Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kekeh Hukum Mati Koruptor, Jaksa Agung Dinilai Langgar Deklarasi Universal HAM

        Kekeh Hukum Mati Koruptor, Jaksa Agung Dinilai Langgar Deklarasi Universal HAM Kredit Foto: Akurat
        Warta Ekonomi -

        Amnesty International Indonesia menyatakan menolak rencana Jaksa Agung ST Burhanuddin soal penerapan hukuman mati untuk segala kasus tanpa terkecuali.

        Mereka menilai hukuman mati merupakan pelanggaran hak untuk hidup sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

        "Terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, bersalah atau tidak bersalah, ataupun metode eksekusi yang digunakan," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu (4/12/2021).

        Berdasarkan penelitian yang ada telah menunjukkan bahwa yang efektif untuk mengurangi tindakan kriminal adalah kepastian hukum, bukan tingkat beratnya hukuman tersebut.

        "Hukuman mati tidak terbukti menimbulkan efek jera," lanjutnya.

        Selain itu, Usman menyebut bahwa negara-negara yang tingkat korupsinya paling rendah berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi TII seperti Selandia Baru, Denmark, dan Finlandia tidak menerapkan hukuman mati untuk koruptor.

        Negara-negara yang menerapkan hukuman mati untuk koruptor, lanjutnya, seperti China, Korea Utara, dan Iraq malah memiliki tingkat korupsi yang jauh lebih tinggi, beberapa di antaranya bahkan lebih tinggi daripada Indonesia.

        "Karena itu, jika ingin menimbulkan efek jera dan memberantas korupsi, seharusnya Jaksa Agung dan aparat penegak hukum lainnya fokus untuk memastikan bahwa semua pelaku korupsi bisa dibawa ke pengadilan, bukan bermain retorika soal hukuman mati," ujarnya.

        Usman pun berpendapat ada keanehan jika pemerintah yang membiarkan KPK dilemahkan dengan pemberhentian 57 pegawai yang terbukti berprestasi dan berintegritas, malah mendukung pertimbangan hukuman mati yang diwacanakan Kejaksaan Agung.

        Karena menurutnya, hukuman mati sudah terbukti tidak efektif sebagai solusi pemberantasan korupsi.

        "Daripada sibuk dengan wacana hukuman mati, Kejaksaan juga seharusnya fokus kepada banyak PR besar yang belum mereka selesaikan, misalnya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti Tragedi Semanggi dan Trisakti," lanjutnya.

        Sementara Pengamat Hukum, Jamin Ginting mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia tidak akan pernah dapat melakukan hukuman mati terhadap koruptor. Meskipun dalam Pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dimungkinkan.

        Ia beralasan, dalam penanganan kasus korupsi, Jaksa Agung seharusnya lebih mengutamakan pengembalian kerugian.

        "Penyelesaian kasus korupsi seharusnya fokus pada pengembalian aset, bukan penjatuhan hukuman," ujar Jamin Ginting kepada wartawan.Ia pun menyinggung terkait penyitaan aset yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dalam kasus Asabri dan Jiwasraya yang dinilai banyak salah sita aset sehingga tidak melindungi pihak ketiga yang beritikad baik.

        "Penyitaan aset pidana bukan bertujuan untuk dikuasai atau dirampas, kecuali itu aset milik negara," katanya.

        Selain itu, Jamin juga mengkritisi masih maraknya kasus korupsi kakap yang justru masih mangkrak dan berpotensi conflict of interest dalam penanganan kasus korupsi. Padahal, lanjutnya, dengan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang cukup di Kejaksaan Agung, banyaknya kasus 'mangkrak' bisa ditindaklanjuti.

        "Seharusnya dengan SDM yang cukup pemeriksaan kasus lain juga ditindaklanjuti. Jika ingin menepis pendapat adanya conflict of interest maka diperlukan pembuktian konkrit," ujarnya. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Bagikan Artikel: