Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Para Pakar Tata Negara Bicara Soal Polemik Seleksi Anggota BPK

        Para Pakar Tata Negara Bicara Soal Polemik Seleksi Anggota BPK Kredit Foto: Fajar Sulaiman
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pendapat hukum atau fatwa dari Mahkamah Agung (MA) telah diterbitkan pada (25/8/2021) menyusul adanya perbedaan pandangan mengenai persyaratan calon Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang disinyalir tidak memenuhi syarat (TMS). 

        Fatwa MA tersebut diterbitkan dengan maksud menengahi atau menjadi solusi, sehingga pemilihan anggota badan audit negara itu pun dapat berjaan sesuai dengan kaidah perundang-undangan. Menanggapi keluarnya Fatwa MA itu, Komisi XI DPR telah merespon.

        Wakil Ketua Komisi XI Achmad Hatari mengatakan ketika seseorang dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagaimana yang diatur di undang-undang, maka sudah selesai.

        "Karena ini sudah minta fatwa kita juga harus mengikuti aturannya. Tapi kita tidak berharap lewat dari minggu kedua bulan September ini harus kita rampungkan itu, dari 14 orang pilih 1 orang," kata Hatari kepada wartawan di Komplek DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (30/8/2021).

        Melihat fenomena pemilihan Anggota BPK yang menuai polemik, para pakar hukum tata negara turut angkat bicara.

        Mereka di antaranya, Margarito Kamis, Denny Indrayana, Asep Warlan Yusuf, serta Bambang Widjojanto. 

        Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menegaskan, Komisi XI DPR RI harus mencoret calon Anggota BPK  yang tidak memenuhi persyaratan.

        Margarito menyampaikan itu menyusul fatwa Mahkamah Agung (MA) bahwa Calon Anggota BPK harus memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 huruf j UU No.15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

        Seperti diketahui, terdapat dua nama yang dinilai tidak memenuhi syarat adalah Harry Z Soeratin dan Nyoman Adhi Suryadnyana karena mereka belum 2 tahun meninggalkan jabatan sebagai pengelola keuangan negara.

        "Coret dua nama itu. Tidak ada ilmu hukum yang bisa dipakai bagi orang yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi anggota BPK," ucap Margarito kepada Wartawan, Senin (30/8/2021).

        Margarito menambahkan, dalam ilmu hukum, Harry dan Nyoman tidak memiliki keadaan yang diperlukan dalam UU BPK.

        Karena itu, Dia menilai keduanya tidak sah untuk menjadi Anggota BPK.

        "Kita tidak boleh menoleransi kesalahan para pembentuk UU dengan menginjak UU yang mereka bikin sendiri. Jadi pilihan yang harus diambil adalah coret dua orang itu," tegas Margarito.

        Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana berpandangan bahwa seleksi Anggota BPK ini problematik dan seringkali menjadi lahan berbagi kursi di antara parlemen dan parpol. 

        "Akar masalahnya ada di moralitas berpolitik kita. Dan itu diperburuk dengan aturan konstitusi kita yang membuka ruang praktik yang tidak demokratis dan bahkan kolutif tersebut," ucap Denny di Jakarta, Minggu kemarin.

        Karena itu, Denny menyarankan pemilihan Pimpinan BPK agar tetap mengacu pada undang-undang.

        Apalagi, Mahkamah Agung telah menerbitkan pendapat hukum sebagaimana diminta Komisi XI, yang intinya agar persyaratan calon Anggota BPK merujuk pada ketentuan Pasal 13 huruf j UU BPK.

        Guru besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf sepakat dengan fatwa yang dikeluarkan Mahkamah Agung terkait calon anggota BPK yang tidak memenuhi kualifikasi formil sesuai amanat UU BPK, dan meminta DPR mematuhinya.

        Asep sepakat dengan fatwa MA tersebut. Menurutnya, ketatanegaraan terkait objektivitas UU BPK tak perlu lagi ditafsir karena sudah final.

        Pasal 13 huruf j Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sudah jelas disebut bahwa calon anggota BPK minimal dua tahun harus meninggalkan jabatan lama.

        "Ada dua dalam penafsiran UU yakni subjektif dan objektif. Kalau objektif sudah jelas disebut minimal 2 tahun sebagai syarat formil ya harus dipatuhi oleh siapa pun termasuk DPR," ujar Asep Warlan, Minggu kemarin.

        Menurut Asep, pembangkangan terhadap hukum oleh lembaga negara adalah kejahatan serius.

        DPR adalah lembaga pembuat UU harus menjadi yang terdepan dalam kepatuhan terhadap UU yang diciptakan sendiri.

        Menurutnya, percuma DPR melakukan fit and profer test terhadap calon anggota BPK yang tidak memenuhi syarat formil.

        Seluruh putusan DPR yang didasarkan pada pelanggaran UU nantinya juga akan batal demi hukum.

        Pelanggaran syarat formil, kata Asep, akan menjadi objek TUN dan akan dibatalkan oleh pengadilan.

        Ini akibatnya tidak hanya administrasi TUN, tetapi akan ada akibat pidana karena kerugian negara yang harus membiayai ulang proses rekrutmen calon anggota BPK.

        "Bila melanggar UU, seluruh anggota DPR yang terlibat dalam pelanggaran dan pembangkangan hukum bisa diproses secara hukum yang bisa berakibat pada pemecatan sebagai anggota DPR, salah satu klausul pemberhentian anggota DPR adalah jika secara nyata dan tetang benderang melakukan pelanggaran hukum," katanya.

        Sementara itu, pakar hukum Bambang Widjojanto menyoroti soal polemik proses pemilihan calon Anggota BPK RI yang sebentar lagi akan memasuki uji kelayakan dan kepatutan di Komisi XI DPR RI.

        BW, sapaan akrabnya, bicara soal dua nama yang tidak memenuhi syarat sebagai Calon Anggota BPK yakni Nyoman Adhi Suryadnyana dan Harry Zacharias Soeratin, dan langkah pimpinan DPR yang meminta fatwa Mahkamah Agung terkait dua nama tersebut.

        Diketahui, dua nama tersebut tidak memenuhi syarat karena masih belum dua tahun lepas dari jabatan sebelumnya.

        "Setahu saya aturannya sangat jelas. Kenapa harus jeda 2 tahun supaya tidak terjadi conflict of interest," kata Bambang saat dihubungi, Selasa (31/8/2021).

        Menurut eks Wakil Ketua KPK itu, conflict of interest merupakan salah satu akar korupsi.

        Dia pun mengingatkan kepada DPR untuk tidak mendekati hal-hal semacam itu.

        "Semoga DPR tidak bermain-bermain dengan conflict of interest, karena dia sedang bermain-bermain dengan api koacrupsi," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: