Penting! Remaja Rentan Terdampak Masalah Psikologis, Ini Gejalanya
Masa remaja merupakan peralihan dari anak-anak yang ditandai dengan berbagai faktor. Mulai dari kematangan reproduksi, perkembangan tubuh, ketertarikan terhadap lawan jenis.
Namun, ada yang harus menjadi perhatian di masa-masa ini karena masih rentannya psikologis.
Dokter Octaviani Indrasari Ranakusuma, psikolog jebolan Universitas Indonesia mengungkapkan ada yang menganggap masa remaja itu seperti badai dan petir.
Baca Juga: Akibat Pandemi, dalam 3 Bulan Terakhir Hampir 200.000 Anak Dirujuk ke Layanan Kesehatan Mental
Ada beban psikologis yang dihadapi karena masih labil, timbul kegalauan karena berbagai sebab, sering marah-marah dan menangis sendiri.
"Nah, semua kondisi ini harus kita ketahui apa ini mitos atau fakta," kata Octaviani dalam webinar "Curhat yuk Masa Remaja vs Galau' besutan Universitas Yarsi, Sabtu (25/9).
Dijelaskannya berdasarkan riset kesehatan dasar nasional (Riskesdas) 2018 masalah mental, kejiwaan seperti stres, kecemasan, depresi, itu meningkat pada masa remaja. Kondisi ini dipicu beberapa hal yang terjadi pada masa-masa perkembangan.
Mengapa? Karena pada masa remaja itu banyak tekanan. Ada tuntutan dari lingkungan, orang tua, kemudian bullying.
"Itu jadi pemicu masalah kesehatan mental lainnya," lanjutnya.
Baca Juga: Studi: Antibodi Penetral Virus pada ASI Wanita yang Terinfeksi Covid-19 Bertahan Sampai 10 Bulan
Hal itu kemudian memicu remaja terlibat dalam kegiatan yang membahayakan keselamatan. Juga membahayakan bagi kesehatannya ke depan, seperti merokok, terjerat narkoba, kebut-kebutan, termasuk juga se*s bebas. Kemudian dari 100 anak di Indonesia, dua di antaranya itu merokok.
Ditambahkannya karena budaya seks bebas itu, Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI (Infodatin) 2015 melansir temuan adanya kehamilan di luar nikah. Kemudian pernikahan dini yang disusul dengan putus sekolah di kalangan remaja.
"Nah, sayang sekali di masa pandemi ini di beberapa kota luar Jakarta, ada banyak remaja putus sekolah dan akhirnya menikah, padahal usianya baru 15 tahun," ujar Octaviani yang juga wakil rektor III Universitas Yarsi.
Baca Juga: Waspada! Kesehatan Mental Terpengaruh karena Kualitas Tidur yang Buruk
Fakta lainnya, secara biologis dan fisiologis masa remaja ditandai bagian korteks prefrontal untuk berpikir dan mengambil keputusan itu meningkat. Namun bagian yang mengendalikan emosi (sistem limbik) itu lebih cepat perkembangannya dibandingkan bagian yang digunakan untuk berpikir. Karenanya, regulasi emosi di masa remaja itu menjadi seringkali kurang efektif.
"Ngamuk-ngamuk duluan, belakangan nyesel. Senggol bacok tetapi kemudian nangis, kenapa kok ngelakuin itu. Itu yang membuat orang tua jadi nggak habis pikir, Dia yang melakukan kenapa kok marah-marah?," tuturnya.
Selain perkembangan otak, keadaan emosi yang meledak-ledak pada remaja itu dipicu oleh kondisi hormonal. Ada peningkatan produksi hormon estrogen pada remaja perempuan dan testoteron pada laki-laki.
Ini juga kata Octaviani yang membuat kuatnya dorongan seksual pada remaja. Karenanya tidak heran pada remaja seringkali mencari-cari stimulus seksual misalnya melalui internet, medsos dan lainnya, yang bisa memuaskan kebutuhan tersebut. (esy/jpnn)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Bayu Muhardianto
Tag Terkait: