Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Belajar Dari Inggris, Indonesia Diminta untuk Optimalkan PLTU Batubara

        Belajar Dari Inggris, Indonesia Diminta untuk Optimalkan PLTU Batubara Kredit Foto: PLN
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Indonesia diminta mengoptimalkan pembangkit listrik bertenaga batubara yang ada, ketimbang memaksakan menggunakan energi terbarukan yang belum siap dan mengorbankan pemenuhan kebutuhan listrik nasional. Indonesia bisa mengambil pelajaran dari Inggris dan beberapa negara Eropa yang kini kembali menggunakan PLTU berbasis batu bara untuk mengatasi krisis energi.

        Di sisi lain, untuk beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia dinilai masih membutuhkan waktu lebih,  mempersiapkan program transformasi yang jelas. Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro kepada wartawan, Selasa (28/9).

        “Kalau kita lihat di Amerika Serikat, EBT hanya 12 persen di tahun 2020. Kalau Inggris sudah lama pake fosil, mereka  sudah 400 tahun pakai batubara, sejak era revolusi industri,” tutur Komaidi Notonegoro, Selasa (28/9).

        Baca Juga: Indonesia Bisa Pensiunkan PLTU Lebih Awal, Asal…

        Pekan ini, krisis energi  melanda Inggris dan beberapa negara Eropa. Ini menyadarkan mereka bahwa m tidak bisa serta merta mengandalkan dan bergantung sepenuhnya kepada energi baru terbarukan. Di saat sama, harga gas meroket 250% karena keterbatasan pasokan di Barat.

        Komaidi  yakin, sejauh ini teknologi batu bara akan tetap menjadi energi yang dominan di pembangkit listrik Indonesia. Ia melihat, pemerintah akan berpikir realistis untuk menggunakan energi yang termurah.  Ia mengatakan, Indonesia perlu berhati-hati menyikapi masalah transisi energi ini. Menurutnya, EBT bisa dikembangkan, tapi jika belum bisa kompetitif, jangan dipaksakan.

        Ditambahkannya, sekalipun menggunakan batubara, PLTU baru saat ini sudah pakai teknologi maju. Di antaranya PLTU USC (Ultra Super Critical) yang bisa dihitung biaya produksinya.

        “EBT sebagai pelengkap, bukan pengganti. Kalau diibaratkan makanan di meja, EBT itu ibarat sambal, bukan nasi nya. Hal ini sejalan dengan yang dituangkan Rencana Umum Energi Nasional dimana 2050 konsumsi fosil masih besar, dan EBT hanya 23 persen maksimal,” ujarnya.

        Baca Juga: Penggunaan EBT di Indonesia Perlu Peta Jalan Kebijakan yang Jelas

        Sementara, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno juga menilai perubahan dari pemanfaatan fosil menjadi energi terbarukan, harus melalui proses kerja keras dan konsisten agar kebijakan target "zero carbon" tercapai pada 2060. Penggunaan pembangkit batu bara memang masih diperlukan, kini.

        "Ya untuk saat ini, (peralihan ke EBT) memang membutuhkan waktu, tidak bisa seperti membalikan telapak tangan," kata pimpinan Komisi VII DPR RI itu.

        Eddy, di sisi lain mengingatkan, Indonesia juga harus memiliki "road map" energi hijau untuk 30 tahun mendatang, sebagai target zero energy carbon. Yang juga penting adalah  pemerintah juga perlu mendesak negara maju yang menyatakan pelarangan emisi karbon.

        Senada, Mamit Setiawan mengatakan, transisi energi menuju terbarukan pasti akan terjadi, mengingat sudah banyak negara berkomitmen untuk menerapkannya.  Namun, untuk Indonesia, lanjutnya, saat ini belum bisa menerapkan energi baru terbarukan tersebut.

        “Transisi energi pasti terjadi, tapi sesuaikan kondisi. Kita harus melihat kondisi bahwa kita banyak belum siapnya. Karena masyarakat kita belum siap membeli energi dengan harga mahal,” kata Mamit.

        Dia menguraikan, kemampuan ekonomi masyarakat terhadap harga BBM dan listrik yang tinggi masih rendah. Belum lagi keuangan negara juga makin terbebani jika harga energi yang tersedia, lebih mahal dari barubara.

        Baca Juga: APBN Dihantam Covid, Pakar Ingatkan Beban Besar di Balik Proyek EBT

        Sekarang, lanjut Mamit, harga energi baru terbarukan masih lebih mahal dibanding harga batu bara. Jika nanti skema tarifnya ditentukan oleh pemerintah, sudah pasti akan membebani PLN dan keuangan negara.

        Dengan alasan-alasan tersebut, kata dia, apabila secara ekonomi belum terpenuhi sebaiknya pemerintah tidak perlu terburu-buru beralih ke EBT.

        “Memang transisi itu akan tetap ada dan terjadi, sehingga bagaimana kita melihat kesiapan menjalankan hal tersebut. Kita harus sabar dan melihat kondisi internal seperti apa. Jangan terburu-burulah, nanti kejadian kaya Inggris. Pembangkit listrik batubara kita dihancurkan, tapi tiba-tiba kekurangan bahan pasokan energi terbarukan,” ujarnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Annisa Nurfitri
        Editor: Annisa Nurfitri

        Bagikan Artikel: