Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Mendongkrak Kinerja Kebun Petani Sawit

        Mendongkrak Kinerja Kebun Petani Sawit Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Besarnya Pungutan Ekspor yang seiring dengan peningkatan harga CPO, secara nyata telah menjadikan BPDPKS sebagai bagian dari industri kelapa sawit nasional. Berbagai peranan yang dilakukan BPDPKS, dapat mendorong petani sawit rakyat melalui pemberian subsidi replanting dan sarana prasarana supaya menjadi lebih maju di masa depan.

        Petani sawit rakyat yang masih minim akan sarana dan prasarana mendapat dukungan subsidi pendanaan melalui penggunaan dana BPDP Kelapa sawit. Dana bantuan sapras yang diatur melalui Surat Keputusan Dirjen Perkebunan Kementan No. 144/Kpts/OT.050/4/2020 tentang pendanaan sarana dan prasarana petani sawit rakyat menggunakan dana subsidi BPDPKS.

        Subsidi BPDPKS berupa paket bantuan pupuk dan pestisida, pemeliharaan berproduksi atau identifikasi berbasis paket bantuan per hektar. Selain itu subsidi sapras juga diberikan melalui paket alat paska panen, seperti egrek, angkong dan sebagainya yang sesuai normanya digunakan petani dalam melakukan kegiatan panen hasil perkebunan kelapa sawit.

        Dukungan pendanaan BPDPKS yang diatur SK Dirjenbun Kementan, secara teknis juga diatur melalui SK Dirut BPDPKS dalam pelaksanaannya, mengacu kepada keputusan SK Dirjenbun yang telah dikeluarkan.

        SK Dirut BPDPKS yang telah resmi berlaku sejak Mei 2020 ini, dapat menyalurkan dana subsidi kepada petani rakyat melalui hasil survey yang dilakukan pihak ketiga atau konsultan yang berfungsi melakukan survey, investigasi dan desain atas bantuan yang akan diberikan dalam bentuk paket/unit.

        Rencana pendanaan BPDP KS akan berfokus kepada 18 provinsi dengan target utama paket benih unggul sawit, pupuk dan pestisida untuk lahan gabungan petani kelapa sawit seluas 2.000 hektar. Target intensifikasi juga bisa mendapat bantuan dana BPDP KS dengan syarat utama luasan lahan 8.000 hektar, dimana bantuan dana BPDP KS juga akan diberikan dalam bentuk pembiayaan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dalam bentuk 10 paket dan target infrastruktur jalan seluas 6.000 hektar.

        Syarat utama dari paket bantuan yang akan diberikan yaitu melalui kelembagaan petani berupa organisasi atau gabungan kelompok tani dan aspek legalitas lahan petani minimal berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) dari kepala desa atau Lurah setempat.

        Bantuan subsidi sapras ini juga menjadi pelengkap dari bantuan subsidi replanting perkebunan sawit rakyat yang sebelumnya sudah di inisiasi BPDPKS. Target tahun 2021, replanting perkebunan sawit rakyat seluas 180 ribu hektar dengan kesiapan pendapanaan mencapai Rp. 5,56 triliun.

        Sebagai bagian dari pemerintah, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS) memiliki posisi strategis, untuk mendorong adanya perubahan dan kemajuan industri kelapa sawit dari hulu hingga hilir menjadi lebih maju di masa depan. Namun, minimnya informasi kepada masyarakat luas, seringkali menjadi kendala.

        Sebab itu Dana Pungutan Ekspor BPDP KS yang besar dari kutipan sawit, harus bisa dijelaskan kepada publik terutama petani perkebunan kelapa sawit dan masyarakat luas, besaran dan penggunaannya. Baik untuk dukungan BPDP KS terhadap keberadaan Green Biodiesel Sawit dan Perkebunan Sawit Rakyat terutama peningkatan kapasitas petani kelapa sawit.

        Padahal untuk mendapatkan bantuan dana tersebut, cukup sederhana dan diyakini tidak akan menyulitkan petani kelapa sawit untuk konteks ekstensifikasi, intensifikasi, jalan kebun dan sertifikasi Indonsian ISPO. Pemerintah menjamin neberapa persyaratan itu akan difasilitasi Dinas Perkebunan setempat, misalnya untuk penerbitan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), jadi saat diajukan bukan mutlak ada, namun yang terpenting ada kesanggupan untuk menyelesaikan.

        Dikatakan Direktur Penyaluran Dana BPDP-KS, Edi Wibowo, untuk mendukung petani swadaya, solusi Pemerintah salah satunya melalui program penanaman kembali sawit rakyat besar-besaran yang bertujuan untuk membantu petani swadaya, memperbaharui perkebunan kelapa sawitnya dengan kelapa sawit yang lebih berkelanjutan dan berkualitas dan mengurangi risiko pembukaan lahan ilegal (PenggunaanLahan, Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan (LULUCF).

        Namun demikian untuk memperoleh dukungan tersebut petani harus clean and clear terutama mengenai legalitas.

        "Petani sawit swadaya yang berpartisipasi dalam program ini harus mengikuti aspek legalitas tanah. Mereka yang tidak, akan menerima bantuan hak,” katanya dalam FGD Sawit Berkelanjutan Vol 7, bertajuk 'Meningkatkan Peranan Petani Sawait Melalui Subsidi Replanting dan dan Subsidi Sarana Prasarana' Rabu 28 April 2021, yang diadakan majalah InfoSAWIT.

        Lantas untuk peremajaan sawit itu betujuan untuk meningkatkan produktivitas, dimana standar produktivitas untuk program penanaman kembali dikisaran 10 ton tandan buah segar/ha/tahun dengan kepadatan tanaman

        Lebih lanjut Edi menuturkan, untuk memastikan prinsip keberlanjutan, peserta program ini diharuskan untuk mendapatkan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) pada panen pertama. Program penanaman kembali mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan, yang meliputi: tanah, konservasi, lingkungan dan lembaga.

        Sementara rogram Pengembangan Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit, dimaksudkan untuk peningkatan produksi, produktivitas dan mutu hasil perkebunan kelapa sawit, meliputi bantuan benih pupuk, pestisida, alat apska panen, jalan kebun dan akses ke jalan umum dan atau ke pelabuhan, alat transportasi, alat pertanian, pembentukan infrastruktur pasar, serta verifikasi/oenelurusan teknis.

        Sementara diungkapkan, Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus darto, sejatinya peremajaan sawit adalah upaya peningkatan kesejahteraan petani melalui peningkatan produktivitas, sekaligus untuk memperkuat aspek sustainability kelapa sawit Indonesia dengan memaksimalkan existing plantation melalui peningkatan yield dan mencegah pembukaan lahan baru/ deforestasi.

        Sampai saat ini kata Darto, untuk mempermudah menerima dana bantuan BPDP-KS, syarat telah pula disederhakan dari 16 syarat menjadi 2 syarat. Kendati sudah ada kemudahan yang diberikan namun demikian, masih ada yang perlu dikritis, seperti kata Darto, target PSR dari tahun 2017 sampai 2022 yang mencapai 725 ribu hektar itu di ukur dari mana, apalagi tiap tahun muncul target yang seolah-olah diketahui tempat dan wilayah PSR akan dilakukan.

        “Tetapi sayangnya dari sisi capaian dan target, setiap tahun hamper GAGAL. Termasuk pelibatan Lembaga surveyor, belum ada sisi pencapaian dari target yang ada, bahkan dana PSR hingga 2020 hanya mencapai Rp 5,5 T dan berbanding jauh dengan Biodiesel yang mencapai Rp 57,27 Triliun,” kata Darto.

        Tutur Darto, sebenarnya etani masih banyak yang belum memahami program PSR. Dampaknya, mereka melakukan peremajaan secara mandiri tanpa melalui program. Saat ini bahkan petani sawit swadaya masih berpencar-pencar dan tidak adanya kelembagaan tani.

        “Pendampingan kurang memadai karena SDM dan pendanaan yang minim di tingkat kabupaten/ dinas. Belum ada real data misalnya siapa, dimana, jenis lahan, dan tahun tanam berapa, di level pemerintah. Lantas, beberapa pendamping desa untuk PSR; tidak dibayar, termasuk luas lahan hanya skala kecil sekitar 2 ha, jika di remajakan-akan hilang pendapatan petani,” katanya.

        Sebab itu kedepan untuk Program PSR, Darto mengusulkan, adanya penambahan dana PSR dari 30 juta per hektare menjadi 50 juta per hectare untuk menghindari piutang ke bank, kemudian pengadaan dana pra-kondisi PSR untuk petani swadaya murni.

        Sejatinya, kelembagaan tani sebagai point penting untuk pelaksanaan PSR, tapi dana BPDP-KS tidak mendukung pembentukan kelembagaan tani. Kata Darto, apakah dimungkinkan dana BPDP-KS menjadi dana desentralisasi, sehingga pengelolaan dana ke Kabupaten atau provinsi bukan di Jakarta.

        Bagi pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit, program PSR menjadi salah satu upaya meningkatkan produktivitas kebun sawit dan mendongkrak produksi tanpa harus menambah lahan. Sebab itu perusahaan perkebunan kelapa sawit telah berkomitmen menjadikan Percepatan PSR sebagai fokus utama Program Kerja tahun 2021.

        Untuk mendukung program PSR tersebut, pihak GAPKI telah melakukan pertemuan dengan Menko Perekonomian pada bulan September 2020, guna membantu percepatan pelaksanaan Program PSR.

        Juga melakukan upaya kerjasama dengan Asosiasi Petani untuk memfasilitasi Kelompok Tani/Koperasi untuk dapat Bermitra dengan Anggota GAPKI, memfasilitasi Kelompok Tani/Koperasi Petani untuk dapat Bermitra dengan Anggota GAPKI. Berkoordinasi dan Fasilitasi Surveyor Indonesia untuk mendapatkan mitra kelompok tani/koperasi dengan anggota GAPKI di masing-masing Cabang/Propinsi.

        “Melakukan pendataan proses dan progres PSR dari anggota GAPKI di masing-masing cabang GAPKI. Membentuk Satgas PSR,” tutur Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono.

        Lebih lanjut tutur Eddy, bentuk kemitraan dengan petani bisa dalam bentuk Pendampingan Kultur Teknis, Kontraktor Peremajaan, Avalist Full Commercial dan Operator Pengelolaan. Beberapa tantangan untuk menjalankan program PSR juga diantaranya, melanjutkan kerjasama kemitraan dengan inti, karena ada sebagian petani plasma yang sudah selesai masa kemitraannya.

        “Banyaknya SHM yang berpindah tangan/digadaikan menjadi kendala jaminan Bank, kondisi Koperasi dan Kepengurusan Koperasi yang kurang kondusif. Penghasilan petani saat replanting, serta besarnya biaya replanting, termasuk Banyak bertumbuhnya Pabrik tanpa kebun,” kata Eddy.

        Lain halnya dengan Dewab Redaksi InfoSAWIT, Maruli Gultom, kelapa sawit kini telah menjadi satu-satunya komoditas yang menjuarai dunia, sementara komoditas ainnya seperti coklat, karet dan lainnya hanya menjadi komoditas nomor tiga dan seterunya.

        Saat ini pelaku kebun sawit lebih didominasi petani mencapai 41%, bila dihitung kontribusi petani terhadap devisa negara menjadi cukup bahkan melebihi nilai ekspor migas.

        "Sekarang ini sekitar 1,2 juta petani yang bekerja di perkebunan kelapa sawit," kata Maruli.

        Namun demikian pertanyaannya apakah petani sawit sudah sejahtera? Padahal kelapa sawit adalah komoditas utama Indonesia di dunia. Bahkan kini industri sawit masih saja diganggu bahkan dibebani beragam pungutan. 

        “Sebenarnya untuk menolong industri sawit pemerintah tidak usah ikut campur, itu sudah sangat membantu,” kata Maruli.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: