Belasan massa aksi peternak ayam UMKM yang tergabung dalam Alliansi Perunggasan Indonesia dan mahasiswa dari Jawa Barat mendatangi Kantor Kementerian Pertanian (Kementan) RI, Jumat (20/8/2021).
Rencana awal, aksi damai para peternak ayam dan mahasiswa akan digelar di Istana Kepresidenan, namun karena steril dengan situasi PPKM maka aksi dilaksanakan di Kementan RI.
Mereka mengibarkan kain putih, untuk menandakan kesulitan peternak ayam yang sudah pada titik nadir. Aksi damai tersebut menuntut pemerintah agar memperhatikan keberlangsungan hidup pelaku peternak. Pasalnya, aturan yang akan melindungi peternak ayam ini kerap tidak mendapat jaminan komitmen dari pemerintah sehingga produk yang dihasilkan kerap mengalami gejolak harga yang tidak layak bagi peternak.Baca Juga: Tolak IPO BUMN, Pekerja PLN-Pertamina Desak Presiden Jokowi Bertindak: 100% Harus Milik Negara!
"Kami datang ke Istana Negara dan Kantor Kementan RI guna membawa pesan kepada Presiden Republik Indonesia bahwa saat ini peternak sudah mati akibat dari keserakahan perusahaan integrator yang tetap ingin menjual ayam hidup bersama peternak di pasar becek,” kata Ketua BEM Peternakan Unpad Lendri kepada wartawan ketika dihubungi melalui telepon selulernya.
Adapun, Ketua Aksi Nurul Ikhwan mengungkapkan, pada bulan Juli 2021 lalu harga ayam hidup sampai menyentuh harga Rp8.000 per kg.
Baca Juga: Muncul Petisi Desak Jokowi Pecat Ketua KPK, Ngabalin: Gak Usah Narik-narik Presiden!
Oleh karena itu, saat ini peternak harus membedakan bahwa peternak itu menjual ayam hidup namun kerap di bawah HPP (Harga Pokok Produksi). Karena sudah tahu ada over supply yang disebabkan perusahaan integrator itu sendiri.
"Pemerintah seolah diam saja padahal aturannya sudah ada Permentan 32/2017 dan Permendag 07/2020 tapi tidak ada komitmen sanksi ditegakan bagi integrator yang sudah jelas mereka melanggar," ungkapnya.
"Kami para peternak hanya ingin aturan itu diterapkan, tidak ada unsur politik apapun. Kami hanya ingin usaha UMKM peternak ayam terus berjalan, karena kami pun punya hak untuk melakukan usaha," tegasnya.
Sementara itu, Aktivis Mahasiswa dari BEM Peternakan Unpad Firdaus menyatakan bahwa seharusnya mudah bagi pemerintah, yaitu Komitmen kepada aturan yang dibuatnya dan memisahkan segmentasi pasar agar perusahaan yang disebut integrator yang telah menguasai 80 persen.
"Market pasar di Indonesia seharusnya sadar diri untuk tidak menjual ayam hidup seperti peternak UMKM," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Korlap Aksi dan Ketua Milenial Jawa Barat Henry menuturkan, gerakan aliansi ini tidak hanya sampai peternak ayam UMKM tidak dirampas haknya oleh integrator. Tetapi, pihak integrator cukup berbisnis dengan menyelesaikan rantai dinginnya tidak bertarung dengan peternak kecil.
"Pemerintah harus tegas, apabila tidak mengikuti aturan tinggal langsung saja stop kuota impor GPS (Grand Parent Stock) mereka dan damping peternak untuk naik kelas agar usaha ayam di Indonesia betul-betul dikuasai oleh rakyat bukan asing," jelasnya.
Adapun tuntutan massa aksi yaitu menuntut Presiden Republik Indonesia untuk menerbitkan Perpres perlindungan peternak ayam mandiri dalam negeri.
Kemudian, menerapkan harga bibit anak ayam umur sehari (DOC) di angka 20 persen dari harga jual livebird dan mengacu pada Permendagri No. 7/2020 dibawah Rp6.000 per ekor saat ini harga DOC sudah menyentuh angka Rp7.500 per ekor
Selanjutnya, menjaga komitmen Kementan RI pada alokasi DOC final stock 50:50 secara jelas dengan peternak sesuai Permentan 32 tahun 2017. Selain itu, menjaga komitmen dalam menstabilkan harga jual livebird sesuai Permendagri No. 7/2020 yaitu berkisar Rp19.000-Rp21.000 per kilogram di tingkat peternak (on farm).
Tak hanya itu, mereka juga menuntut pemerintah untuk memberikan sanksi kepada perusahaan integrasi/importir GPS yang tetap menjual live bird dan tidak menyerap ke RPHU masing-masing perusahaan integrasi. Sanksi dapat berupa pengurangan kuota GPS bahkan pencabutan izin impor GPS.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: