Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Memetakan Tanggung Jawab Platform Intermediary di Indonesia

        Memetakan Tanggung Jawab Platform Intermediary di Indonesia Kredit Foto: K&K Advocates
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kehadiran Platform Intermediary/Platform Perantara sebagai akses informasi dan pengetahuan masih terus menjadi perbincangan dalam aspek tanggungjawab dan kewajiban hukum. Kemudahan konvergensi fungsi, konten, dan fitur yang disediakan oleh platform membutuhkan ekosistem tata kelola yang tidak hanya lincah (agile) namun juga bersifat inklusif. 

        Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) mendefinisikan Platform Intermediary sebagai sektor bisnis yang berperan mempertemukan atau memfasilitasi transaksi antara pihak ketiga di Internet. Mereka memberi akses, menempatkan, mengirimkan dan mengindeks konten, produk dan layanan yang berasal dari pihak ketiga di Internet atau memberikan layanan berbasis Internet kepada pihak ketiga. Platform Intermediary mencakup perusahaan web hosting, Penyedia Layanan Internet (ISP), mesin pencari dan platform media sosial. Managing Partner K&K Advocates, Justisiari P. Kusumah, mengatakan, dari adanya berbagai kegiatan di Internet, berbagai masalah hukum muncul berkaitan dengan peran Platform Intermediary. 

        “Sebagian besar kegiatan adalah kegiatan yang sah menurut hukum, namun ada pula kegiatan yang masih abu-abu dari segi interpretasi peraturan sehingga menimbulkan banyak pertanggungjawabannya” katanya dalam Webinar K&K Advocates bertajuk “Tanggung Jawab Platform Intermediary di Indonesia”, Kamis (23/9/2021). 

        Baca Juga: Yusuf Mansur Ajak Umat Penuhi Kebutuhan Pangan Lewat Platform iPanganandotcom Milik Rudy Tanoe

        Dijelaskan Justisiari, Platform Intermediary secara tidak langsung menyajikan konten yang bermuatan teks, gambar, lagu, atau video buatan pengguna yang muatannya memiliki berbagai macam potensi baik positif maupun negatif sepertimengandung unsur pencemaran nama baik, pornografi, melanggar hak cipta, atau menimbulkan rasa kebencian. “Kondisi demikian tentu harus menjadi perhatian seluurh pihak untuk menentukan siapa yang bertanggungjawab,” pungkas dia. 

        Menurut Justisiari, “Analisis tanggung jawab moral penyedia layanan online terhadap pengelolaan konten yang tersedia secara online telah menjadi titik pusat penelitian di berbagai bidang, termasuk etika informasi, tanggung jawab sosial perusahaan dan etika bisnis, komunikasi melalui komputer, hukum siber, dan kebijakan publik,” jelasnya. 

        Di Indonesia, isu mengenai tanggung jawab hukum Platform Intermediary dalam pemanfaatan teknologi internet di Indonesia, semakin mengemuka ketika muncul kasus information disorder (kekacauan informasi), konten Hate Speech dan SARA, konten kekerasan, konten Pelanggaran HKI, dan pelanggaran Privasi dan perlindungan data pribadi, yang memanfaatkan platform perantara.

        Sementara itu, Ketua Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Sinta Dewi Rosadi, menuturkan bila kewajiban platform perantara memiliki arti sebagai tanggung jawab hukum (kewajiban) atas aktivitas ilegal atau berbahaya yang dilakukan oleh pengguna melalui layanan mereka. 

        Baca Juga: Mendag Bidik 1 Juta Pedagang Pasar Masuk Platform Digital

        "Platform memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya aktivitas yang melanggar hukum atau merugikan oleh pengguna layanan mereka. Kegagalan untuk melakukannya dapat mengakibatkan konsekensi hukum yang memaksa perantara untuk bertindak atau mengekspos perantara ke tindakan hukum perdata atau pidana,” katanya dalam webinar yang sama.

        Ada dua model dalam penetuan tanggung jawab Intermediary yakni model Safe Harbour dan model Generalist. Untuk model pertama, intermediary dibebaskan dari semua tuntutan atas tindakan dari pengisi konten/legally safe place (a safe harbour). “Ada jenis vertical safe harbour yang dibatasi pada bidang tertentu saja misalnya hanya untuk kasus Hak Cipta atau Trademark Horizontal lebih beragam kasusnya,” katanya.

        Sementara untuk model Generalis, tanggung jawab platform perantara diatur oleh hukum perdata atau pidana. Model ini banyak diterapkan di negara-negara di mana platform perantara diminta bertanggungjawab atas konten yang dimuat, baik yang secara langsung maupun tidak langsung. “Karena mereka dianggap memiliki kontrol atas informasi yang dimuat. Contoh di negara Afrika dan Amerika Latin,” urainya.

        Partner K&K Advocates, Danny Kobrata, menambahkan, aturan tanggung jawab hukum intermediary di Indonesia termaktup dalam Permenkominfo 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat dan perubahannya. Sebelumnya diatur melalui PP 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). PSE Privat antara lain Marketplace, Toko Online, Payment Gateway, FinTech, Layanan On-Demand Berbayar, Sosial Media, hingga Search Engine.

        “Dalam Permenkominfo 5/2020 diatur bahwa PSE bertanggung jawab atas seluruh konten di dalamnya. Lalu PSE privat dilarang untuk memuat konten illegal dan menfasilitasi konten illegal. Ilegal berarti melawan hukum, menyebabkan keresahan, memfasilitasi aksi ke konten ilegal,” urai Danny Kobrata. Namun, “UCG (User Generated Platform) dapat dianggap tidak bertanggung jawab, apabila tidak menyediakan sarana pelaporan, bekerjasama dengan Lembaga Penegak Hukum (LPH), dan melakukan take down,” imbuhnya.

        Plt. Direktur Pengendalian, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Teguh Arifiyadi menjelaskan bila dalam mengatur PSE Lingkup Privat, terdapat 2 mekanisme yang dilakukan oleh Kemenkominfo, yaitu Pendaftaran dan Pengendalian. 

        Mekanisme pendaftaran oleh PSE Lingkup Privat diperlukan agar pemerintah mengetahui semua jenis layanan system elektronik yang ada dalam wilayah Indonesia serta memastikan bahwa PSE Lingkup Privat dapat beroperasi sesuai dengan segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku di wilayah Indonesia. “Mekanisme pendaftaran juga diperlukan untuk mewujudkan penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik yang andal, aman, terpercaya, dan bertanggung jawab,” jelas Teguh.

        Sementara mekanisme Pengendalian oleh Kemenkominfo terhadap PSE Lingkup Privat diperlukan agar pemerintah mampu meminimalisasi resiko kejahatan siber, penyalahgunaan data, dan pelanggaran konten yang mungkin terjadi akibat derasnya arus informasi dan cepatnya perkembangan teknologi.

        “Mekanisme pengendalian juga diperlukan untuk memastikan PSE Lingkup privat dapat tunduk terhadap segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku di wilayah Indonesia,” pungkas Teguh. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Annisa Nurfitri
        Editor: Annisa Nurfitri

        Bagikan Artikel: