Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Di Tangan Erdogan, Perusahaan Media Sosial Tak Akan Berkuasa di Turki

        Di Tangan Erdogan, Perusahaan Media Sosial Tak Akan Berkuasa di Turki Kredit Foto: Reuters/Bernadett Szabo
        Warta Ekonomi, Ankara -

        Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengkritik perusahaan media sosial yang dinilai tidak mematuhi kewajiban hukum tetapi mendirikan kantor dan menghasilkan uang di Turki. Dia mengatakan, bahwa Turki tidak akan menyerah di bawah tekanan perusahaan media sosial.

        Erdogan menekankan bahwa perusahaan media sosial harus patuh, menyusul denda yang dijatuhkan oleh Pemerintah Turki.

        Baca Juga: Usai Erdogan, Para Nakes Turki Siap Terima Suntikan Vaksin Sinovac

        "Anda akan membayar di sini sebagaimana Anda membayar di Barat," ujar Erdogan dikutip laman Hurriyet Daily, Jumat (15/1/2021).

        "Kami tidak akan tunduk pada tekanan perusahaan media sosial yang menganggap dirinya di atas hukum dalam memperhatikan hak dan hukum masyarakat kami," tegasnya.

        Erdogan menyalahkan perusahaan media sosial karena tidak mematuhi putusan pengadilan di Turki terhadap akun yang terbukti mendukung terorisme.

        "Kami tidak dapat mengizinkan terorisme, dan itu adalah propaganda untuk mendapatkan tempat di dunia virtual sama seperti kami tidak mengizinkan terorisme di dalam perbatasan kami," ujarnya.

        Erdogan menekankan bahwa perkembangan terbaru di seluruh dunia menunjukkan pentingnya perjuangan hukum Turki melawan kediktatoran digital dan penindasan dunia maya.

        Menurut presiden, digitalisasi di seluruh dunia telah membawa beberapa perubahan radikal dan teknologi berada di pusat kehidupan manusia. Sehingga memungkinkan orang memperoleh informasi secara real-time. Meskipun digitalisasi juga memicu beberapa tantangan dan risiko.

        Dia menjelaskan, beberapa tantangan yang muncul dari instrumen media baru ini adalah cyberbullying, cyberterrorism dan berita palsu, hingga disinformasi yang memuncak baru-baru ini di media sosial.

        "Kita pasti tidak bisa mentolerir peristiwa kekerasan yang menargetkan demokrasi dan institusi demokrasi. Namun, kami juga tidak dapat menerima penutupan saluran komunikasi orang-orang tanpa dasar hukum apa pun," ujarnya.

        Dia mencatat bahwa pemilu Amerika Serikat (AS) semisal baru-baru ini menunjukkan sejauh mana fasisme digital dapat berjalan.

        Tahun lalu, Turki menjatuhkan denda 40 juta Lira Turki (5,43 juta dolar AS) di berbagai platform media sosial termasuk Facebook, Twitter dan YouTube karena tidak mematuhi undang-undang media sosial baru yang disetujui pada Juli.

        Undang-undang tersebut mewajibkan platform sosial untuk menunjuk perwakilan lokal di Turki. Sejauh ini, jejaring sosial Rusia VKontakte (VK), YouTube, platform teknologi berbagi video Prancis Dailymotion dan TikTok telah memutuskan untuk menugaskan perwakilan lokal di negara tersebut.

        Undang-undang tersebut mengizinkan otoritas Turki untuk menghapus konten dari platform, daripada memblokir akses seperti yang telah mereka lakukan di masa lalu. Isinya juga mewajibkan platform media sosial untuk menunjuk perwakilan lokal untuk menangani masalah otoritas.

        Sebagai bagian dari undang-undang baru, perusahaan media sosial harus menanggapi permintaan Pemerintah Turki dalam bahasa Turki dan harus menjawab permintaan terkait hak pribadi dan privasi dalam waktu 48 jam.

        Platform juga harus menerbitkan laporan tengah tahunan tentang tingkat respons mereka terhadap permintaan semacam itu. Perusahaan yang masih tidak mengikuti hukum setelah denda memotong bandwith mereka hingga 90 persen, yang pada dasarnya memblokir akses.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: