Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Dampak Kedaulatan Siber Berlebihan? CIPS: Bisa Mengancam Peluang Ekonomi Indonesia

        Dampak Kedaulatan Siber Berlebihan? CIPS: Bisa Mengancam Peluang Ekonomi Indonesia Kredit Foto: F5 Labs
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu dalam pernyataan resminya menyebutkan kedaulatan data dapat mengancam peluang ekonomi Indonesia.

        Menurutnya kebijakan berlebihan untuk mencapai kedaulatan siber bisa merugikan negara secara ekonomi maupun sosial. Ia menyebutkan data memang perlu dilindungi tetapi pembuat kebijakan perlu menyadari kerugian akibat hambatan berlebihan terhadap aliran data lintas batas. 

        Baca Juga: Asah Keterampilan dan Berbagai Skill, CIPS: Literasi Digital Perlu Terintegrasi dengan Kurikulum

        “Tanpa kerangka perlindungan data yang mumpuni, ambisi akan kedaulatan data justru dapat mengorbankan kelangsungan bisnis dan berdampak negatif pada perkembangan industri digital,” jelas Thomas Dewaranu, Kamis (03/02).

        European Center for International Political Economy (ECIPE) memperkirakan persyaratan yang ketat untuk transfer data ke luar negeri dapat menghambat impor terhadap jasa yang menggunakan data secara intensif, sehingga berdampak negatif terhadap PDB.

        "Dalam kasus Indonesia, ECIPE memperkirakan kerugian PDB sekitar -0,5 persen. Sedangkan dampaknya terhadap investasi dalam negeri diperkirakan sekitar -2,3 persen," sebut Thomas.

        Pemerintah sendiri telah mengeluarkan kebijakan lokalisasi data yang tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) 20/2016 yang mewajibkan penyelenggara sistem elektronik (ESO) menyediakan layanan publik untuk menggunakan data dan pusat pemulihan bencana di Indonesia. Sedangkan Surat Edaran Menkominfo 3/2021 mewajibkan perusahaan komputasi awan untuk menggunakan pusat data lokal untuk menyimpan data publik.

        “Dibutuhkan pendekatan yang tepat dalam menggunakan data. Salah satu yang masih belum maksimal di Indonesia adalah perlindungannya,” jelas Thomas.

        Selain itu Thomas menuturkan pemerintah juga memberlakukan lokalisasi konten dan data, termasuk lewat kewajiban bagi perusahaan asing untuk menyimpan atau memproses data secara lokal dan tidak melakukan transfer ke luar negeri. Data mirroring, penyediaan salinan data di pusat data lokal, juga diamanatkan untuk tujuan penegakan hukum dan keamanan.

        Thomas mengatakan, walaupun kewajiban seperti ini memberikan pemerintah akses lebih besar dalam mengontrol data, hal ini tidak serta merta berdampak positif kepada perlindungan data.

        "Menjaga data pengguna tidak dapat dilakukan hanya dengan lokalisasi data. Keamanan siber perlu diperkuat dan penyediaan iklim usaha yang mendukung inovasi teknologi dan keamanan siber di dalam negeri harus diprioritaskan," tegasnya.

        Untuk itu Thomas menyebutkan klasifikasi data yang jelas, yang sayangnya sering luput di negara-negara yang mengejar kedaulatan siber, juga penting untuk menerapkan perlakuan khusus untuk setiap kategori data.

        Ia menyebutkan jenis data pribadi bervariasi, mulai dari nama dan nomor identifikasi hingga catatan kesehatan dan informasi keuangan dan risiko keamanan dari pengumpulan dan pemrosesan data, dan penggunaannya harus diatur tergantung pada seberapa sensitif informasi tersebut.

        "Dengan demikian, memerlukan pelokalan data untuk semua jenis data mungkin bukan kebijakan yang bijaksana. Sayangnya, di Indonesia, diskusi RUU PDP yang berlarut-larut menandakan bahwa klasifikasi data yang jelas, pengumpulan dan pemrosesan data yang akuntabel yang juga mendukung kemudahan arus data lintas batas belum akan tersedia dalam waktu dekat,” tandasnya.

        Ia mengutarakan data perlu digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk melalui inovasi di bidang jasa dan layanan digital. Apabila pembatasan pada arus data lintas batas tidak mendukung tujuan ini, maka kita perlu mengevaluasi kebijakan tersebut.

        "Data merupakan sumber daya yang dapat diproses untuk memahami perilaku dan preferensi pengguna. Namun penyalahgunaannya juga dapat berujung pada manipulasi perilaku dan sikap yang merugikan pengguna maupun negara. Untuk itu dibutuhkan upaya terstruktur untuk memaksimalkan penggunaan sekaligus perlindungannya."

        Kontrol berlebihan atas data, lanjutnya, dapat berdampak negatif terhadap persaingan, investasi, dan pada akhirnya pertumbuhan, apalagi jika tidak dibarengi dengan mekanisme perlindungan data yang memadai.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Nuzulia Nur Rahma
        Editor: Alfi Dinilhaq

        Bagikan Artikel: