Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Indonesia Financial Watch Dorong BPOM Melihat Motif Bisnis Dibalik Polemik BPA

        Indonesia Financial Watch Dorong BPOM Melihat Motif Bisnis Dibalik Polemik BPA Kredit Foto: Ilustrasi Galon BPA
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pusat Kajian Finansial Indonesia atau Indonesia Financial Watch (IFW) mendorong independensi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di tengah persaingan bisnis para produsen air minum dalam kemasan (AMDK) yang terjadi saat ini.

        Dengan posisi seperti itu, sebagai otoritas pengawas keamanan pangan dan minuman di Indonesia, BPOM diharapkan akan bisa tetap menjaga independensinya di tengah kampanye negatif yang menyasar produk air kemasan galon polikarbonat.

        “Jadi, BPOM sebagai pengawas keamanan pangan harus menjaga netralitas dan jangan sampai dijebak oleh agenda terselubung pihak tertentu,” ujar Founder dan Koordinator Forum Indonesia Financial Watch (IFW), Abraham Runga Mali. 

        Seperti diketahui, bisnis AMDK di Indonesia memasuki babak baru ketika sejumlah organisasi, LSM, dan pendengung (buzzers) media sosial, beberapa waktu lalu mendesak agar BPOM mengatur ulang regulasi terkait dengan kemasan AMDK galon guna ulang.

        Mereka yang paling gencar mendorong isu ini di media merupakan organisasi bentukan baru seperti JPKL di awal isu berhembus kemudian sekarang FMCG Insights - organisasi berbentuk perkumpulan yang dikomandoi oleh Achmad Haris, mantan Tenaga Ahli anggota DPR Komisi X, yang tidak memiliki jejak di industri FMCG. Markas FMCG di sebuah rulo di Pejaten ini sepi dan tidak ada kegiatan di dalamnya.

        Kelompok kelompok bentukan baru seperti FMCG Insights ini tetiba memunculkan nama pengurus yang juga sulit dicari jejak kredibilatas maupun jejak digitalnya seperti Muhammad Hasan yang mendapuk dirinya sebagai koordinator riset FMCG Insights.

        Celakanya, seperti dikatakan salah seorang pengurus Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), media media online mengutip dan percaya begitu saja statement statement narasumber ini tanpa cek dan ricek kredibilitas mereka atas isu yang mereka angkat.

        FMCG Insights menghembuskan isu tunggal tentang BPA di air kemasan galon dengan mengait-ngaitkan kekhawatiran potensi migrasi atau perpindahan zat Bisphenol A (BPA) sebagai salah satu bahan yang dipakai dalam pembuatan galon polikarbonat (plastik keras).

        Padahal, menurut pakar pakar ahli polimer   ITB selama lebih dari 30 tahun keberadaan air galon ini di Indonesia, tak pernah ada kecemasan apa pun sehubungan kandungan BPA dalam galon berbahan polikarbonat ini.

        Bahkan, BPOM sebagai regulator menegaskan meski mengandung BPA, air galon guna ulang itu sangat aman untuk dikonsumsi karena tingkat migrasinya jauh di bawah batas aman yang dipersyaratkan oleh aturan BPOM. 

        Kata Abraham, isu ini menjadi bising setelah munculnya produk galon kemasan PET yang diluncurkan secara masif di awal 2020. Karenanya, dia meminta BPOM agar tidak gegabah dan menyerah begitu saja terhadap kampanye hitam dan desakan segelintir pihak yang meminta mereka menerbitkan regulasi tambahan yang mewajibkan produsen AMDK galon polikarbonat untuk mencantumkan BPA Free pada kemasannya.

        “BPOM harusnya ikut menyelidiki motif dan siapa di balik desakan ini,” tukasnya.

        Apalagi, kata Abraham, melalui laman resminya, BPOM sudah menegaskan bahwa hasil pengawasan terhadap galon AMDK berbahan polikarbonat selama lima tahun terakhir memperlihatkan migrasi BPA di bawah 0,01 bpj (10 mikrogram/kg).

        Dengan kata lain, BPOM menyampaikan bahwa migrasi BPA dalam air kemasan galon polikarbonat itu sangat kecil atau masih dalam ambang batas aman untuk kesehatan.

        Selain itu, ada juga beleid seperti Permenperin No 26 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Air Mineral, Air Demineral, Air Minum Alam, dan Air Minum Embun secara Wajib, yang juga menegaskan galon guna ulang aman untuk dikonsumsi karena telah melalui proses pengujian parameter SNI.

        “Artinya, ketika pelaku industri AMDK sudah memenuhi segala regulasi tersebut, tak ada alasan rasional apapun bagi BPOM untuk menerbitkan regulasi baru atau tambahan,” katanya. 

        Dia menduga wacana pelabelan BPA Free dalam kemasan galon polikarbonat itu mewakili agenda tersembunyi pelaku usaha tertentu yang juga 'bermain' dalam bisnis AMDK, yang ingin memperbesar pangsa pasar dengan cara 'menyingkirkan' pemain lama melalui aturan pelabelan BPA Free dalam galon polikarbonat.

        Menurutnya, aturan ini akan menciptakan relasi asimetris antar-produk dengan menekankan pada kemasan, dan bukan produk yang dikonsumsi. 

        “Karenanya, BPOM harus tetap independen dan menjaga marwahnya sebagai otoritas pengawas obat, makanan dan minuman secara netral, dan tidak memihak agar tetap bisa dipercaya dan bisa diandalkan oleh masyarakat luas. Jangan sampai BPOM bisa dimanfaatkan pihak tertentu dan oknum lainnya yang bersekongkol berusaha mengambil keuntungan besar dengan cara membonceng penerbitan aturan BPOM,” ujarnya. 

        Abraham melihat sangat berbahaya kalau di balik penerbitan beleid BPOM ada transaksi uang dalam jumlah besar sebagai 'imbal jasa' untuk memunculnya suatu peraturan baru, yang tidak didasarkan pada hasil penelitian yang sahih dan urgensinya pun dipertanyakan secara akademis. 

        “Jika BPOM selalu mengkampanyekan konsumen untuk membaca label pangan, sudah seharusnya BPOM pun teliti membaca motif pihak-pihak yang mendesak penerbitan aturan label pangan sebelum menerbitkan aturan tersebut,” ucapnya.

        Komisioner Komisi Persaingan Uasaha (KPPU), Chandra Setiawan, juga  melihat polemik isu  BPA ini berpotensi mengandung diskriminasi.

        Sebab, menurutnya, 99,9% industri ini menggunakan galon yang digunakan atau diisi ulang, dan hanya satu yang produknya menggunakan galon sekali pakai jenis PET.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Bagikan Artikel: