Centre for Public Policy Studies (CPPS), sebuah lembaga yang mengkaji berbagai kebijakan publik di Indonesia, menggelar dialog publik virtual dengan tema: “IHT: Merdeka atau Mati?” pada Rabu, 8 September 2021. Dialog tersebut bertujuan untuk memberikan gambaran faktual termutakhir Industri Hasil Tembakau (IHT) dari para pelaku dan pemangku kepentingan di dalamnya.
Informasi tersebut diharapkan mampu memberikan gambaran dan pemahaman yang utuh atas persoalan yang dihadapi IHT kepada Pemerintah. Dari situ diharapkan Pemerintah bisa membentuk sebuah kebijakan yang memerdekakan IHT dan bukan membunuhnya.
Dialog tersebut menghadirkan Henry Najoan, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Panggah Susanto, Anggota Komisi IV DPR-RI, Mukhamad Misbakhun, Anggota Komisi XI DPR-RI, Prof. Hikmahanto Juwana, Ahli Hukum Internasional, Rektor UNJANI dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ngatawi Al-Zastrow, Sosiolog dan Budayawan, sebagai pemateri.
Pemaparan para pemateri tersebut ditanggapi oleh Satya Bhakti Parikesit (Deputi Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet RI), Akbar Harfianto (Ka. Subdit Harga Dasar dan Tarif Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan), Nursidik Istiawan (Analis Kebijakan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan), Edy Sutopo (Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian), dan Atong Soekirman (Asisten Deputi Pengembangan Industri, Kemenko Perekonomian).
Dalam dialog publik yang berlangsung selama tiga jam, para pemateri dan penanggap sepakat bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah industri strategis yang tidak boleh mati dan harus merdeka dari campur tangan asing, terutama pihak asing yang menyusupkan kepentingannya ke dalam kebijakan yang diambil Pemerintah.
Henry Najoan mengatakan bahwa kenaikan cukai di tahun 2020 dan 2021 memberikan dampak signifikan terhadap IHT, sehingga membuat produksi rokok legal menurun hingga sebesar 60 miliar batang.
GAPPRI meminta Pemerintah untuk dapat memberikan relaksasi kepada IHT dengan tidak menaikkan cukai pada tahun 2022, karena IHT sendiri masih membutuhkan 3 tahun untuk memulihkan diri.
Tarif cukai yang naik secara eksesif membuat pelaku IHT sulit untuk mempertahankan produksinya. Kondisi ini ditambah lagi dengan adanya Pandemi Covid-19, yang memaksa pelaku IHT untuk melakukan sejumlah efisiensi.
Bila Pemerintah kembali menaikkan tarif cukai secara eksesif tahun depan, Henry kuatir pelaku IHT tidak mampu bertahan. Keterpurukan ini mengancam mata pencaharian hampir 6 juta tenaga kerja di dalam mata rantai IHT.
Dorongan pihak-pihak yang menginginkan agar Pemerintah segera melakukan Simplifikasi Tarif Cukai dan merevisi PP 109/2012 terus bergulir, tanpa mempertimbangkan banyak aspek kehidupan yang terancam, makin menyulitkan posisi bertahan para pelaku IHT. “IHT bukan hanya industri yang padat karya namun juga padat aturan.
GAPPRI berharap nanti ada omnibus law khusus untuk IHT,” katanya. Henry juga berharap akan ada peta jalan (roadmap) IHT yang berkeadilan yang tidak hanya memberikan kepastian hukum tapi juga memberikan exit strategy bagi IHT.
“Sekecil apapun IHT, mereka juga memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat di sekitar pabrik tersebut,” tegas Henry.
Anggota Komisi IV DPR RI, Panggah Susanto, dalam paparannya mengatakan bahwa tembakau tidak hanya menggerakkan ekonomi, tetapi juga pertanian. Kretek tidak hanya memberikan dampak kepada masyarakat, tapi juga sosial ekonomi masyarakatnya.
Ia menilai bahwa IHT adalah agro industri yang menggerakkan ekonomi di pedesaan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat luas. Masalah yang sering mengganggu petani di lapangan adalah bagaimana harga tembakau itu sering dimainkan oknum pedagang.
“Kami mendukung penuh wacana tidak menaikkan cukai, namun kami juga berharp agar wacana ini juga dapat mensejahterakan petani,” tegas Panggah.
Mukhamad Misbakhun, Anggota Komisi XI DPR RI, mengatakan bahwa banyak intervensi asing yang ingin menghilangkan IHT Indonesia. Agenda global ini kemudian kemudian masuk ke peraturan di banyak negara. Ini membuat seakan-akan tembakau itu hanya urusan kesehatan saja.
"Padahal ada buruh, petani, dan lain-lain,” ungkapnya.
Misbakhun menambahkan, para aktivis anti tembakau tidak pernah bisa memberikan bukti konkrit bahwa pengeluaran untuk rokok lebih besar dari penerimaan negara, namun kontribusi IHT kepada ekonomi adalah nyata. Ia juga mengungkapkan bahwa kebijakan IHT Indonesia banyak dipengaruhi para filantropis.
“Kalau kita bicara merdeka atau mati itu, ya pasti kita mati. Kita tidak bebas dalam menentukan arah kebijakan kita, dan kita tidak mandiri dalam menentukan dana pembangunan kita,” tegasnya.
Di kesempatan yang sama, Sosiolog dan Budayawan, Ngatawi Al-Zastrouw, melihat bahagimana tembakau Indonesia dianaktirikan oleh Pemerintah, dipaksa untuk terus bekerja namun keberadaannya tidak pernah diakui.
“Tembakau bukan satu-satunya produk Indonesia yang dimatikan oleh lembaga internasional. Kopra dan jamu juga dibunuh secara sistematis sebagai akibat dari kolusi dan kolaboradi dari pihak asing. Kalau IHT mati, ditakutkan nanti masyarakat akan beralih ke produk ilegal karena keinginan untuk merokok masyarakat tidak pernah menurun,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa untuk tidak mematikan IHT, kita dapat balas dengan meningkatkan ekspor tembakau. Kemudian, menaikkan ketrampilan petani tembakau agar dapat memenuhi standar internasional sehingga mereka tidak mati. Selanjutnya adalah membuat kebijakan untuk menurunkan impor tembakau.
“Impor tembakau meningkat tapi produksi tembakau lokal kurang dan kesejahteraan petani tidak berubah, itu sangat aneh,” katanya. Kemudian ia menambahkan, tata niaga perdagangan tembakau harus disehatkan agar kita dapat mentransformasi IHT dari merdeka atau mati menjadi IHT merdeka dan sejahtera.
Dalam tanggapannya, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintemgar), Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo menyampaikan usulannya untuk tidak menaikkan cukai rokok, karena ekonomi IHT masih belum pulih, dan jika cukai tetap dinaikkan, maka rokok ilegal akan semakin meningkat peredarannya. Menurutnya, sistem 10 layer yang diterapkan merupakan sistem yang paling adil.
“Kami tidak setuju dengan revisi PP 109 Tahun 2012 dan ratifikasi FCTC. Kami juga mendorong agar kesejahteraan petani ditingkatkan melalui DBHCHT (dana bagi hasil cukai hasil tembakau) dan terus mendorong pembatasan importasi tembakau dan kemitraan komunitas petani agar petani tembakau kita semakin sejahtera,” ungkap Edy. Menurutnya, belum waktunya melakukan revisi PP 109 Tahun 2012.
Sependapat dengan Edy Sutopo, Asisten Deputi Pengembangan Industri, Kementerian Koordinator Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Atong Soekirman, merasa bahwa regulasi yang mengatur IHT saat ini telah sukses, dan tidak ada urgensi untuk melakukan revisi PP 109 Tahun 2012. Atong mengungkapkan bahwa Kemenko Perekonomian saat ini sedang menyusun roadmap IHT yang komprehensif.
Beberapa pihak telah diundang untuk berdiskusi tentang roadmap ini, dan beberapa waktu ke depan Kemenko Perekonomian akan mengundang Kementerian Keuangan serta Kementerian Kesehatan. Menurutnya, angka kenaikan cukai yang ideal adalah 3%-8%. Lebih dari itu, rokok ilegal pasti akan meningkat.
Penyusunan roadmap yang sedang dijalankan oleh Kemenko Ekonomi adalah untuk mencari titik keseimbangan antara kepentingan semua pihak.
“Terkait dengan pembahasan PP 109 yang tidak melibatkan Kemenko Perekonomian, kami memang tidak dilibatkan dan kami telah mengatakan tidak akan menandatangani PP ini kalau kedepannya tetap tidak dilibatkan dalam pembahasannya,” tegasnya.
Merespons informasi yang disampaikan para pemateri, Deputi Bidang Perekonomian, Sekretariat Kabinet RI, Satya Bhakti Parikesit, mengatakan bahwa IHT mempunyai peran strategis dalam ekonomi Indonesia.
Ia juga mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat 4 aspek yang menjadi perhatian Presiden Joko Widodo dalam penetapan Cukai Hasil tembakau (CHT) yakni, aspek perlindungan kesehatan, keberlangsungan industri, penerimaan negara dan aspek pencegahan rokok ilegal. Diantara aspek-aspek tersebut, terdapat dua aspek besar yang selalu berbenturan yaitu aspek kesehatan dan aspek ekonomi.
“Di sinilah peran Pemerintah untuk menyeimbangkan benturan antara 2 aspek tersebut,” katanya.
Satya menilai, Pemerintah harus berhati-hati dalam melihat dan menyikapi esensi dari Revisi PP 109/2012, karena isi dari revisi PP ini lebih berat di kesehatan, padahal target awalnya adalah untuk menjaga keseimbangan, seperti yang diamanatkan oleh Presiden.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat