Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Hukuman Mati Selayaknya Jadi Momok Bagi Predator Seksual Anak!

        Hukuman Mati Selayaknya Jadi Momok Bagi Predator Seksual Anak! Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak seakan tidak pernah surut. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat, Angka laporan kasus kekerasan terhadap anak tercatat meningkat dari 11.057 pada 2019, 11.278 kasus pada 2020, dan menjadi 14.517 kasus pada 2021.

        Jumlah korban kekerasan terhadap anak juga meningkat dari 12.285 pada 2019, 12.425 pada 2020, dan menjadi 15.972. Bila diperinci, laporan kekerasan terhadap anak terdiri dari kasus kekerasan seksual (45 persen), kekerasan psikis (19 persen), dan kekerasan fisik (18 persen). 

        Lalu, bagaimana upaya kita dalam melindungi anak dari predator seksual? Siapa saja yang patut kita waspadai, bagaimana segera tahu anak mengalami pelecehan atau kekerasan seksual dan upaya menolong anak jika sudah mengalaminya? 

        Masyarakat Indoesia sangat mengutuk keras tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum guru yang dilakukan di lingkungan pendidikan terutama lingkungan pendidikan keagamaan yang sering terjadi akhir-akhir ini. Baca Juga: KemenPPPA Berkolaborasi dengan Polda Sumut dalam Penanganan Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak

        Kasus yang menyita perhatian yang ada di Bandung, ada sekitar 14 orang santri yang menjadi korbannya dan mirisnya 9 orang korban sampai melahirkan bayi. Terdakwa dalam kasus tersebuy yakni Herry Wirawan seorang oknum guru di sebuah pesantren. 

        Diketahui bahwa kasus Herry ini telah memperkosa 20 santrinya. Aksi bejat Herry Wirawan ini telah terungkap sejak Mei 2021 dan viral di media sosial pada Desember 2021. 

        Kemudian, Herry Wirawan divonis hukuman mati. Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung mengabulkan banding dari Jaksa. 

        "Menerima permintaan banding dari jaksa/penuntut umum. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati," ucap hakim PT Bandung yang diketuai oleh Herri Swantoro sebagaimana dokumen putusan Senin (4/4/2022). 

        Dalam dokumen tersebut, pembacaan vonis diputuskan dalam sidang terbuka pada hari ini. Hakim dalam putusannya juga memperbaiki putusan PN Bandung yang sebelumnya menghukum Herry Wirawan hukuman seumur hidup.

        Kasus lain yang menyita perhatian publik yakni kasus Abah Heni yang memperkosa 10 anak perempuan. Abah Heni melakukan aksinya itu terhadap bocah perempuan yang notabene merupakan teman main dari anaknya. Terhitung sejak 2017, ada 10 bocah perempuan yang jadi korban kebiadaban Abah Heni. 
         
        Rata-rata korban berusia paling muda 5 tahun dan paling tua 11 tahun. Aksi itu dilakukan terdakwa di kediamannya di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. 
         
        Dalam putusan PN Cibadak, terdakwa sendiri sudah divonis selama 15 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsidair 3 bulan kurungan. 
         
        Akan tetapi, jaksa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Bandung. Hakim PT Bandung lantas memperberat hukuman terdakwa dengan menjatuhkan vonis hukuman mati. 
         
        Hukuman mati dijatuhkan hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Bandung dalam sidang yang digelar pada Selasa (26/4/2022). Dalam sidang tersebut, majelis hakim yang diketuai oleh Yuli Heryati itu menganulir putusan 15 tahun penjara yang sebelumnya diketok hakim Pengadilan Negeri (PN) Cibadak Sukabumi.

        Hukuman mati berfungsi untuk efek jera yang membuat orang tidak melakukan kejahatan serupa sehingga terbentuklah ketenangan dan ketentraman di tengah masyarakat dan memberi rasa keadilan bagi korban tindak pidana dan keluarganya yang mengalami penderitaan.

        Sementara itu, di sisi lain, pihak yang kontra terhadap tuntutan tersebut, khususnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama para aktivis HAM, memandang bahwa pidana mati bukan merupakan solusi yang tepat untuk mengakhiri rentetan kasus kekerasan seksual yang kini melanda Tanah Air. 

        Komisioner Pemantauan/Penyelidikan Komnas HAM Mohammad Choirul Anam menegaskan bahwa pihaknya akan selalu menolak hukuman mati.

        Sepanjang tahun 2021, jagat diskusi publik telah dipenuhi oleh keinginan para aktivis HAM untuk menghapuskan pidana mati di Indonesia. Pidana tersebut juga memperoleh kecaman dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) beserta seluruh organisasi afiliasi, termasuk The United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) atau Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kejahatan.

        Kecaman tersebut berlandaskan pada argumen bahwa hukuman mati bersifat permanen dan tidak dapat diubah (irreversible), serta melanggar HAM yang paling fundamental, yaitu hak untuk hidup.

        Walaupun hukuman mati berfungsi untuk efek jera dan sudah banyak yang dijatuhi hukuman mati, kejahatan tetap berlangsung. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menanggapi penjatuhan vonis mati kepada predator anak. 

        Menteri PPPA menegaskan penerapan hukuman yang sangat berat merupakan wujud komitmen terhadap pemberantasan kekerasan seksual, di samping juga pencegahan yang harus diperkuat. Baca Juga: 10 Tahun Perjalanan Panjang, Kekerasan Seksual Akhirnya Diatur Undang-undang

        “Saya selalu menyampaikan bahwa kekerasan seksual tidak bisa ditolerir karena merupakan pelanggaran terhadap kemanusiaan dan memberi dampak negatif terhadap psikis anak. Luka fisik, trauma seumur hidup, ketidakberdayaan, stigma dialami korban kekerasan seksual anak,” kata Menteri Bintang dalam keterangannya, Sabtu (30/4/2022). 

        Indonesia masih menghadapi tantangan atas tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) KemenPPPA tahun 2021, kasus kekerasan terhadap anak tercatat 11.952 kasus. Dari jumlah tersebut 7.004 kasus merupakan kekerasan seksual anak.   

        Menteri Bintang menegaskan dibutuhkan kerja sama semua pihak, mulai dari aparat penegak hukum, pemerintah pusat dan daerah, masyarakat dan orang tua untuk melakukan pencegahan sehingga dapat menurunkan angka kekerasan seksual anak. 

        Dalam amar putusan hakim Pengadilan Tinggi Bandung menyatakan terdakwa Hendi terbukti bersalah melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap lebih dari satu orang, sesuai Pasal 76D UU 35 tahun 2014 jo Pasal 81 Ayat 1, 2, 5 UU 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.  Para korban perkosaan yang berusia 5 – 11 tahun mengalami luka di beberapa bagian tubuh, salah satunya terganggunya fungsi di bagian alat reproduksi. 

        Hal senada juga disuarakan oleh anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan, vonis mati sudah pernah melalui pengujian Mahkamah Konstitusional dan telah dinyatakan konstitusional. Oleh karena itu, Arteria Dahlan sangat mendukung hukuman mati terhadap "predator" anak.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rena Laila Wuri
        Editor: Fajar Sulaiman

        Bagikan Artikel: