Ahli Sikat Habis Pemerintah Soal Minyak Goreng: Tidak Kompeten dan Gagal Lawan Oligarki!
Pemerintah Tidak Kompeten Gagal Lawan Pasar Oligarki Minyak Goreng. Demikian pendapat para ahli yang hadir zoominari kebijakan publik Narasi Institute pada Jumat 18/3.
Para narasumber yang hadir adalah Anthony Budiawan, Direktur Eksekutif PEPS Indonesia, Prof Hermanto Siregar, Guru Besar IPB, Ahmad Alamsyah Saragih, Komisioner Ombudsman RI 2016-2021, Syahganda Nainggolan, Penggasan KAMI dan Aktivis dan Lely Pelitasari Waksekjen PERHEPI.
Baca Juga: Makjleb! Tokoh NU Senggol Cuitan Megawati Soal Minyak Goreng: Ketum Partai Wong Cilik Malah...
Lely Pelitasari menjelaskan bahwa komoditas minyak goreng tidak dimasukan sebagai bahan pokok yang seharusnya diatur oleh Badan Pangan Nasional.
"Badan Merujuk Peraturan Presiden Nomor 66 tahun 2021, 9 jenis pangan yang dikelola oleh Badan Pangan Nasional adalah beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang merah dan bawang putih, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas dan cabai dan minyak goreng tidak masuk dalam pangan tersebut. Ujar Lely Pelitasari Wakil Sekjen Perhepi.
Ekonomi Belum Pulih Kini Bahan Pokok Mahal
Fadhil Hasan selaku Co-Founder Narasi Institute menjelaskan bahwa situasi ekonomi belum pulih, kini Indonesia dihadapkan tantangan inflasi.
"Keterpurukan ekonomi yang saat ini belum dapat dipulihkan secara terus-menerus Indonesia dihadapkan kepada berbagai persoalan yang membuat masyarakat semakin menderita. Kenaikan-kenaikan harga yang sebelumnya hanya mimpi buruk sekarang satu persatu menjadi kenyataan. Dari mulai kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng, gula, kenaikan harga kedelai, dan barang-barang pokok lainnya menjadi serangan bertubi-tubi bagi masyarakat yang membuat penderitaan rakyat semakin akut". Ujar Fadhil Hasan.
Achmad Nur Hidayat, CEO Narasi Institute dan Pakar Kebijakan Publik mengatakan peranan pemerintah belum kompeten untuk dapat mengendalikan persoalan-persoalan kelangkaan minyak goreng dan bahan pokok lainnya.
Baca Juga: Siapa Sangka! Alasan Jokowi Cabut Subsidi Minyak Goreng: Peduli Rakyat dan Industri
"Kebijakan yang diambil benar-benar tidak menyelesaikan masalah. Publik bisa lihat bagaimana pemerintah menyerah ke mekanisme pasar. Sementara pasarnya bukan pasar persaingan sempurna melainkan pasar oligarki. Pemerintah dianggap tidak berdaya dalam pengendalian harga dan harus menyerahkan apa yang menjadi kepentingan oligarki." Ujar ANH yang juga pengajar FEB UPN Veteran Jakarta.
Aneh Pemerintah Tidak Punya Stok Minyak Goreng Nasional
Dalam pengendalian kelapa sawit, Lely Pelitasari, Wakil Sekjen Perheppi memaparkan pentingnya pemerintah untuk mempunyai stok, tidak hanya membuat regulasi di atas kertas.
“Dari aspek kelembagaan dan struktur dari industri minyak goreng. Problem minyak goreng ini tidak berdiri sendiri tapi terangkai dengan kebijakan dengan kelapa sawit. Apa yang terjadi secara sederhana efek dari tarik menarik antara sawit untuk minyak goreng dengan peruntukkan biodiesel.” Ujar Lely
Baca Juga: Ustaz Felix Siauw Sentil Mendag dan BNPT: Mafia Minyak Goreng Kok Enggak Dianggap Radikal?
“Pasar minyak goreng adalah oligopoli, karena konsentrasi untuk 4 perusahaan terbesar itu diatas 40%. Dan itu menunjukan struktur oligopoli. Dengan struktur ini maka prilakunya cenderung pada kolutif. Maka yang diperlukan adalah pemerintah yang powerfull. Bagaimana pemerintah bisa mengatur pasar yang seperti ini dengan satu mekanisme baik kebijakan yang sifatnya tarif atau non tarif. Satu hal yang dilupakan dalam hal ini adalah Pemerintah bisa mengatur tapi tidak memiliki barang. Berbeda dengan beras, ada cadangan. Dulu ketika Bulog menjadi masih menjadi badan urusan logistik LPNG, Bulog mewakili negara powerful terhadap 5 komoditas pokok termasuk minyak goreng. Jadi walaupun perusahaan bisa menjual dengan leluasa tapi ada negara melalui Bulog bisa mengatur secara langsung. Dan walaupun tidak memiliki secara fisik tapi perizinan jelas melalui Bulog.” Tambah Leli.
Leli menyebutkan ada dua pelajaran terkait kelangkaan minyak goreng yaitu pemerintah belum cukup serius urus minyak goreng dan pemerintag perlu merevisi Peprpres 66/2021 tentang Badan Pangan Nasional.
“Karena itu pelajaran pertama adalah Pemerintah tidak cukup hanya bisa mengatur dengan regulasi di atas kertas, tapi juga menguasai secara Stok. Inilah pentingnya di dalam UU Pangan adanya cadangan pangan pemerintah. Pelajaran kedua kenaikan minyak goreng ini salah satu efek minyak goreng tidak masuk dalam satu komoditas yang tidak diatur Perpres tentang Badang Pangan Nasional. Mari Indonesia lihat dalam perpres 66 tahun 2021 yang lalu, hanya 9 bahan pangan pokok diluar minyak goreng". Ujar Leli.
Baca Juga: Langka Diburu, Stok Melimpah Melejit, Persoalan Minyak Goreng Masih Berlanjut Pasca HET Dicabut
“Bulan Juli tahun 2021 pertanyaan besar minyak goreng tidak diatur dengan alasan karena minyak goreng itu bukan semata-mata komoditas pangan, tapi juga merupakan komoditas industri lain yang terkait dengan kebijakan energi.” kata Lely Pelitasari dalam diskusi Zoominary dengan tema “Harga Melonjak, Kemana Pemerintah Berpihak?” yang digelar secara daring oleh Narasi Institute.
Kesalahan Pemerintah Memberikan Regulated Price daripada Targeted Subsidy untuk Minyak Goreng
Komisioner Ombudsman RI 2016-2021, Ahmad Alamsyah Saragih menyampaikan beberapa hal penting terkait dengan opsi mengatasi kenaikan harga dalam bentuk subsidi.
“Ini sebetulnya hal yang sudah bisa diprediksi kalo untuk minyak goreng. Tahun 2019 ombudsmen ketika melakukan review terhadap kebijakan G20 sambil bercanda saya sudah bilang. Kalau kelapa sawitnya clear nanti di demo ema-ema. Karena kalau sawit Indonesia merupakan produsen utama, exportir CPO paling besar, kalau ditarik ke dalam harga internasional akan naik. Dan eskalasinya akan mempengaruhi harga minyak kedelai, minyak bunga matahari. Itu akan punya pengaruh.” Ujar Alamsyah.
Baca Juga: PSI Minta Mendag Tunjuk Hidung Mafia Minyak Goreng
“Pada saat harga minyak goreng sudahn naik kemudian saya lihat biasanya ada 2 opsi buat pemerintah, 1. Regulated price, 2 Targeted Subsidi. Awalnya tampaknya mau targeted subsidi tapi targeted subsidi itu resiko lebih rendah tapi harus keluar uang. Diambilah yang opsinya tidak keluar uang yaitu Regulated Price. Tapi jangan lupa bahwa pengaturan harga dengan HET dll membutuhkan penegak hukum mempunyai integritas yang tinggi dan kuat. Dan itupun biaya. Itu kadang-kadang decision maker ga sadar.” Ujar Alamsyah.
“Problemnya skemaa yang mau digunakan seperti apa. Hari ini belum dibahas secara detail Bagaimana memitigasi kemungkinan penyimpangan. Biasanya sudah targeted subsidi kemarin saja Bansos berakhir dengan menteri masuk penjara. Apakah mau menggunakan instrumen bantuan pangan non tunai tambah item. Itu yang harusnya dipublish ke publik. Problem yang kedua adalah operasi pasar. Karena bukan Cuma kelompok2 tidak mampu yang harus diberi minyak goreng bersubsidi itu. Tapi juga UMKM2 terutama yang skala mikro seperti tukang gorengan. Itu harus ditempuh dengan skema operasi pasar khusus. Pertanyannya Bulog siap atau tidak? Sedangkan Badan pangan tidak diberi mandatory untuk mengelola minyak goreng. Itu yang hari ini harusnya dibicarakan jika Indonesia mau membicarakan targeted subsidi. Jangan sampai dipake instrumen politik untuk partai berbagi-bagi.” Ujar Alamsyah
“Memang harga-harga lagi naik. Minyak nabati lagi naik, minyak kedelai itu selalu posisinya di atas dari minyak sawit dan sempat anjlok dan minyak sawit berada di atas. Kemudian dengan adanya perang Rusia Ukraina merambat ke minyak bunga matahari yang berhenti pasokannya. Ini akan menyebabkan minyak sawit akan terus berekskalasi.” Ujar Alamsyah
“Maka saya kira perlu pembahasan yang lebih spesifik, lebih teknis bagaimana mengatasi dampak kenaikan harga ini mengingat mayoritas warga Indonesia 50% pengeluarannya untuk makanan. Bagaimana mengatasi ini bukan hanya disuruh waspada agar efeknya tidak buruk.” Ujar Alamsyah
Baca Juga: Tinjau Pabrik Minyak Goreng di Bali, Kapolri Pastikan Stok dan Harga Sesuai HET Dipasaran
“Belajar dari kasus sawit, hati-hati betul dengan rantai pasok. Dan ingat pangan ini adalah kebutuhan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dan pasal 33 UUD 45 sudah menyatakan “dikuasai pemerintah”. Maka tidak bisa dibiarkan sepenuhnya ke pasar. Ini lebih penting dari pembangunan IKN.” Ujar Alamsyah
“Dulu begitu Jokowi bilang Indonesia mau G30 eropa menarik embargonya. Diundurkan jadi 2029. Eropa tahu efeknya kalau Indonesia tarik untuk G30. Harga sawit akan naik membuat harga vegetable oil yang lain juga akan ikut naik. Indonesia ga sadar kalau Indonesia mempunyai power. Politik ekonomi sawit harus dikelola dengan baik. Untuk itu semua harus dapat duduk sama-sama. Semua orang harus mendapat benefit yang sama mulai dari petani, pengusaha sampai emak-emak. Harus benar-benar dihitung dan dijadikan alat diplomasi dalam situasi seperti ini. Indonesia tidak mungkin bisa menjadikan alat diplomasi jika Indonesia tidak pernah diberikan informasi yang clear tentang neraca sawit dan step-step yang mau diambil oleh pemerintah. Jadi berhentilah bermain-main (test case), lebih baik ini dibicarakan secara strategis dan kemudian dihitung benar dampak globalnya sehingga Indonesia bisa dapat apa. Juga mendapatkan benefit yang lain. Begitu juga batubara.” Kata Ahmad Alamsyah Saragih yang juga disampaikan dalam diskusi Zoominary dengan tema yang sama.
Baca Juga: Stok Minyak Goreng Sudah Banyak, Mendag Lutfi Yakin Harga Akan Segera Turun
Kebijakan Pemerintah Salah Kaprah
Anthony Budiawan, PEPS Indonesia memaparkan bagaimana pemerintah salah kaprah dalam mengatasi permasalahan kenaikan harga karena tidak mengerti permasalahan.
“Pemerintah gagal antisipasi kenaikan harga pangan. Dan sekarang diserahkan kepada mekanisme pasar dimana ini akan mencekik rakyat.
Kenaikan dari komoditas ini sudah dari tahun lalu. Sebelum perang juga sudah naik.
Pemerintah merasa bangga mengatakan bahwa ekonomi sudah bangkit, tercermin dengan surplus transaksi berjalan. Memang surplusnya sangat besar. Lebih dari 30milyar. Tapi itu milik pengusaha, hasil dari ekspor batu bara, sawit dan sebagainya. Jadi dolar ini milik pengusaha. Kalo pemerintah membanggakan APBN sudah bagus tapi tidak mengantisipasi dilain pihak, kenaikan harga ini membebani masyarakat. Indonesia bisa melihat harga BBM dan Gas jadi naik sedemikian rupa karena tidak di antisipasi. Jadi pemerintah sekarang mengantisipasinya dengan melepas ke mekanisme pasar.
Pemerintah kalau tidak mau mengeluarkan subsidi yang terjadi adalah barangnya langka/dihilangkan. Begitu juga minyak goreng. Subsidi yang diambil dari BPDPKS yang harusnya untuk peremajaan, tapi sudah dibuat subsidi untuk Bio Fuell yang sudah mencapai 100trilyun lebih. Dananya tinggal sedikit. Jadi begitu mau dibuat subsidi minyak goreng dananya tidak cukup. Mereka khawatir itu tidak bisa dibayar, dan mekanismenya pun tidak jelas maka barang itu diselundupkan ke luar negeri. Yang menyedihkan Mendag tidak bisa mengantisipasi, tidak mengerti permasalahan, tapi tuduhannya macam-macam. Diantaranya warga menimbun minyak goreng, kenaikan kedelai karena masalah babi di Cina yang mengkonsumsi kedelai, dan lain-lain, dan kemudia mengatakan bahwa dia tidak bisa melawan mafia. “
Baca Juga: Kapolri Terbang Langsung ke Bali Tinjau Pabrik Minyak Goreng
“Yang terjadi adalah DMO dilepas yang secara konstitusi menyalahi UUD pasal 33. Itu diperlukan untuk di dalam negeri. Jadi sudah jelas Indonesia itu sekarang dikuasai oleh Oligarki” ujar Anthony Budiawan dalam diskusi Zoominary dengan tema yang sama.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar