Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ketua MPR RI Dorong KPK dan KADIN Indonesia Bangun Whistleblowing System

        Ketua MPR RI Dorong KPK dan KADIN Indonesia Bangun Whistleblowing System Kredit Foto: Majelis Permusyawaratan Rakyat
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) membangun whistleblowing system, untuk memudahkan pengelolaan laporan, khususnya terhadap saksi tindak pidana korupsi yang berasal dari korporasi.

        Sesuai Pasal 4 Ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, dengan tegas menyatakan bahwa korporasi dapat dipidana bila memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana yang dilakukan untuk kepentingan korporasi.

        Baca Juga: Bamsoet Bersama Gerak BS dan Komunitas Anak Jalanan Gelar Festival Musik Kreasi Anak Jalanan

        "Melalui whistleblowing system, para saksi yang melaporkan praktik korupsi di korporasi bisa mendapat perlindungan hukum. Selain membangun whistleblowing system sebagai bagian dari upaya penindakan, KPK bersama KADIN Indonesia juga sepakat untuk terus menguatkan kerjasama dalam upaya pencegahan terjadinya korupsi di dunia usaha," ujar Bamsoet usai pertemuan antara pimpinan KPK dan KADIN Indonesia di Jakarta, Senin (29/3/21).

        Turut hadir antara lain pimpinan  atau komisioner KPK Lili Pintauli Siregar dan Nurul Ghufron, Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan, Direktur Anti Korupsi Badan Usaha KPK Aminudin serta Ketua Umum KADIN Indonesia Rosan Roeslani. 

        Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menilai, Penempatan Direktorat Anti Korupsi Badan Usaha di bawah Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring dalam struktur organisasi KPK, dapat dimaknai bahwa upaya pencegahan (preventif) lebih diutamakan daripada tindakan represif (penindakan). Kebijakan ini selaras dengan kenyataan bahwa dari aspek penyelamatan aset (asset recovery), tindakan preventif akan lebih optimal dan berdayaguna dalam penyelamatan aset atau keuangan negara, dibandingkan tindakan represif.

        Merujuk pada Ketetapan MPR RI Nomor VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, juga mengamanatkan pentingnya mengkaji dan mengevaluasi seluruh regulasi terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, baik dalam aspek penyederhanaan (simplifikasi), sinkronisasi dan konsistensi, efektivitas, dan yang tidak kalah penting adalah penekanan fungsi preventif (pencegahan).

        Pentingnya menitikberatkan upaya pemberantasan korupsi pada aspek “pencegahan”, tentunya dapat dilakukan melalui beragam cara. Yang terpenting adalah, bahwa agar berdampak optimal, upaya-upaya tersebut harus dilakukan melalui langkah integratif dan kolaboratif, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

        Ada peran pemerintah selaku penyusun kebijakan dan regulasi. Ada peran dunia usaha yang dijamin hak- haknya untuk menjalankan bisnis melalui persaingan usaha yang adil dan transparan. Ada peran birokrasi yang berintegritas dan ber-orientasi melayani. Ada peran sistem dan mekanisme yang menjamin terselenggaranya proses bisnis yang sehat dan akuntabel dari hulu sampai ke hilir. Dan ada peran lembaga penegak hukum yang mengedepankan upaya-upaya preventif, mengawasi dan menegakkan aturan main, serta adanya peran partisipasi publik.

        Menurut Mantan Ketua Komisi III Bidang Hukum dan Keamanan ini, dari perspektif dunia usaha, berbagai kebijakan yang diterbitkan pemerintah pasca reformasi dinilai cenderung merugikan pengusaha, misalnya bila dirujuk pada sektor pajak, perizinan, lingkungan, sehingga pada akhirnya justru memperlambat pengembangan sektor industri. Kondisi ini juga disinyalir menjadi salah satu faktor pemicu lahirnya perilaku korup yang melibatkan pihak swasta / dunia usaha.

        Secara prinsip, dalam konteks dunia usaha, saya meyakini sepenuhnya bahwa tentunya tidak ada satu pun pengusaha yang mau terjerumus pada tindak pidana korupsi. Namun kenyataan di lapangan, masih banyak kendala yang dihadapi dan menempatkan para pengusaha dalam posisi dilematis : di satu sisi ingin berpartisipasi dalam proses bisnis yang berjalan, namun di sisi lain juga dihadapkan pada hambatan-hambatan dalam birokrasi atau mekanisme bisnis yang pada akhirnya dapat menjerumuskan mereka, sehingga terlibat pada suatu tindak pidana korupsi.

        Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan, KPK sebetulnya sudah membuat protokol pencegahan korupsi di dunia usaha melalui Corruption Prevention Guide for Business atau ISO 37001 Anti Bribery Management Systems. Namun, belum diikuti sepenuhnya oleh dunia usaha.

        "Data KPK per Desember 2020 mencatat, hampir 70 persen korupsi melibatkan pelaku usaha dari mulai swasta, BUMN, hingga BUMD. Berdasarkan berbagai temuan KPK di lapangan, praktik korupsi terjadi karena ada dua belah pihak yang saling berkolaborasi, yakni dari sisi pemerintah sebagai regulator dan dari sisi dunia usaha," jelas Bamsoet.

        Ketua DPR RI ke-20 ini menambahkan, bahkan KPK mencatat, 60 persen persoalan investasi yang tidak berintegritas berasal dari penyuapan. Kemudian baru diikuti oleh persoalan pada pengadaan (procurement) sebesar 23 persen.

        "Sangat penting bagi dunia usaha menerapkan prinsip anti korupsi. Bila dijalankan, justru akan membuat perusahaan menjadi lebih efisien dan meningkatkan profit, karena tidak perlu melakukan penyuapan maupun khawatir tertangkap aparat hukum," pungkas Bamsoet.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Alfi Dinilhaq

        Bagikan Artikel: