Sekelompok ilmuwan di Philadelphia, Amerika Serikat (AS) melakukan penelitian, yaitu menyuntik tikus dengan instruksi genetik dalam bentuk RNA (asam ribonukleat), yang mendorong sel hewan untuk menghasilkan protein yang disesuaikan.
Dilansir SCMP, terdapat pengandaian bahwa pada dasarnya hal itu serupa dengan orang-orang yang melakukan vaksinasi untuk mencegah infeksi virus corona jenis baru (Covid-19). Jika suntikan yang diberikan bukanlah vaksin dan thus yang dimaksud adalah janin, maka RNA harus diberikan dengan jarum kaca tipis selebar rambut manusia.
Baca Juga: Terobosan Lagi, Moderna Bikin Vaksin untuk Balita hingga Anak-anak
Eksperimen yang dilakukan para peneliti di Rumah Sakit Anak Philadelphia (CHOP) dan Universitas Pennsylvania, menandai langkah pertama dalam menggunakan RNA untuk mengobati penyakit genetik langka sebelum lahir. RNA sangat mungkin digunakan dalam vaksin, di mana ini dapat dikodekan dengan resep untuk protein tertentu, yakni protein ‘paku’ atau ‘spikes’ yang menonjol dalam setiap partikel virus corona jenis baru.
Sistem kekebalan orang tersebut mendapat kesempatan untuk berlatih pada fragmen virus tanpa terpapar pada yang sebenarnya. Namun, jauh sebelum pandemi Covid-19, para ilmuwan membayangkan RNA dapat digunakan untuk menghasilkan jenis protein lain, yang memungkinkan untuk mengobati berbagai penyakit manusia. Ini termasuk kondisi di mana protein alami seseorang dalam beberapa hal kekurangan, seperti fibrosis kistik dan anemia sel sabit.
Sebelum pandemi Covid-19, uji coba sedang dilakukan pada vaksin RNA yang dirancang untuk mengobati kanker, dengan hasil awal yang menjanjikan. William Peranteau, ahli bedah janin di CHOP dan rekan penulis senior studi baru pada tikus, yang diterbitkan di Science Advances mengatakan bahwa mengobati penyakit sebelum lahir adalah sebuah ‘cakrawala’ berikutnya.
Meski Peranteau dan rekan ilmuwan berhasil menginduksi produksi protein pada janin tikus, mereka tidak menargetkan penyakit tertentu dalam studi bukti konsep awal ini. Diperlukan penelitian bertahun-tahun sebelum pendekatan tersebut dapat dicoba pada janin manusia.
Mengobati suatu penyakit selama kehamilan akan memungkinkan dokter untuk melakukan upaya sebelum terlambat. Ini berpotensi menangkal berbagai keterlambatan perkembangan dan kondisi lain yang dapat berakibat fatal bagi calon bayi.
“Ini akan menjadi penyakit yang menyebabkan masalah sebelum bayi lahir-masalah yang tidak mudah disembuhkan, dan tidak ada pengobatan yang baik setelah lahir,” ujar Peranteau.
Para ilmuwan mulai mengumpulkan berbagai peran RNA tidak lama setelah mereka menemukan double-stranded helix, yang merupakan sepupu kimia dari DNA pada 1953. Mereka menentukan bahwa satu jenis RNA tampaknya bertindak sebagai kurir, yang membawa genetika.
Ide menggunakan RNA untuk mengobati penyakit mengambil lompatan besar di awal 2000-an, ketika ilmuwan di Universitas Pennsylvania, Katalin Kariko dan Drew Weissman, melewati serangkaian rintangan teknis. Mereka mensintesis RNA sehingga dapat dengan aman diberikan ke tubuh manusia tanpa memicu peradangan.
Meski demikian, rintangan lain tetap ada. Diantaranya adalah RNA terdegradasi dengan cepat, sehingga para ilmuwan membutuhkan cara untuk melindunginya agar dapat dikirim ke dalam sel manusia. Solusi untuk masalah ini adalah mengemas instruksi genetik di dalam bola kecil yang terbuat dari zat berlemak yang disebut lipid.
Lipid menjadi sarana pengiriman yang telah bekerja sangat baik dengan kedua vaksin RNA serta pendekatan yang digunakan Peranteau dan rekannya pada janin tikus. Michael Mitchell, profesor bioteknologi di Universitas Pennsylvania sekaligus penulis senior studi tikus lainnya, menguji berbagai kombinasi lipid untuk melihat mana yang paling berhasil.
Daya tarik zat berlemak adalah biokompatibel. Dalam vaksin, dua dari empat lipid yang digunakan untuk membuat bidang pengiriman identik dengan lipid yang ditemukan di membran sel manusia, termasuk diantaranya adalah kolesterol lama.
Saat disuntikkan, sphere atau bola, yang disebut partikel nano, ditelan oleh sel orang tersebut dan kemudian menyimpan muatan molekul RNA di dalamnya. Sel-sel merespons dengan membuat protein, sama seperti mereka membuat protein dengan mengikuti petunjuk di RNA orang itu sendiri. Perlu diketahui bahwa RNA dalam vaksin tidak dapat menjadi bagian dari DNA manusia.
Diantara kombinasi lipid yang berbeda diuji oleh Mitchell dan anggota peneliti, beberapa lebih baik dalam mengirimkan muatan mereka ke organ tertentu, seperti hati dan paru-paru. Ini berarti mereka bisa menjadi sarana yang baik untuk mengobati penyakit di jaringan tersebut.
Peranteau mengatakan salah satu kandidat untuk perawatan RNA prenatal adalah keluarga penyakit metabolik yang disebut gangguan penyimpanan lisosom. Ini dicirikan oleh kekurangan protein dan penumpukan produk sampingan beracun, yang menyebabkan berbagai konsekuensi dalam perkembangan otak, jantung dan tulang.
Mitchell dan Peranteau mengawasi penelitian tikus sebagai penulis senior. Tiga penulis pertama bertanggung jawab atas sebagian besar pekerjaan langsung, termasuk Rachel Riley, mantan insinyur yang sekarang menjadi asisten profesor di Universitas Rowan.
Riley mengatakan kemampuan untuk memandu nanopartikel ke organ tertentu akan sangat penting dalam merawat janin. Butuh pandemi untuk membuktikan maksudnya, tetapi sekarang partikel lipid telah begitu sukses dengan vaksin.
“Kita bisa, sampai batas tertentu, mendikte kemana kita ingin mereka pergi. Terutama pada janin, Anda ingin meminimalkan efek di luar target,” jelas Riley.
Riley mengatakan pada akhirnya keluarga dan kerabatnya telah memahami pentingnya apa yang telah diteliti olehnya selama bertahun-tahun. Ia menyebut bahwa hampir semua orang bertanya padanya tentang partikel nano.
Melatih sistem kekebalan untuk melawan penyakit menular cukup mudah. Melatihnya untuk melawan kanker jauh lebih menantang. Para ilmuwan berharap bahwa RNA dapat membantu menyelesaikan pekerjaan.
Pendekatan ini disebut vaksin terapeutik, artinya vaksin ini dirancang untuk mengobati seseorang yang sudah menderita kanker, bukan untuk mencegah penyakit seperti Covid-19. Namun dalam kedua kasus tersebut, tujuannya adalah membuat sel penerima untuk membuat protein khusus.
Dalam vaksin kanker RNA, molekul genetik membawa resep untuk protein dalam tumor pasien. Sel penerima membuat protein dan idealnya, sistem kekebalan belajar untuk mengenalinya sebagai protein asing, dan merespons dengan menghancurkan tumor itu sendiri.
Tantangan utama dalam mengobati kanker adalah tumor telah mengembangkan berbagai mekanisme untuk menekan sistem kekebalan. Vaksin RNA diharapkan dapat membantu mengatasi penekanan ini, terutama bila diberikan bersamaan dengan obat peningkat kekebalan lainnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: