Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Senggol Pelantikan Presiden, Bos Liga Arab Singgung Ulah Israel di Muka Joe Biden

        Senggol Pelantikan Presiden, Bos Liga Arab Singgung Ulah Israel di Muka Joe Biden Kredit Foto: Rawpixel
        Warta Ekonomi, Washington -

        Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit berharap pemerintahan baru Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Joe Biden bakal mengubah kebijakan Timur Tengah-nya. Ia secara khusus menyinggung tentang penyelesaian konflik Israel-Palestina. 

        Gheit mengungkapkan, upaya pencapaian solusi dua negara,  Israel-Palestina telah termarginalkan oleh mediator utama dalam konflik. Pernyataannya mengacu kepada AS di bawah pemerintahan Donald Trump. 

        Baca Juga: Menanti Salam Perpisahan Trump untuk Biden, Mungkinkah Beri Pesan Manis?

        "Ini mendorong Pemerintah Israel  meningkatkan aktivitas permukimannya dan mengancam akan mengambil langkah-langkah berbahaya serta merusak seperti mencaplok tanah yang diduduki," kata Gheit saat berbicara kepada Dewan Keamanan PBB pada Senin (18/1/2021), dikutip laman Ynet News. 

        Pernyataan Gheit muncul setelah Israel baru-baru ini menyetujui pembangunan 800 rumah di wilayah Tepi Barat yang diduduki. Gheit mengatakan, upaya signifikan perlu dilakukan semua pihak dalam beberapa bulan mendatang guna menegaskan kembali solusi dua negara Israel-Palestina. 

        Terkait hal ini, dia berharap pemerintahan baru AS dapat memperbaiki kebijakan dan proses yang tak berfungsi serta terlibat dalam proses politik yang bermanfaat dengan dukungan pihak-pihak regional dan internasional berpengaruh.

        “Ini akan memberikan harapan baru bagi rakyat Palestina bahwa komunitas internasional akan berdiri di sisinya dalam aspirasi mulia untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan," katanya. 

        Pemerintahan Biden menang memikul banyak harapan warga AS, tak terkecuali rakyat Palestina. Selama masa pemerintahan Trump, peluang Palestina untuk dapat menjadi negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya kian tergerus. "Malapetaka" dimulai pada Desember 2017, yakni ketika Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. 

        Keputusan itu tak hanya dikutuk Palestina, tapi juga negara-negara Arab dan Muslim. Alih-alih mendengar protes serta kecaman, pemerintahan Trump justru melanjutkan kebijakannya dengan memindahkan kedutaan besar AS untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem pada Mei 2018. 

        Sebelum 2018 berakhir, pemerintahan Trump memutuskan menghentikan pendanaan rutin untuk Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Keputusan itu seketika menyebabkan UNRWA dilanda krisis keuangan. AS merupakan penyandang dana terbesar UNRWA dengan kontribusi rata-rata 300 juta dolar AS per tahun. 

        Tak berhenti di sana, pemerintahan Trump pun menghentikan bantuan United States Agency for International Development (USAID) untuk Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Langkah-langkah itu dipandang secara luas sebagai cara untuk menekan kepemimpinan agar bersedia terlibat dalam pembicaraan damai dengan Israel. 

        Setelah AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Palestina memang mundur dari perundingan damai yang dimediasi Washington. AS dianggap sudah tidak lagi menjadi mediator yang netral karena memihak pada kepentingan politik Israel. 

        Pada Januari lalu, pemerintahan Trump merilis rencana perdamaian Timur Tengah, termasuk untuk konflik Israel-Palestina. Rencana ini dikenal sebagai "Kesepakatan Abad Ini/Deal of the Century".

        Dalam rencana itu, pemerintahan Trump menawarkan kedaulatan terbatas kepada Palestina di wilayah kecil sekitar 70 persen dari Tepi Barat dan Gaza untuk sebuah negara. Namun, Palestina tak memiliki otoritas atas perairan teritorial, perbatasan atau keamanan. 

        Rencana tersebut pun menolak klaim lama Palestina atas Yerusalem Timur sebagai ibu kota. Ia pun kehilangan kendali atas Masjid Al-Aqsa. Palestina dengan tegas menolak Deal of the Century. 

        AS kembali menjadi momok bagi perjuangan Palestina. Washington membantu proses mediasi normalisasi diplomatik Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko. Hal itu merupakan tamparan keras bagi Palestina.

        Apa yang dilakukan UEA dan Bahrain sebenarnya telah mengingkari Prakarsa Perdamaian Arab. Prakarsa itu pada intinya memperkenankan negara Arab membuka hubungan resmi dengan Israel. Namun Israel harus terlebih dulu menerima solusi dua negara di sepanjang garis perbatasan 1967. 

        Setelah serangkaian "pukulan" dari pemerintahan Trump, kini harapan Palestina untuk perjuangannya berada di pundak Biden. Saat kampanye pilpres AS lalu, Biden mengatakan tugas pertamamya terkait konflik Israel-Palestina adalah memperbaiki "kerusakan" yang telah dilakukan Trump. 

        Biden menganggap langkah pemerintahan Trump terkait konflik Israel-Palestina menghancurkan norma-norma lama dan kebijakan AS selama puluhan tahun. Saat menghadiri acara donor Yahudi AS pada Mei tahun lalu, Biden menyebut akan membalikkan kebijakan Trump yang dinilai dapat merusak kemungkinan perjanjian damai dengan Palestina. 

        "Saya tidak mendukung aneksasi. Saya akan membalikkan langkah-langkah pemerintahan Trump yang menurut saya secara signifikan melemahkan prospek perdamaian," kata Biden kepada para donor. 

        Biden pun berjanji memulihkan hubungan diplomatik dengan Otoritas Palestina.

        "Prioritas sekarang untuk tujuan perdamaian Israel-Palestina harus melanjutkan dialog kami dengan Palestina dan menekan Israel untuk tidak mengambil tindakan yang membuat solusi dua negara menjadi tidak mungkin," ujar Biden. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: