Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Kacaribu mengatakan, Indonesia sudah menunjukkan progres yang nyata dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir dalam hal penanganan risiko bencana.
Beberapa upaya yang telah dilakukan Pemerintah adalah penerbitan regulasi dan panduan pembangunan rumah tahan gempa, integrasi pengurangan risiko dengan sistem perencanaan spasial, serta penguatan data.
Baca Juga: Kemenkeu Ajak Negara dalam Forum GPDRR Perkuat Kolaborasi Penanggulangan Bencana Iklim
"Kita telah menerbitkan berbagai bauran regulasi dan panduan teknis untuk penanggulangan risiko bencana," kata Febrio dalam siaran resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Senin (30/5/2022).
Febrio menjelaskan Indonesia memiliki skema Strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana atau Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI) untuk memitigasi risiko bencana. Strategi tersebut menjadi contoh dalam pertemuan ketujuh forum Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) yang diselenggarakan di Bali pada 23-28 Mei 2022.
Baca Juga: Media Center di Pertemuan GPDRR 2022 Diapresiasi Jurnalis Asing
"Strategi DRFI berisi campuran instrumen yang memungkinkan Pemerintah untuk meminimalkan risiko bencana, seperti mengatur strategi pendanaan risiko bencana melalui APBN/APBD, maupun memindahkan risikonya kepada pihak ketiga melalui pengasuransian aset pemerintah dan masyarakat," terangnya.
Lebih lanjut, Febrio mengungkapan Pemerintah mengubah pendekatan pembiayaan risiko bencana dari reaktif menjadi lebih proaktif melalui strategi DRFI tersebut.
"Artinya, Pemerintah berusaha untuk mengurangi ketergantungan pada APBN dan lebih banyak pada instrumen pembiayaan lainnya. Ini juga berarti bahwa Pemerintah berkomitmen untuk berinvestasi lebih banyak dalam kegiatan prabencana," ujar Febrio.
Di sisi lain, Pemerintah juga memiliki program Dana Bersama Bencana atau Pooling Fund Bencana (PFB) yang merupakan bagian dari DRFI. PFB dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dalam rangka memperkuat sinergi antara aksi perubahan iklim dan pengurangan risiko.
Baca Juga: Kemenparekraf Ajak Pelaku Pariwisata Turut Aktif Tanggulangi Bencana
"PFB memobilisasi dana, terutama pada tahap prabencana dari APBN, APBD, dan sumber daya lainnya, seperti sektor swasta, lembaga keuangan, masyarakat, negara mitra dan lain-lain. Dana tersebut akan digunakan untuk membiayai kegiatan terkait bencana pada tahap prabencana, darurat, dan pascabencana, termasuk pengalihan risiko dengan memperoleh produk asuransi untuk melindungi aset publik dan masyarakat kita yang rentan, seperti petani dan nelayan," jelas Febrio.
Adapun selama operasi awal, yaitu lima hingga tujuh tahun pertama, PFB akan fokus pada penghimpunan dana dan pembiayaan program mitigasi, kesiapsiagaan, dan pengurangan risiko, termasuk membayar premi untuk asuransi aset publik.
Baca Juga: Kemenkeu: Ketahanan Eksternal Indonesia Tetap Terjaga, Berikut Penjelasannya!
Skema pengalihan risiko dilakukan melalui penerapan asuransi barang milik negara (BMN) dan asuransi pertanian.
"Kami mulai mengasuransikan aset nasional kami pada 2019. Asuransi untuk gedung pemerintah, pusat pelatihan, dan fasilitas kesehatan terhadap risiko bencana adalah proyek percontohan. Sampai dengan hari ini, kami telah mengasuransikan 2.112 bangunan seluruh K/L dengan total nilai pertanggungan sekitar Rp17,05 triliun atau setara dengan USD1,03 miliar," tutup Febrio.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Martyasari Rizky
Editor: Ayu Almas