Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Polemik Restitusi Korban Pemerkosaan Herry Wirawan, Mana yang Pantas Dibebankan Negara atau Pelaku?

        Polemik Restitusi Korban Pemerkosaan Herry Wirawan, Mana yang Pantas Dibebankan Negara atau Pelaku? Kredit Foto: Rawpixel
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Herry Wirawan divonis pidana penjara seumur hidup karena terbukti memperkosa belasan santriwati sejak 2016 lalu. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan mati yang dilayangkan jaksa. Selain menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup ke Herry Wirawan, PN Bandung menjatuhkan vonis restitusi ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sebesar Rp331.527.186. 

        Hal itu menjadi polemik karena pelaku kejahatan dilakukan oleh Herry, namun biaya restitusi korban harus dibayar oleh pemerintah. 

        Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga, Selasa (15/02/2022) mengatakan putusan Hakim terhadap penetapan restitusi tidak memiliki dasar hukum. Dalam kasus ini, KemenPPPA tidak dapat menjadi pihak ketiga yang menanggung restitusi. 

        Baca Juga: Soal Ganti Rugi 12 Korban Herry Wirawan yang Dibebankan Negara, KPPA Sambangi Kejati Jabar

        Awal Kasus Herry Wirawan 

        Herry Wirawan merupakan seorang guru ngaji di Pondok Pesantren di Kecamatan Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat. Dalam persidangan terungkap HW melakukan aksi bejatnya itu dalam kurun waktu tahun 2016 hingga 2021. 

        Akibat aksi bejatnya, ada 13 santri yang menjadi korban. Bahkan, delapan di antara 13 santri tersebut sudah melahirkan bayi. 

        Modusnya, korban diberikan berbagai macam janji dan iming-iming seperti menjadi polisi wanita (polwan), pengurus pesantren hingga akan dibiayai kuliah. 

        Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pun ikut mengomentari aksi bejat guru berinisial HW ini. Dalam akun instagram-nya, orang nomor satu di Jawa Barat ini menegaskan sekolah tersebut sudah ditutup dan pelaku saat ini sedang diadili. 

        Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia angkat bicara soal aksi bejat oknum guru pesantren tersebut. Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kemenag Thobib Al-Asyhar mengatakan, peristiwa ini mencuat sejak enam bulan lalu.  

        Sejak kejadian tersebut, lembaga pendidikan tersebut ditutup. Oknum pimpinan yang diduga pelaku tindak pemerkosaan juga telah ditahan di Polda Jabar untuk menjalani  proses hukum. 

        Tuntutan Jaksa Penuntut Umum 

        Jaksa penuntut umum menilai Herry Wirawan terbukti melanggar pasal tentang perlindungan anak serta tuntutan hukuman mati diberikan sesuai dengan perbuatan terdakwa. 

        Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum menilai Herry Wirawan telah merusak masa depan para korban. Herry Wirawan perkosa para korban di Rumah Tahfiz Madani, apartemen hingga hotel. 

        Bahkan dalam BAP, Herry Wirawan telah menjadikan anak dari korban sebagai alat minta sumbangan. 

        Tak hanya itu dalam mengelola keuangan pesantren, Herry Wirawan telah menyelewengkan Dana Indonesia Pintar dan Dana BOS. 

        Herry Wirawan juga dinilai telah merusak citra pesantren dan bidang pendidikan. 

        Pelaku pemerkosaan terhadap belasan murid perempuannya itu, dituntut oleh jaksa penuntut umum dengan hukuman mati serta hukuman tambahan berupa kebiri kimia. 

        Vonis Pengadilan Negeri Terhadap Herry 

        Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung dalam sidang agenda pembacaan vonis, Selasa (15/2/2022) menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada Herry Wirawan, terdakwa rudakpaksa 13 santri di Bandung 

        "Menyatakan terdakwa Herry Wirawan terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya sehingga yang dilakukan pendidik menimbulkan korban lebih dari satu orang beberapa kali sebagaimana dalam dakwaan primer." 

        "Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara seumur hidup," kata hakim, Selasa (15/2/2022). 

        Selain hukuman mati, hukuman kebiri kimia juga tak dikabulkan. Hakim punya alasan tersendiri mengenai kebiri kimia ini. Hakim menilai, Herry sudah divonis penjara seumur hidup, sedangkan kebiri kimia bisa dilakukan setelah Herry menjalani pokok pidananya. 

        "Menimbang dengan demikian, oleh karena tindakan kebiri kimia baru dapat dilakukan setelah terdakwa menjalani pidana pokok paling lama dua tahun, sementara apabila dituntut kemudian diputus pidana mati dan penjara seumur hidup yang tidak memungkinkan selesai menjalani pidana pokok maka tindakan kebiri kimia tidak dapat dilaksanakan," kata hakim. 

        Sedangkan untuk pembayaran restitusi atau ganti rugi terhadap korban, hakim mengalihkan pembayaran restitusi sebesar Rp 331 juta dialihkan ke negara atau kepada Kementerian PPA. 

        Restitusi tersebut diajukan oleh 12 orang korban Herry Wirawan. Adapun nominal restitusi yang diberikan beragam dari terendah sebesar Rp 8,6 juta hingga paling besar Rp 85 juta. Sehingga total pembayaran restitusi sebesar Rp331.527.186 juta. 

        "Oleh karena terhadap terdakwa tidak dibebani kewajiban membayar restitusi meskipun merupakan hukuman tambahan, namun majelis hakim berpendapat bahwa pembayaran restitusi tersebut di luar ketentuan hukuman tambahan sesuai pasal 67 KUHP. Maka restitusi harus dialihkan ke pihak lain," ujar hakim. 

        Menurut dia, pengalihan itu sesuai dengan peraturan Nomor 43 Tahun 2017 tentang pemberian restitusi bagi anak korban tindak pidana. Dalam aturan tersebut, kata hakim, apabila pelaku berhalangan, dialihkan kepada siapa membayar restitusi itu. 

        "Majelis hakim berpendapat bahwa tugas negara adalah melindungi dan menyejahterakan warganya, negara hadir melindungi warga negaranya dan perkara ini adalah para anak korban dan anak korban maka majelis hakim berpendapat bahwa tepat apabila beban pembayaran restitusi diserahkan kepada negara," tutur Hakim. 

        Tanggapan Kementerian PPPA yang Dibebani Restitusi Herry Wirawan 

        Sebelumnya, Kementerian PPPA menghormati putusan penjara seumur hidup meski putusan Hakim tidak sama dengan tuntutan JPU. 

        “Saya mengharapkan setiap vonis yang dijatuhkan Hakim dapat menimbulkan efek jera, bukan hanya pada pelaku, tapi dapat mencegah terjadinya kasus serupa berulang," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga, Selasa (15/02/2022). 

        Namun Menteri menegaskan putusan Hakim terhadap penetapan restitusi tidak memiliki dasar hukum. Dalam kasus ini, KemenPPPA tidak dapat menjadi pihak ketiga yang menanggung restitusi.  

        Merujuk pada Pasal 1 UU 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dimaksud dengan Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi tidak dibebankan kepada negara. 

        Di samping restitusi, Majelis Hakim juga menetapkan sembilan orang para korban dan anak korban diserahkan perawatannya kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dalam hal ini Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Barat, dengan dilakukan evaluasi secara berkala dan jika dalam waktu tertentu para korban dan anak korban dinilai sudah pulih secara fisik dan mental, maka akan dikembalikan kepada keluarganya. 

        "KemenPPPA mengapresiasi putusan yang mengatur keberlanjutan pemenuhan hak anak-anak korban dan upaya perawatan fisik dan psikis sembilan korban dan para anak korban di bawah pantauan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dalam hal ini UPTD PPA Provinsi Jawa Barat," kata Menteri PPPA. 

        Kemudian, Kementerian PPPA terus mendorong  Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Jawa Barat untuk melakukan upaya hukum banding  terhadap putusan  Hakim PN Bandung atas kasus HW terdakawa kasus pemerkosaan 13 santriwati di Bandung. KemenPPPA menilai putusan Hakim terkait  restitusi terhadap anak korban persetubuhan tidak dapat dibebankan kepada KemenPPPA. 

        "Dalam putusannya  Hakim menyatakan Negara harus hadir untuk melindungi dan memenuhi hak korban dengan cara memberikan restitusi. Hanya saja restitusi itu kewajiban pelaku dan pihak ketiga sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait Perlindungan saksi dan korban. Memperhatikan ketentuan tersebut, KemenPPPA tidak dapat dibebankan untuk membayar restitusi ,” kata Deputi Perlindungan Khusus Anak, KemenPPPA Nahar, Rabu (16/02/2022).  

        Nahar mengatakan Hakim membebaskan terdakwa dari hukuman bayar restitusi ganti kerugian dengan pertimbangan bahwa terdakwa telah dihukum seumur hidup. Hakim merujuk Pasal 67 KUHP yang menyebutkan jika terdakwa telah divonis seumur hidup di samping tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi, kecuali pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman majelis hakim.  

        Mempertimbangkan Asas hukum Lex posterior derogat legi priori, artinya asas hukum yang terbaru (lex posterior) kesampingkan hukum yang lama (lex prior) selanjutnya juga dapat mempertimbangkan ketentuan terbaru UU 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.  UU 17 tahun 2016 ini menegaskan bahwa pelaku persetubuhan terhadap anak disamping mendapatkan hukuman maksimal dengan pidana mati, dapat juga dikenakan juga hukuman tambahan, tindakan kebiri kimia dan rehabilitasi. Pertimbangan ini dapat diusulkan sebagai bahan penyusunan Memori Banding JPU.  

        “Penunjukan KemenPPPA yang akan menanggung restitusi perlu dipertimbangkan Kembali dengan alasan bahwa Pemerintah bukan keluarga atau relasi kuasa dari Terdakwa. Dengan mengacu pada UU 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan PP 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban sebagaimana telah dirubah melalui PP 35 Tahun 2020. Mengacu pada peraturan perundangan-undangan tersebut yang menegaskan bahwa Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, maka restitusi tidak dibebankan kepada negara,"  kata Nahar. 

        Tim KemenPPPA terus berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Dinas PPPA Jawa Barat dalam menyikapi putusan hakim yang menetapkan pelaksanaan restitusi kepada korban dan perawatan kepada 9 anak dari 8 anak korban dari total 13 anak korban yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk mendorong upaya banding. 

        Sikap Keluarga Korban Herry Wirawan Soal Restitusi 

        Sementara itu, keluarga korban juga meminta agar pembayaran restitusi ini diperhatikan. Keluarga korban meminta agar negara mengikuti putusan hakim tersebut.  

        "Ya itu kan putusan pengadilan itu mengikat, tidak bisa KemenPPA membantah atau menolak, ini kan harus menghormati putusan pengadilan dan harus tunduk kepada hukum, negara ini negara hukum dan kementerian juga disumpah untuk melaksanakan hukum, aturan, undang-undang," ucap Yudi Kurnia, kuasa hukum korban saat dihubungi, Kamis (17/2/2022). 

        Respons LPSK

        Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu mengatakan polemik pembayaran restitusi korban pemerkosaan 13 santriwati oleh Herry Wirawan mendapat perhatian serius dari Pengadilan Tinggi (PT) Bandung. 

        "Pengadilan Tinggi Bandung menangkap pesan soal polemik pembebanan restitusi oleh hakim kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai bagian negara," kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat. 

        Pasca-vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung khususnya kewajiban negara membayar restitusi pada korban, LPSK menilai hal tersebut kurang tepat. Sebab, restitusi merupakan ganti kerugian yang dibayarkan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau keluarga. 

        Pembayaran ganti rugi korban oleh pelaku atau pihak ketiga itu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK). 

        Namun, putusan majelis hakim PN Bandung tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. 

        Dia mengatakan PP tersebut tidak mengenal istilah pihak ketiga. Sementara, dalam kasus Herry Wirawan, negara bukan pihak ketiga karena negara tidak ada hubungannya dengan perbuatan pidana pelaku. 

        "Kalau negara jadi pihak ketiga, apakah negara berkontribusi terjadinya tindak pidana ini?" Tanyanya.

        Jaksa Banding Soal Restitusi

        Ada beberapa poin yang jadi catatan JPU atas banding tersebut. Selain meminta hukuman mati tetap diberikan, jaksa juga mengkritisi soal restitusi atau pembayaran ganti rugi terhadap korban. Dalam putusan hakim sebelumnya, restitusi sebesar Rp 331 juta itu dilimpahkan ke negara.

        Kepala Kejati Jabar Asep N Mulyana  menuturkan restitusi tersebut berbeda dengan pemberian kompensasi. Sehingga, dia menyebut keliru bila restitusi justru dialihkan ke negara melainkan harus dibayar oleh Herry selaku terdakwa. 

        "Nah bagaimana kalau sekarang ada restitusi yang diserahkan kepada negara, ini seolah-olah negara kemudian yang salah, seolah kemudian nanti akan menciptakan bahwa ada pelaku-pelaku lain nanti kalau berbuat kejahatan, itu ada negara yang menanggungnya," tutur dia. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rena Laila Wuri
        Editor: Fajria Anindya Utami

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: