Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        PE Minyak Sawit dan Turunannya Direvisi, Bagaimana Perubahannya?

        PE Minyak Sawit dan Turunannya Direvisi, Bagaimana Perubahannya? Kredit Foto: Instagram/Sri Mulyani
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pemerintah Indonesia akan kembali merevisi peraturan terkait tarif Pungutan Ekspor (PE) minyak kelapa sawit (crude palm oil/ CPO) dan produk turunannya. Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan bahwa revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tersebut direncanakan akan diterbitkan pada akhir bulan Juni ini.

        "PMK sedang direvisi dan bisa terbit secepatnya pada Juni ini, seharusnya lebih cepat. Mungkin tinggal proses harmonisasi dan penerapan saja," kata Sri Mulyani, saat konferensi pers APBN Kita Edisi Juni 2021, Senin (21/06/2021).

        Baca Juga: Riset Kemenlu: Kontribusi Minyak Sawit Paling Besar terhadap SDGs

        Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan RI, Febrio Nathan Kacaribu, menjelaskan secara rinci terkait rencana perubahan tarif tersebut. Sebagai titik awal, ekspor CPO akan mulai dikenakan pungutan ketika harga menyentuh US$750/ton.

        "Kena mulai harga US$750/ton, setiap kenaikan US$50 akan dikenakan dua tarif. Pertama adalah US$20/ton untuk CPO dan US$16/ton untuk produk turunannya," ungkap Febrio dalam kesempatan yang sama.

        Lebih lanjut dijelaskan Febrio, PE akan terhenti ketika harga CPO menyentuh US$1.000/ton. Di posisi harga tersebut, PE tercatat sebesar US$175/ton. "Itu flat, tidak naik lagi," ujarnya.

        Besaran tarif baru PE CPO tersebut dapat dikatakan lebih ringan dibandingkan PE yang tercantum dalam peraturan yang ada saat ini. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono seperti dikutip dari CNBC Indonesia mengatakan, "Revisi/penurunan disesuaikan dengan dinamika pasar dan kebutuhan dana untuk mendukung pengembangan industri hilir dan pasar, serta program lainnya."

        Dikatakan Joko, dengan penurunan tarif ekspor CPO ini, produsen sawit bisa berinvestasi atau meningkatkan kapasitas produksinya sehingga bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja. "Ini penting di saat pemerintah ingin pemulihan ekonomi berjalan lebih cepat," ujar Joko.

        Seperti diketahui, pada 3 Desember 2020 lalu, Menteri Keuangan baru saja menerbitkan PMK No 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No.57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan. PMK tersebut baru berlaku sejak tujuh hari setelah peraturan ini terbit atau sejak 10 Desember 2020 lalu. Dalam peraturan tersebut, tarif PE untuk CPO minimal sebesar US$55 per ton dan paling tinggi US$255 per ton.

        Tarif pungutan US 55 per ton dengan asumsi harga CPO berada di bawah atau sama dengan US$670 per ton. Untuk harga CPO di atas US$670 per ton–US$695 per ton, tarif PE naik sebesar US$5 per ton menjadi US$60 per ton. Namun, jika harga CPO di atas US$695 per ton–US$720 per ton, tarif PE naik lagi sebesar US$15 per ton menjadi US$75 per ton.

        Apabila harga CPO di atas US$720 per ton–US$745 per ton, PE akan naik menjadi US$90 per ton, dan seterusnya. Setiap harga CPO naik US$25 per ton, PE akan naik sebesar US$15 per ton. Apabila harga CPO di atas US$995 per ton, tarif PE mencapai US$255 per ton. Jumlah pungutan yang sama terjadi pada crude palm kernel oil (CPKO) dan crude palm olein.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Ellisa Agri Elfadina
        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: