Project Manager Clean Affordable, and Secure, Energy (CASE) for Southeast Asia, Agus Praditya Tampubolon mengatakan penggunaan energi baru terbarukan memerlukan dukungan masyarakat agar hal tersebut dapat berjalan dengan baik. Di Eropa hal tersebut berjalan dengan baik, khususnya di Jerman.
“Masyarakat kita di Indonesia belum cukup kuat untuk mendorong pemerintah untuk melakukan transisi energi,” ujarnya dalam sesi keempat dari Program Pelatihan Virtual bagi Jurnalis tentang Transisi Energi, Kamis, (16/9/2021).
Baca Juga: Setengah Hati Transisi Energi di Indonesia
Agus menerangkan, dalam konteks Jerman, transisi energi terjadi sejak tahun 1990an yang disebabkan terjadinya kelangkaan bahan bakar diesel. Selain itu, juga diperkuat dengan terjadinya bencana nuklir di Chernobyl di Eropa. Atas kondisi tersebut desakan masyarakat terus menguat dengan dimulai protes-protes yang dilakukan dalam lingkup kelompok hingga meluas dengan protes desakan secara nasional.
Jerman yang menjadi bagian dari Uni Eropa terus memberikan dorongan untuk melakukan pasar bebas, dengan memberikan keleluasaan kepada komunitas-komunitas masyarakat untuk menghasilkan listrik secara mandiri.
“Melalui pemberitaan untuk menyebarkan informasi ini sehingga komunitas tersebut terbentuk karena mulai terpapar dan tergerak untuk membentuk pilot project EBT. Mungkin belum besar tapi akan ke arah sana,” paparnya.
Di Indonesia, kata Agus, hal serusa dilakukan melalui dengan memberikan data-data akademis empiris dengan memberikan perbandingan keunggulan EBT dibandingkan energi fosil. Termasuk paya melakukan advokasi yang disampaikan kepada pemerintah.
“Dengan cara terstruktur itu mungkin dapat mempengaruhi political will kita mencoba cara untuk bisa melakukan perubahan,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bethriq Kindy Arrazy
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: