Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Penentang Junta Myanmar Bikin Syarat Jika Mau Berdialog dengan Militer

        Penentang Junta Myanmar Bikin Syarat Jika Mau Berdialog dengan Militer Kredit Foto: Reuters/Stringer
        Warta Ekonomi, Naypyitaw -

        Para penentang militer Myanmar yang tergabung dalam National Unity Government (NUG) mengajukan syarat untuk berunding dengan junta militer Myanmar. Menurut NUG, mereka tidak akan bersedia berunding sebelum junta membebaskan semua tahanan politik.    

        “Sebelum tercipta dialog membangun, harus ada pembebasan para tahanan politik tanpa syarat, termasuk Presiden U Win Myint dan Kanselir Negara Daw Aung San Suu Kyi,” ujar Mahn Winn Khaing Thann, yang memegang jabatan perdana menteri dalam NUG, Rabu (28/4). 

        Baca Juga: Persatuan Pro-demokrasi Myanmar Ogah Dialog sampai Para Tapol Diperlakukan...

        Ini menjadi pernyataan pertama NUG setelah pertemuan kepala negara ASEAN di Jakarta, Sabtu (24/4/2021). NUG dibentuk bulan ini oleh para politisi yang digusur junta Myanmar dalam kudeta 1 Februari. Di antara mereka terdapat para anggota parlemen yang dilengserkan oleh junta. 

        Win Myint dan Suu Kyi ditahan junta sejak 1 Februari. Partai Suu Kyi, yaitu National League for Democracy (NLD), memenangkan pemilihan umum (pemilu) pada November 2020. Militer berdalih, kudeta dilakukan karena ada kecurangan dalam pemilu. 

        Pertemuan ASEAN di Jakarta dianggap menghasilkan kemajuan besar untuk mengatasi persoalan negara itu. Pertemuan itu menghasilkan lima poin konsensus menuju dialog di Myanmar. Pemimpin junta, Jenderal Min Aung Hlaing, hadir dalam pertemuan itu. Namun, ASEAN tidak mengundang NUG. 

        Di Jakarta, Min Aung Hlaing setuju untuk mengakhiri kekerasan, tetapi tidak memberikan peta jalan tentang bagaimana hal itu akan terjadi. Seusai pertemuan, junta hanya menyatakan akan mempertimbangkan sebaik-baiknya poin-poin konsensus ASEAN. 

        Pertemuan ASEAN juga mengundang kritik dari penentang junta Myanmar. “Pernyataan ASEAN adalah tamparan di wajah orang-orang yang disiksa, dibunuh, dan diteror oleh militer,” tulis pemilik akun Facebook, Mawchi Tun.

        Sementara pada Rabu, para pendukung NUG kembali turun ke jalan di Mandalay. Sementara data lembaga aktivis Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) menyebutkan, lebih dari 750 orang tewas di tangan aparat junta. Saat ini, lebih dari 3.300 orang ditahan junta. 

        Efektifitas ASEAN

        Pengamat hubungan internasional Fisipol UGM, Dr Muhadi Sugiono, mengapresiasi Indonesia yang jadi tuan rumah KTT ASEAN soal krisis di Myanmar. Namun, ia menekankan, efektivitas hasil KTT ini harus tidak berhenti dari yang disepakati negara-negara ASEAN dan menerjemahkan ke tindakan-tindakan konkrit.

        Muhadi mengatakan, mendudukkan pihak-pihak yang terlibat konflik di Myanmar jadi keharusan jika ASEAN mau benar-benar berperan menyelesaikan konflik. Ia menilai, pemimpin-pemimpin ASEAN bisa berkaca dari pengalaman Indonesia menggelar Jakarta Informal Meeting dalam penyelesaian konflik Indocina yang berlangsung 1988-1990.

        "Melalui Jakarta Informal Meeting yang berlangsung 1988-1990, Indonesia menghadirkan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk berbicara satu sama-lain. Dalam kasus Myanmar, tidak bisa tidak, itu harus dilakukan," kata Muhadi, Selasa (27/4/2021).

        Ia berpendapat, KTT ASEAN memang merupakan kemajuan terkait hubungan ASEAN dan negara-negara anggota. Selama ini, melalui prinsip non-interference, ASEAN dan negara-negara anggota selalu berusaha mengindarkan diri memberikan respon atau bahkan pernyataan-pernyataan terhadap yang terjadi di negara-negara anggota.

        "Berbeda dengan praktik-praktik sebelumnya, KTT ASEAN tentang krisis di Myanmar bisa dilihat sebagai terobosan. Apalagi, jika dilihat dari apa yang dihasilkan, yang antara lain menuntut dihentikannya kekerasan di Myanmar," ujar Muhadi.

        Namun, lanjut Muhadi, efektif dan tidaknya KTT ASEAN akan menghentikan krisis di Myanmar tentu tidak bisa dengan mudah dijawab dari apa yang dihasilkan dalam KTT tersebut. Sebab, ia melihat, apa-apa yang dihasilkan oleh KTT ASEAN sebenarnya mencerminkan common denominator (faktor-faktor persekutuan) yang relatif rendah.

        Pembuatan keputusan seperti ini sebenarnya sangat umum dipraktikkan oleh banyak organisasi, termasuk ASEAN. Sebab, negara-negara anggota akan bisa sampai kepada konsensus kalau mereka tidak merasa terancam dan, di KTT ASEAN tentang krisis Myanmar ada indikasi keputusan ASEAN mencerminkan common denominator rendah.

        "Terlihat misalnya dengan ketidakhadiran PM Thailand, Prayuth Chan-ocha, dan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, serta kehadiran pemimpin junta militer," ujar Muhadi.

        Bahkan, pemerintah militer di Thailand yang menggulingkan pemerintah demokratis jadi salah satu ganjalan bagi ASEAN mengambil suara atau keputusan yang sangat keras terhadap Myanmar. Menurut Muhadi, jika nantinya ASEAN memberi sikap tegas kepada Myanmar tapi tidak kepada Thailand, maka reputasi ASEAN akan hancur.

        "Karena ASEAN menerapkan standar ganda. Ini pekerjaan rumah besar bagi Asean," kata Muhadi.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: