Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Orang Gerindra Sentil Pemerintah, Kebijakan Jokowi yang Melayani Kepentingan Oligarki Ada Tiga

        Orang Gerindra Sentil Pemerintah, Kebijakan Jokowi yang Melayani Kepentingan Oligarki Ada Tiga Kredit Foto: Instagram/Fadli Zon
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Anggota DPR RI Fadli Zon meluncurkan buku berjudul Jubir Rakyat: Melawan Konsolidasi Oligarki. Buku milik Fadli Zon ini diluncurkan untuk menandai dua tahun masa kepemimpinan pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin yang jatuh pada tanggal 20 Oktober 2021.

        Buku tersebut setebal 453 halaman ini terbagi ke dalam 10 bab yang berisi catatan-catatan kritisnya kepada pemerintah sejak Oktober 2019, ketika pasangan Jokowi-Ma’ruf dilantik.

        Menurut Fadli Zon, bahwa alasan dirinya memilih judul 'Jubir Rakyat' dalam bukunya. Baca Juga: Alamak! Posisi Pak Prabowo di Pilpres Belum Aman, Penyebabnya Gara-Gara Ini Nih...

        Karena judul itu merujuk dirinya yang merupakan anggota parlemen dan bertugas 'le parle' alias berbicara.

        "Tentu, tak boleh asal berbicara. Apa yang saya suarakan sebagai anggota parlemen, setidaknya harus bertolak dari dua prinsip," jelas Fadli Zon dalam keterangannya, Kamis (21/10).

        Selanjutnya, dilakukan untuk tujuan checks and balances, atau mengawasi cabang kekuasaan lain, terutama eksekutif.

        Dengan kata lain, tugas anggota parlemen adalah menjadi juru bicara rakyat, mengamplifikasi suara publik.

        "Itu sebabnya, buku ini saya beri judul 'Jubir Rakyat'," jelas Fadli Zon.

        Menurut Politikus Partai Gerindra itu, bahwa parlemen bukanlah lembaga penasihat Presiden, apalagi lembaga pendukung Presiden.

        Konstitusi bangsa mengadakan parlemen justru untuk mengawasi, mengawal, serta mengontrol pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden.

        Sehingga, jika lembaga parlemen, atau anggota parlemen gagal untuk bisa bersikap kritis terhadap pemerintah, bangsa ini sebenarnya sedang menarik jarum jam kembali ke belakang, mungkin lebih terbelakang dari posisi Volksraad di masa kolonial dulu.

        "Sebab, anggota Volksraad saja dulu bisa bersikap kritis terhadap Belanda. Orang-orang seperti Soetardjo Kartohadikoesoemo, atau Mohammad Husni Thamrin, misalnya, dikenal sebagai para vokalis yang sangat kritis terhadap pemerintah kolonial," ungkapnya.

        Secara umum Fadli Zon melihat periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi ini sebagai periode konsolidasi oligarki.

        Agenda-agenda serta kebijakan yang diusung khususnya di bidang ekonomi sebagian besar ditujukan melayani kepentingan oligarki, bukan melayani kepentingan rakyat.

        "Situasi pandemi, alih-alih menghambat konsolidasi oligarki, saya lihat justru malah mengakselerasi konsolidasi tersebut," tegasnya.

        Dalam catatannya, terdapat sejumlah kebijakan besar di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo yang bersifat mengkonsolidasi kekuasaan oligarki.

        Melalui kebijakan-kebijakan ini, eksekutif memperbesar kewenangannya untuk 'melayani oligarki', sembari menggerogoti fungsi kewenangan parlemen.

        "Kebijakan yang melayani kepentingan oligarki itu, secara brutal dan mencolok, ada tiga," jelas Fadli Zon.

        Pertama, omnibus law Cipta Kerja. Ini menurut Fadli Zon adalah undang-undang yang brutal, karena telah memberi Presiden kekuasaan legislasi yang sangat besar, sehingga bisa mengubah 79 undang-undang sekaligus.

        Bayangkan, undang-undang ini terdiri dari 11 kluster, mengatur mulai dari soal perizinan usaha, koperasi, investasi, ketenagakerjaan, fiskal, tata ruang, agraria, lingkungan hidup, konstruksi dan perumahan, kawasan ekonomi, hingga soal barang dan jasa.

        "Meskipun judulnya adalah 'Cipta Kerja', namun isinya tak lain sekadar melayani kepentingan para pemilik modal dan oligarki yang menjadi kroni," jelas Fadli Zon.

        "Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh undang-undang tersebut bukanlah menjadi milik para pekerja, atau pencari kerja, melainkan milik para oligarki yang saat ini menguasai perekonomian kita," sambungnya.

        Kedua, Perppu Corona. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau yang sering disebut sebagai Perppu Corona, telah memberi kekuasaan penganggaran yang sangat besar kepada Presiden dan memberi hak impunitas kepada para pejabat di sektor keuangan.

        "Sayangnya, di tengah-tengah pandemi, kekuasaan penganggaran serta pelonggaran defisit APBN yang lebih besar ini, bukannya digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat, porsi terbesar justru digunakan untuk oligarki," jelas Fadli Zon.

        "Jadi, rakyat yang sudah ditimpa kesulitan ekonomi, tak mendapat bantuan jaminan kesehatan, karena anggaran publik kita lebih suka digunakan pemerintah untuk melayani kepentingan oligarki," tambahnya.

        Ketiga, agenda pemindahan ibukota negara. Di tengah-tengah pandemi, defisit fiskal, defisit APBN, serta jumlah utang yang terus melonjak, pemerintah terus-menerus melontarkan wacana pemindahan ibu kota.

        "Kalau dulu saya bertanya ‘dari mana anggarannya’, maka sesudah saya pelajari lebih jauh wacana ini, pertanyaan yang tepat sebenarnya adalah: ke mana dan kepada siapa pemerintah akan memberikan aset-aset negara yang di Jakarta dan sekitarnya," jelas Fadli Zon.

        Banyak orang lupa, lanjutnya terlepas dari soal apakah ibukota negara nantinya akan benar-benar bisa dipindahkan atau akan jadi proyek mangkrak, di belakangnya ada agenda untuk mengalihkan aset-aset negara. Baca Juga: Bikin Dengkul Lemas Dengarnya, Anak Buah Jokowi Sampaikan Kabar Mengerikan, Warga Waspada!

        Di antaranya berupa gedung, atau lahan, terutama yang ada di Jakarta, kepada pihak lain.

        "Ini yang berbahaya, karena potensi penyelewengannya sangat besar sekali," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Rosmayanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: