Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Menggali Munculnya Kelompok-kelompok di Palestina, Dari Hamas hingga PLO

        Menggali Munculnya Kelompok-kelompok di Palestina, Dari Hamas hingga PLO Kredit Foto: Flash90/Abed Rahim Khatib
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pergumulan Palestina untuk merdeka menampilkan peran-peran yang dominan dari pelbagai pihak. Konflik yang melanda bumi Al Quds terjadi sejak Israel mencaplok sebagian besar wilayah Palestina pada 1948. 

        Helga Baumgarten melalui artikelnya, The Three Faces/Phases of Palestinian Nationalism 1948-2005, membagi perkembangan sejarah perjuangan negara tersebut ke dalam tiga tahap, yakni era pan-Arab, nasionalisme-sekular, dan nasionalisme-Islam. Berikut penjelasannya: 

        Baca Juga: Gila... Cuma AS yang Nggak Mau Palestina-Israel Berdamai, PBB Sampai Dibikin Mingkem!

        Harakat al-Qaumiyyin al-Arab 

        Fase pertama diwakili Harakat al-Qaumiyyin al-Arab (al-Harakiyyin/the Movement of Arab Nationalists/MAN). Embrio awalnya merupakan al-Urwa al-Wuthqa, suatu kelompok kemahasiswaan American University of Beirut (AUB, Lebanon). 

        Organisasi ini kemudian lebih aktif di bidang politik, terutama sejak deklarasi Israel, yang diikuti tragedi (nakba) pengusiran lebih dari 750 ribu orang Palestina dari tanah air mereka, serta kekalahan Liga Arab dalam perang melawan pasukan Zionis. 

        Pada 1958, al-Urwa al-Wuthqa berubah menjadi al-Harakiyyin. George Habash (1926-2008), seorang dokter Palestina, diangkat menjadi ketua. Perkumpulan ini diisi mayoritas Palestina, tetapi keanggotaannya bersifat terbuka bagi seluruh bangsa Arab, baik Muslim maupun Kristen.

        Mereka mengusung nasionalisme Pan- Arab. Ideologi tersebut sedang populer pada 1950-an di Asia Barat. Al-Harakiyyin berupaya membangkitkan persatuan di atas kemajemukan seluruh elemen Arab demi menumbangkan Zionis.

        Inspirasinya berasal dari gagasan-gagasan Constantin K Zurayk (1909-2000), profesor ilmu sejarah AUB. Bukunya yang paling dikenang, The Meaning of Disaster (1948), menekankan pentingnya autokritik bangsa Arab. Sebagai contoh, ketertinggalan mereka menyebabkan nakba Palestina. Karena itu, diimbaunya agar seluruh elemen Arab meninggalkan ego kesukuan dan fatalisme. 

        Akademisi yang lahir di Damaskus, Suriah, itu menilai, kekuatan Israel dan sekutu-sekutunya perlu diimbangi melalui industrialisasi dan pergerakan modernis, termasuk di sini sekularisasi negara.

        Konteksnya adalah pasca-Perang Dunia II, yang memunculkan dua adidaya: Amerika Serikat (Blok Barat) dan Uni Soviet (Blok Timur). Keduanya mengakui Israel sebagai negara berdaulat pada 1948. 

        Sebagai respons polarisasi itu, para pemimpin negara-negara dunia ketiga mendirikan Gerakan Non-Blok pada 1961. Di antara mereka, terdapat representasi pemimpin Arab, Gamal Abdel Nasser (1918-1970).

        Presiden Mesir itu menjadi satu-satunya figur kharismatik yang mampu menyatukan nasionalisme Arab. Al-Harakiyyin pun mengikutinya sampai berlangsungnya sidang pertama Liga Arab di Kairo. Pada Mei 1964, Dewan Nasional Palestina (PNC) bersidang di Yerusalem untuk merealisasi kan rencana Liga Arab.

        PLO

        Palestine Liberation Organization (PLO) dideklarasikan pada 2 Juni berikutnya. Baum garten menyebut, sejak saat itu popularitas al-Harakiyyin terancam. Apalagi, Nasser sendiri menilai al-Harakiyyin tidak kuat secara politik. Alih-alih merang kulnya, Nasser lebih mendukung PLO yang saat itu juga mengusung nasionalisme pan-Arab.

        Sayang, persatuan Arab yang digalang Nasser menemui kendala. Pada 1967, koalisi militer Arab yang dipimpin Mesir kalah dalam Perang Enam Hari melawan Israel. Zionis berhasil memperluas wilayah jajahannya dengan mencaplok Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan.

        Baumgarten menyimpulkan, kekalahan ini menandakan senjakala ideologi Pan- Arab. Semboyan yang kini berlaku bukan lagi Kunci kemerdekaan Palestina adalah persatuan Arab, melainkan sebaliknya, Kunci persatuan Arab adalah kemerdekaan Palestina.

        Perjuangan membebaskan Palestina kemudian menitikberatkan pada inisatif negara itu sendiri, bukan lagi aliansi Arab. Keterpurukan Arab dalam Perang Enam Hari menandakan babak baru PLO. Inilah fase kedua pergerakan nasional Palestina.

        Fatah 

        Representasinya tidak lain Harakat at- Tahrir al-Filasthini (Fatah, disingkat dari kiri-kanan). Yasser Arafat (1929-2004) menjadi pemimpin faksi mayoritas di PLO tersebut. Fatah berdiri sejak 1959 di Kuwait. Dia berusaha merangkul diaspora Palestina, baik kaum akademisi, pekerja di negaranegara Teluk Persia, maupun aktivis keturunan pengungsi di Gaza.

        Awalnya, Fatah memprioritaskan caracara gerilya bersenjata. Inspirasinya datang dari gelombang perjuangan dekolonialisasi rupa-rupa bangsa dunia ketiga, semisal Aljazair atau Kuba.

        Momentum kebangkitan Fatah terjadi melalui pertempuran pada 1968 di Kota Karamah, Yordania. PLO dan Yordania mula-mula berkoalisi melawan Israel. Saat perang ini usai, masing-masing pihak mengklaim kemenangan.

        Satu hal yang pasti, yaitu citra Israel kian buruk di level internasional. Adapun bagi Yordania, konfliknya dengan PLO justru semakin kentara. Di dalam negeri Yordania, unsur Palestina itu tidak hanya berhasil merebut simpati penduduk, tetapi juga bertindak seolah-olah negara dalam negara. Pada September 1970, keduanya saling menyerang.

        Yordania akhirnya menang sehingga PLO menyingkir ke Lebanon. Organisasi ini lantas terlibat kancah perang saudara yang sedang berkecamuk di sana. Israel dan kelompok-kelompok koalisinya menga lahkan PLO sehingga entitas Palestina ini keluar dari Lebanon Selatan. Sesudahnya, pemerintah pengasingan (government in exile) Palestina terbentuk di Tunisia.

        Perubahan yang signifikan terjadi pada 1974. Hal ini dilatari fakta, 18 tahun lamanya Fatah mengandalkan perjuangan bersenjata, tetapi hasilnya jauh dari kesuksesan. Karenanya, Fatah mulai memprio ri taskan jalur politik dan strategi diplomasi. Langkah ini ditanggapi PNC yang kemudian bersidang di Aljazair. Disepakatilah dukungan terhadap solusi dua-negara.

        Skema ini bertujuan agar Palestina dan Israel hidup berdampingan sebagai dua negara berdaulat. Batas-batas yang dimaklumi berdasarkan demarkasi pra-1967. Dengan demikian, wilayah Palestina Merdeka akan meliputi Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza.

        Bertempat di Aljir, Yasser Arafat membacakan teks Proklamasi Palestina pada 15 November 1988. Yerusalem ditetapkan sebagai ibu kota Palestina. Pada April setahun berikutnya, pria yang selalu tampil dengan keffiyeh khas ini terpilih menjadi presiden pertama negara tersebut. 

        Hamas

        Hegemoni Fatah di PLO mulai disaingi Hamas. Inilah fase ketiga sekaligus yang paling terkini dari dinamika pergerakan nasional Palestina. Momentum kemun culannya berkaitan dengan Intifada Pertama pada 1987. Sosok utama yang menginisiasinya adalah Syekh Ahmad Yasin (1929- 2004), ulama kharismatik yang berperan dari atas kursi roda. 

        Berlainan dari al-Harakiyyin atau Fatah, Hamas menegaskan, Islam sebagai ideologi politik. Ciri lainnya, organisasi ini dirintis dan kemudian dikembangkan di dalam negeri Palestina. Maszlee Malik dalam bukunya, Hamas: daripada Underground kepada Parti Pemerintah, menerangkan penyebab kemunculan Hamas pada 1987 bukan kekecewaan terhadap Fatah ataupun manuver Partai Likud Israel.

        Cikal bakal gerakan Hamas sudah mewujud jauh sebelum Intifada Pertama. Sebagai gambaran, nama divisi militer Hamas, Brigade Izzuddin Al Qassam, diambil dari Syekh Izz Ad Din Al Qassam (1882-1935). Dia merupakan seorang pemimpin Palestina yang menolak migrasi besar-besaran etnis Yahudi ke tanah airnya periode 1917-1948. 

        Munculnya Hamas lebih dilatari keterlibatan Ikhwanul Muslimin (IM/al-Ikhwan). Gerakan yang bermula di Mesir pada 1928 itu sesungguhnya telah memerangi invasi Zionis di Palestina sedari mula. Namun, kontribusinya sempat meredup ketika Nasser menguasai Mesir dan menindas aktivis-aktivis Islam setempat.

        Perang Arab-Israel 1967 menggencarkan lagi aktivitas mereka di Palestina. Kaderisasi dipusatkan di masjid-masjid atau rumah-rumah penduduk. Pembangunan pun bertumbuh pesat. Malik mencon ohkan, pada 1979 saja, terdapat lebih dari 750 unit masjid di Gaza dan Tepi Barat sebagai upaya IM.

        Tidak lama setelah meletusnya Intifada Pertama, ketua IM cabang Gaza, Syekh Ahmad Yasin, bersama dengan rekannya, antara lain Abdul Aziz al-Rantissi, mendirikan Hamas. Kemerdekaan Palestina 100 persen menjadi tujuannya. Mereka menghendaki pemulihan wilayah negara itu sebagaimana adanya sejak 1948. Artinya, eksistensi Israel dianggapnya ilegal.

        Hingga 2017, hal itulah yang terutama membedakannya dari Fatah. Di samping kemiliteran, Hamas juga memiliki divisidivisi yang terkait infrastruktur publik, semisal rumah sakit, sekolah, panti asuhan, masjid, atau dapur umum. Dia juga menunjang kebutuhan rutin keluarga Palestina yang anggotanya ditahan di penjara-penjara Israel.   

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: