Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Taliban Koar-koar Bakal Lebih Moderat, Pengamat: Mereka Ciptakan Opini Positif di Dunia

        Taliban Koar-koar Bakal Lebih Moderat, Pengamat: Mereka Ciptakan Opini Positif di Dunia Kredit Foto: AP Photo/Alexander Zemlanichenko
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Usai merebut kekuasaan di Afghanistan kelompok milisi bersenjata Taliban berjanji untuk lebih moderat dibandingkan pemerintahan di masa lalu. Tapi masih banyak pihak yang khawatir Taliban akan mengekang hak perempuan dan memberlakukan hukum rajam.

        Pengajar hubungan internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah mengatakan saat ini. Taliban sedang euforia kemenangan atas negara adikuasa sehingga mereka sedang dalam optimisme tinggi.

        Baca Juga: Taliban Minta Para Perempuan Gabung Pemerintahannya: Wajib Ada dalam Hukum Syariat

        Kelompok milisi bersenjata itu juga melampaui perkiraan NATO yang memprediksi Taliban baru bisa masuk Kabul tiga bulan lagi. Ternyata dalam dua minggu mereka sudah menerobos ibu kota Afghanistan tersebut.

        Dalam kondisi seperti itu menurut Teuku, Taliban akan berbicara pada tataran idealis. Kelompok itu mengaku ingin membentuk persatuan nasional, tidak menghukum orang-orang anti-Taliban, serta mengampuni tentara, pemerintah, dan aparat kepolisian Afghanistan.

        "Taliban ingin rujuk nasional. Untuk rujuk nasional itu hendaknya mereka lakukan juga dengan menciptakan opini positif di dunia. Tadi kan di dalam sekarang di luar, karena jangan sampai pergerakan mereka di dalam salah ditafsirkan oleh masyarakat internasional," kata Teuku, Selasa (17/8/2021).

        Sebab, kata dia, batas-batas geopolitik Afghanistan cukup rawan. Di sebelah timur, Afghanistan berbatasan dengan Pakistan, sebelah barat berbatasan dengan Iran, di utara berbatasan dengan Turkmenistan, Uzbekistan dan Tajikistan, di timur laut berbatasan dengan China.

        "Jadi jangan sampaikan pesan pembangunan yang disampaikan di dalam negeri disalahartikan oleh kalangan di perbatasan, sehingga negara-negara yang tadi, Pakistan, Iran, Turkmenistan, Uzbekistan, Tajikistan, dan Cina melakukan sesuatu yang menganggu perbatasan Taliban," tambah Teuku.

        Karena, kata dia, selama konflik dengan Amerika Serikat (AS) perbatasan-perbatasan Afghanistan termasuk wilayah rawan. Mungkin ada pihak yang salah tafsir sehingga melakukan tindakan yang merusak proses pembangunan.  

        "Ke depannya saya pikir mereka akan banyak berbicara pendekatan-pendekatan pembangunan, mereka akan berbicara tentang misalnya pendidikan, kesehatan, kerja sama teknologi, pemerintahan yang berbasis supremasi hukum, kemudian berusaha mempersatukan masyarakat sipil," kata Teuku.

        Pasalnya, Afghanistan juga masyarakat multietnis. Berdasarkan data World Population Review persentase demografi etnis Afghanistan antara lain Pashtun 42 persen, Tajik 27 persen, Hazara 9 persen, Uzbek 9 persen, Aimak 4 persen, Turkmen 3 persen, Baloch 2 persen dan empat persen sisanya masuk kelompok etnis 'lain.'

        "Ini harus dipersatukan, karena sentimen etnisnya mereka berbahasa berbeda, sejarah kebangsaan berbeda tapi agamanya satu, kira-kira 88 persen Islam sunni dan 12 persen Islam syiah," kata Teuku.

        Oleh karena itu, menurut Teuku, Taliban harus mengkomunikasikan Islam seperti apa yang akan mereka terapkan di Afghanistan. Ia mengatakan masyarakat internasional harus memahami implementasi Islam yang diterapkan Taliban secara khas.

        "Kalau Iran kan jelas, Islam syiah Imamiyah, rantai komandonya jelas ke bawah, nah Taliban harus membagikan ide-idenya, karena selama ini dialog-dialog mereka dan kekuatan asing bahas diplomasi, politik, pertahanan, dan militer tidak ada dialog-dialog level spiritual," katanya Teuku.

        Teuku mengatakan dalam Bali Democracy Forum 2012 mantan Presiden Afghanistan Hamid Karzai juga tidak mengungkapkan gagasan-gagasan spiritualitas. Maka, menurut Teuku, itu yang ingin dipahami masyarakat internasional saat ini.

        "Karena bila Taliban tidak mampu menggunakan diplomasi publik yang baik maka dunia tetap menganggap Taliban menolak pemberdayaan perempuan, kemudiaan menerapkan peraturan secara konservatif," kata Teuku. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: