistik jarak menengah DF-26— yang dapat memungkinkan peralihan ke strategi "first-use(pengguna pertama)" senjata nuklir.

        Laporan baru oleh fellow non-resident di Pusat Studi AS, Fiona Cunningham, menyerukan Australia dan negara-negara lain untuk mendesak AS dan China kembali ke pembicaraan pengendalian senjata.

        Beijing telah menolak untuk bergabung dalam pembicaraan antara AS dan Rusia tentang kontrol senjata nuklir, dengan mengatakan pihaknya hanya akan melakukannya jika Washington mengurangi persenjataannya ke level yang sama.

        Cunningham mengatakan kemampuan baru Beijing tidak selalu menunjukkan bahwa mereka mengejar strategi pengguna pertama senjata nuklir, tetapi hal itu merusak kredibilitas argumennya bahwa mereka hanya memiliki strategi "retaliatory-only(hanya pembalasan)".

        "Pasukan nuklir China perlu dipantau secara hati-hati untuk melihat tanda-tanda perubahan strategi, mengingat keadaan geopolitik saat ini," kata pakar kebijakan luar negeri tersebut kepada The Sydney Morning Herald dan The Age, Selasa (29/9/2020).

        "Strategi nuklir China masih terlihat sangat berbeda dari negara-negara yang secara eksplisit mengancam pengguna pertama seperti Pakistan, atau tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan senjata nuklir terlebih dahulu, seperti Amerika Serikat."

        Menurut laporan itu, persenjataan nuklir China telah tumbuh dan beragam dengan cara yang konsisten dengan pengekangan yang berkelanjutan, tetapi juga meletakkan dasar bagi Beijing untuk mengadopsi postur nuklir yang lebih ofensif di masa depan.

        Laporan tersebut mengatakan ada tiga risiko nuklir; penggunaan yang disengaja dalam konflik, penggunaan yang tidak disengaja dalam konflik, dan perlombaan senjata di masa damai.

        Insentif bagi China atau AS untuk dengan sengaja menyerang satu sama lain dengan senjata nuklir pertama kali adalah lemah, tetapi tidak boleh dikesampingkan.

        Meskipun mencapai atau mencegah reunifikasi China dengan Taiwan masih tidak sepadan dengan membayar harga perang nuklir yang menghancurkan, ada kekhawatiran bahwa China percaya bahwa mereka menghargai reunifikasi dengan pulau itu lebih dari nilai-nilai AS yang menghentikannya.

        China dapat menggunakan "taruhan ketidakseimbangan" ini untuk keuntungannya membuat ancaman nuklir, bahkan jika China tidak akan menindaklanjutinya.

        "Taiwan mungkin skenario yang paling mungkin untuk penggunaan nuklir, karena eskalasi nuklir yang tidak disengaja," katanya.

        "Taruhan yang lebih rendah untuk Amerika Serikat dan China dalam konfrontasi Laut China Selatan, dan intensitas rendah yang dapat memicu konflik, akan memberi kedua negara lebih banyak kesempatan untuk mengakhiri konfrontasi sebelum sampai pada titik ancaman atau penggunaan nuklir."

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: