Laporan terbaru dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengungkap bahwa jumlah pekerja perempuan yang bisa kembali bekerja di masa pemulihan pandemi di 2021 berkurang sebanyak 13 juta orang dibandingkan dengan tahun 2019. Sementara jumlah pekerja pria diperkirakan sama seperti 2019.
ILO menyatakan, secara global, hanya 43% perempuan produktif di tahun 2021, sementara laki-laki 68,6%. Fakta lainnya, dalam laporan yang dipublikasikan Oxfam International pada 2021 menyebutkan krisis COVID-19 menyebabkan perempuan di seluruh dunia kehilangan pendapatan setidaknya 800 miliar USD sepanjang 2020 atau setara dengan PDB 98 negara.
Baca Juga: Petani dan Buruh Harus Kembali Bersiap Dihantam oleh Bogem Keras Kenaikan Tarif Cukai
Walaupun proyeksi pertumbuhan pekerjaan perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, namun ternyata hal ini tidak cukup mengembalikan jumlah pekerja perempuan seperti sebelum pandemi pada 2019. Hal ini terjadi karena kebanyakan perempuan bekerja di sektor-sektor yang paling terpukul akibat pandemi COVID-19.
Di Indonesia, salah satu sektor industri yang banyak mempekerjakan perempuan adalah industri Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Baca Juga: Petani Tembakau Dibikin Deg-degan, Soalnya Pemerintah Mau...
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati Tangka, kepada wartawan, Kamis (2/12/2021), mengatakan banyak pekerja perempuan yang dirumahkan atau terpaksa kehilangan pekerjaan akibat pandemi yang menekan perusahaan atau pabrik di Indonesia, termasuk juga pekerja pelinting SKT.
“Pekerja perempuan sebagai pelinting rokok terdampak sekali akibat pandemi. Mereka ini dirumahkan dan menghadapi ketidakpastian, apakah bisa kembali bekerja lagi atau tidak,” katanya. Bahkan, kata Mike, situasi yang lebih tidak pasti lagi dihadapi oleh pekerja linting rokok yang dipekerjakan dengan sistem rumahan.
Tidak hanya mengalami ketidakpastian akibat pandemi, para pekerja pelinting perempuan ini juga tengah was-was karena rencana kenaikan cukai hasil tembakau tahun depan.
“Di satu sisi, kebijakan menaikkan cukai itu mungkin untuk mengurangi konsumsi, dan menjadi dilematis bagi Koalisi Perempuan Indonesia bahwa hampir 100% yang menunjang keberhasilan perusahaan rokok ini adalah perempuan,” katanya.
Menurutnya, sebelum pemerintah memutuskan kebijakan kenaikan cukai, antisipasi terhadap nasib ribuan bahkan jutaan pekerja linting rokok harus disiapkan.
“Persoalannya adalah ada implikasi yang akan terjadi seperti peningkatan kemiskinan yang jatuhnya ke perempuan lagi. Perempuan-perempuan yang bekerja sebagai pekerja linting itu bekerja untuk mencari nafkah keluarga,” katanya.
Dia berharap pemerintah dapat menetapkan regulasi dengan mempertimbangkan banyak aspek, khususnya ketika kebijakan itu berdampak cukup besar dalam ekonomi perempuan.
Sebelumnya, Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Sudarto mengungkap jumlah pekerja SKT yang mengalami PHK selama 10 tahun terakhir mencapai lebih dari 68 ribu orang.
Menurutnya, pertimbangan pemerintah yang tidak menaikkan cukai hasil tembakau khususnya SKT adalah upaya yang tepat untuk menyelamatkan pekerja perempuan di sektor SKT.
“Kami memohon kepada pemerintah, mohon bantu agar pekerja di sektor padat karya tetap bisa bekerja di masa pandemi, dengan cara tidak menaikkan cukai SKT pada 2022,” kata Sudarto.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil