Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Translator Amerika di Afghanistan Dieksekusi Taliban, Perlawanan Dilakukan tapi...

        Translator Amerika di Afghanistan Dieksekusi Taliban, Perlawanan Dilakukan tapi... Kredit Foto: Reuters
        Warta Ekonomi, Kabul -

        Sohail Pardis hendak menjemput saudara perempuannya di dekat Provinsi Khost untuk merayakan Idul Adha. Perjalanan dari Kabul selama lima jam itu harusnya menyenangkan.

        Namun pada 12 Juli lalu Pardis yang berusia 32 tahun harus melewati gurun yang luas. Mobilnya tiba-tiba dihalangi pos pemeriksaan milisi Taliban.

        Baca Juga: Mengerikan, Korban Sipil Afghanistan Terus Berjatuhan di Angka yang Belum Pernah Terjadi

        Beberapa hari sebelumnya Pardis mengatakan pada salah satu temannya ia menerima ancaman pembunuhan dari Taliban. Setelah kelompok tersebut mengetahui Pardis pernah bekerja sebagai penerjemah untuk pasukan Amerika Serikat (AS) selama 16 bulan dalam perang yang berlangsung 20 tahun.

        "Mereka menuduhnya sebagai mata-mata Amerika, 'kamu mata orang Amerika, kamu kafir dan kami akan bunuh kamu dan keluarga kamu," kata teman dan rekan kerja, Pardis, Abdulhaq Ayoubi pada CNN, Senin (26/7/2021).

        Saat mendekati pos pemeriksaan Pardis menekan gas untuk mempercepat mobilnya. Sejak itu ia tidak pernah terlihat dalam keadaan hidup lagi. Warga desa yang menyaksikan kejadian itu mengatakan Taliban menembak mobil Pardis sebelum mobil itu terhenti. Taliban menyeret Pardis keluar mobil dan memenggalnya.

        Pardis salah satu dari ribuan penerjemah Afghanistan yang bekerja untuk militer AS. Kini para penerjemah itu terancam dieksekusi Taliban yang memperluas daerah kekuasaannya sejak Presiden Joe Biden mengumumkan penarikan pasukan AS di Afghanistan.

        Dalam pernyataannya bulan Juni lalu Taliban berjanji tidak akan melukai orang-orang yang bekerja untuk pasukan asing. Juru bicara Taliban mengatakan pada CNN mereka sedang memverifikasi detail kejadian Pardis, tapi menegaskan sejumlah insiden tidak seperti yang diceritakan.

        Namun para penerjemah mengatakan mereka khawatir Taliban akan membalas dendam ketika pasukan AS mundur dari Afghanistan. Di puncak perang ada sekitar 100 ribu pasukan AS yang ditempatkan di Afghanistan.

        "Kami tidak dapat bernapas di sini, Taliban tidak memberi ampun pada kami," kata Ayuobi.

        Sudah sekitar 18 ribu warga Afghanistan yang bekerja untuk militer AS yang mengajukan program Visa Khusus yang membuat mereka datang ke AS. Pada 14 Juli lalu Gedung Putih mengatakan mereka menggelar 'Operasi Pengungsi Sekutu'.

        Program digulirkan untuk merelokasi ribuan penerjemah Afghanistan yang bekerja untuk pasukan asing. Juru bicara Gedung Putih Jen Psaki mengatakan pengungsi yang mengajukan Visa Imigran Khusus (SIV) sudah akan melakukan evakuasi pada akhir pekan lalu.

        Sebelumnya pemerintah Biden mengatakan akan berbicara dengan sejumlah negara untuk menyediakan tempat aman, sampai AS menyelesaikan proses visa yang membutuhkan waktu. Hal ini menunjukkan pemerintah AS menyadari ancaman nyata dari Taliban.

        Juru bicara Pentagon John Kirby mengatakan Departemen Pertahanan AS mempertimbangkan 'pilihan' negara mana yang mungkin dapat ditempati pengungsi Afghanistan.

        "Kami masih mempertimbangkan lokasi-lokasi di luar negeri yang memiliki fasilitas departemen pertahanan AS yang mampu mendukung rencana relokasi dengan tempat tinggal sementara yang layak dan infrastruktur yang mendukung," kata Kirby.

        Pardis meninggalkan seorang putri berusia 9 tahun yang kini masa depannya tidak pasti. Ia tinggal dengan pamannya Najibullah Sahak. Sahak mengatakan ia dan keponakannya itu meninggalkan rumah mereka di Kabul karena khawatir menjadi target Taliban selanjutnya. Di makam Pardis, Sahak mengatakan keluarganya tidak aman.

        "Saya sangat mengkhawatirkan keselamatan keluarganya, tidak banyak yang dapat dikerjakan di negara dan situasi keamanan sangat buruk," katanya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: