Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Simak Review Tingkat Fluktuasi Harga Sembako, Begini Hasilnya...

        Simak Review Tingkat Fluktuasi Harga Sembako, Begini Hasilnya... Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Berdasarkan data komoditas pangan strategis Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, sembako dapat digolongkan menjadi beras, minyak goreng, cabai, gula, bawang putih, bawang merah, daging sapi, daging ayam, dan telur ayam.

        "Kami dari Samudera Logistics Indonesia telah melakukan review mengenai alur perdagangan dan logistik dari sembako. Berdasarkan alur perdagangan, komoditas pertama, beras, adalah komoditas sembako dengan tingkat fluktuasi harga yang paling rendah," papar Ekonom Samudera Indonesia Research Initiatives (SIRI) Denny Irawan dalam webinar 'Membedah Alur Perdagangan dan Logistik Sembako', pada Kamis (28/4/2022).

        Baca Juga: Sambut Hari Raya Idul Fitri, Millennial Peruri Bagi-Bagi Sembako ke Masyarakat Sekitar

        Beras, selain karena mayoritas konsumsinya dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri, fluktuasi harga beras yang rendah disebabkan oleh intervensi pemerintah melalui Badan Urusan Logistik (Bulog) yang bertanggung jawab dalam menjaga pasokan beras di pasar tetap aman.

        Di Indonesia, sentra produksi beras berada di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Berat. Dengan volume konsumsi 31,9 juta dan volume produksi di kisaran 31 – 31,5 juta ton, persentase impor beras dari total konsumsi secara tahunan kurang dari 2 persen. Dari sisi intervensi pemerintah, harga beras ditetapkan berdasarkan Harga Eceran Tertinggi (HET) dan operasi pasar (saat dibutuhkan) melalui Bulog.

        Kemudian untuk komoditas kedua, ada minyak goreng (migor), migor merupakan komoditas sembako dengan tingkat fluktuasi harga yang relatif tinggi. Fluktuasi harga minyak goreng sebenarnya sangat jarang terjadi. Dalam 5 tahun terakhir, fluktuasi harga minyak goreng yang sangat tinggi hanya terjadi di tahun 2022. Fluktuasi tersebut terjadi karena invasi Rusia ke Ukraina yang membuat permintaan dan harga kelapa sawit dunia meningkat yang pada akhirnya mendorong produsen kelapa sawit (bahan baku utama minyak goreng) untuk mengekspor produknya sehingga membuat pasokan kelapa sawit domestik mengalami kekurangan.

        Di Indonesia, sentra produksi minyak goreng berada di Provinsi Sumatera Utara, Riau, dan Jakarta. Dengan volume konsumsi 6,1 juta ton, permintaan minyak goreng Indonesia sepenuhnya dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Dari sisi intervensi pemerintah, harga minyak goreng ditetapkan berdasarkan harga eceran tertinggi.

        Baca Juga: Istilah 'Kelangkaan' Migor Dinilai Tidak Tepat, Kenapa?

        "Komoditas yang ketiga ada cabai. Cabai merupakan komoditas sembako dengan tingkat fluktuasi harga yang sangat tinggi. Dalam 5 tahun terakhir, fluktuasi harga cabai terjadi di setiap tahun. Fluktuasi tersebut terjadi karena pemerintah tidak terlalu banyak mengintervensi pasar cabai," ungkapnya.

        Selain itu, dari sisi pasokan, seluruh cabai konsumsi berasal dari produksi domestik. Kegiatan impor cabai, yang menyumbang sekitar 8 hingga 9 persen kebutuhan cabai domestik, hanya dilakukan untuk cabai kering (untuk kebutuhan industri).

        Selanjutnya, untuk komoditas keempat, gula adalah komoditas sembako dengan tingkat fluktuasi harga yang relatif tinggi. Dalam 5 tahun terakhir, fluktuasi harga gula terjadi di tahun 2019, 2020, dan 2022. Fluktuasi tersebut sangat berkaitan persentase impor gula yang mencapai 75,5 persen dari total kebutuhan domestik.

        Baca Juga: PSI Soroti Soal Kaos Anies Baswedan Presiden, Loyalis: Mereka Ingin Beliau Naik Pangkat, Salah?

        Komoditas kelima dan keenam, bawang putih dan bawang merah, adalah komoditas sembako dengan tingkat fluktuasi harga yang sangat tinggi. Dalam 5 tahun terakhir, fluktuasi harga gula terjadi di setiap tahun. Fluktuasi tersebut adalah kombinasi dari sentra produksi kedua komoditas tersebut yang mayoritas berada di Pulau Jawa/berasal dari impor serta tingkat kerumitan logistik yang relatif tinggi karena sangat sensitif terhadap perubahan cuaca dan membutuhkan perlakuan khusus dengan menggunakan cold chain logistics dalam proses pengiriman.

        Sementara itu, komoditas ketujuh dan kedelapan, daging sapi dan daging ayam, adalah komoditas dengan tingkat fluktuasi harga yang relatif rendah. Fluktuasi harga daging sapi yang relatif rendah lebih disebabkan karena konsumsi daging di Indonesia lebih banyak daging ayam (3,4 juta ton) dibandingkan daging sapi (0,55 juta ton).

        "Sedangkan, fluktuasi harga daging ayam yang relatif rendah disebabkan oleh kebutuhannya yang dapat dipenuhi oleh produksi domestik," ujar Denny.

        Baca Juga: Sambut Idul Fitri, Holding Danareksa Bagikan Al Quran dan Paket Sembako kepada Masyarakat

        Dan untuk komoditas yang terakhir, telur ayam, adalah komoditas dengan tingkat fluktuasi harga yang relatif rendah. Sama dengan daging ayam, kebutuhan telur ayam dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Sentra produksi telur ayam di Indonesia mayoritas berasal dari Pulau Jawa (Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat).

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Martyasari Rizky
        Editor: Aldi Ginastiar

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: