Dr. Raymond R. Tjandrawinata: Dunia Harus Bersatu Menanggapi Krisis Ekonomi Global Pascapandemi
Salah satu hal yang luar biasa dalam tatanan ekonomi global sejak Perang Dunia II adalah adanya fleksibilitas pemerintah dalam menanggapi krisis yang serius. Dari stagflasi dan runtuhnya rezim mata uang Bretton Woods di tahun 1970-an, krisis keuangan Asia tahun 1990-an hingga krisis keuangan global di abad ini, tatanan ekonomi dunia telah terbukti ulet dan mahir dalam menemukan cara untuk bekerja sama untuk mengatasi tantangan-tantangan serius.
Namun saat ini garis keberuntungan itu akhirnya bisa pecah. Rangkaian masalah saat ini yang berupa perang Rusia-Ukraina, tingginya tingkat inflasi, kelangkaan pangan dan energi global, pelepasan gelembung aset di Amerika Serikat, krisis utang di negara-negara berkembang, dan dampak berkelanjutan dari pascapandemi COVID-19, serta kemacetan rantai pasokan mungkin merupakan krisis yang paling serius dari semuanya.
Baca Juga: Antisipasi Krisis Ekonomi Global, Jokowi Minta Segera Lakukan Efisiensi
OECD dan Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun Ini tidak lebih dari 3 persen sehingga diperlukan beberapa tanggapan kolektif untuk menjawab tantangan global ini. Kerja sama tingkat global sangat mendesak, namun sayangnya terlihat sangat kecil kemungkinan hal itu akan terjadi.
Kerja sama yang tidak produktif, ironisnya, merupakan suatu konsekuensi dari kesuksesan masa lalu. Kemampuan dunia di masa lalu untuk mengelola krisis, mengatasi gangguan, dan memulihkan pertumbuhan global menunjukkan bahwa lebih banyak negara saat ini telah menjadi cukup kaya untuk menjadi berpengaruh dan menuntut agar kepentingan mereka dipertimbangkan.
Yang lain mengejar tujuan teritorial atau ideologis yang mereka anggap lebih mendesak daripada prioritas ekonomi saat ini. Akibatnya konsensus menjadi hampir tidak mungkin ditemukan. Dunia akan dipenuhi oleh serangkaian kepentingan yang saling bersaing di mana setiap kepentingan akan berusaha menemukan cara untuk mencapai agenda mereka. Tak ada lagi usaha kolektif untuk bersama-sama mengatasi tantangan-tantangan global saat ini.
Baca Juga: Mengulik Akar Krisis Ekonomi yang Melanda Sri Lanka, Penting buat Indonesia?
Hal ini sangat terlihat pada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dengan adanya 164 anggota dan aturan bahwa setiap kesepakatan membutuhkan konsensus di antara negara semua, WTO semakin susah membuahkan hasil konsensus yang bisa diterapkan secara global.
Contoh yang konkret adalah fakta bahwa negara-negara anggota WTO masih belum memberikan persetujuan kolektif untuk menyetujui pelepasan hak paten untuk vaksin COVID-19. Coba saja hal ini disetujui di tahun 2021, dunia akan semakin terbantu dengan adanya vaksin generik berteknologi tinggi.
Hal lain, para menteri perdagangan yang berpartisipasi dalam WTO sudah bernegosiasi selama lebih dari dua dekade untuk membatasi subsidi penangkapan ikan berlebihan yang merusak di lautan dunia. Walaupun WTO pernah membuat terobosan baru untuk menetapkan aturan perdagangan dan menyelesaikan perselisihan, WTO hanya memainkan sedikit peran dalam mengatasi tantangan global rantai pasokan saat ini.
Krisis pangan global juga tidak mungkin untuk ditanggapi secara efektif karena lebih dari dua puluh empat negara telah memberlakukan pembatasan ekspor untuk melestarikan pasokan makanan di negara mereka yang terancam oleh runtuhnya ekspor gandum Ukraina dan Rusia.
Baca Juga: Waspada, Efek Krisis Global! Indonesia Bisa Masuk Krisis Ekonomi Lagi
Walaupun ketidaksepakatan negara-negara anggota WTO sering mengecewakan, namun kegagalan untuk mencapai kesepakatan yang ditujukan untuk meningkatkan produksi vaksin, mencegah krisis pangan, atau membatasi penangkapan ikan yang berlebihan akan semakin memperkuat pandangan bahwa WTO tidak lagi menjadi forum yang layak untuk mengatasi kekurangan perdagangan internasional.
Yang pasti, kegagalan persetujuan tidak akan berakibat fatal bagi sistem WTO yang mengatur arus perdagangan senilai lebih dari USD17 triliun setiap tahun. Tetapi hal ini bisa menjadi tanda yang sangat jelas bahwa mitra dagang dunia sedang menggambar ulang kesetiaan di sepanjang garis geopolitik, suatu fase baru dimana negara-negara kuat semakin kuat dan negara lemah diinjak-injak.
Tentu saja tak ada lembaga yang dapat diabaikan. Terbukti selama ini pemerintah negara-negara selalu menemukan cara baru dan kreatif untuk bekerja sama ketika lembaga lama tidak cukup mahir menyelesaikan masalah.
Baca Juga: Selain Pandemi Covid-19, Ada Pembahasan Lain yang Dibahas oleh WTO, Soal?
Contoh kejadian di tahun 1970-an, ketika dunia menghadapi analogi yang sangat mirip dengan tantangan hari ini. Badai inflasi nyaris sempurna nan tak terkendali, perang di Vietnam dan Timur Tengah, kartel minyak yang mendorong harga energi global, runtuhnya sistem mata uang yang didukung emas di bawah kesepakatan Bretton Woods, serta skandal politik Watergate presiden Nixon di Amerika Serikat menghasilkan periode ketidakstabilan global dan pertumbuhan ekonomi yang sangat lemah.
Pada awalnya, pemerintah tidak dapat bekerja sama secara memadai untuk mengatasi tantangan tersebut. Saat itu berkembanglah beberapa teori yang menggambarkan "krisis legitimasi" kapitalisme Barat. Tetapi para menteri keuangan dari negara-negara Barat terkemuka saat itu datang bersama-sama untuk mencoba membangun sistem moneter baru setelah Amerika Serikat saat itu.
Presiden Richard Nixon mengakhiri konvertibilitas emas ke dolar pada tahun 1971. Upaya ini mengarah langsung ke pertemuan puncak G6 pertama di Perancis pada tahun 1975, di mana para pemimpin negara-negara industri besar bersama-sama memutuskan untuk menemukan cara yang saling memperkuat dalam menghidupkan kembali ekonomi mereka yang sakit.
Kelompok tersebut, yang kemudian menjadi G7, terus memberikan struktur koordinasi yang longgar untuk kepentingan ekonomi Barat terkemuka saat ini. Lebih dari dua dekade G7 berlangsung relatif lancar. G20 kemudian lahir dari serangkaian krisis keuangan yang tidak stabil, termasuk krisis peso Meksiko 1994-1995, krisis keuangan Asia 1997-1998, dan keruntuhan mata uang Rusia 1998.
Baca Juga: Awas, Cara-cara Sri Lanka Terjerembap dalam Krisis Ekonomi Dapat Diambil Pelajaran
Pada saat itu, kekuatan ekonomi baru yang signifikan telah muncul dan hal ini diakui oleh pembentukan G20. Kelompok G20 termasuk Indonesia, India, Brasil, Rusia, Meksiko, dan Tiongkok. Seperti G7, G20 dimulai sebagai pertemuan rutin para menteri keuangan dan ditingkatkan menjadi pertemuan puncak para pemimpin tahunan selama krisis keuangan global 2008.
Di tengah krisis dan akibatnya, G20 menjadi titik fokus bagi upaya global untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi, membantu melejitkan ekonomi global melalui langkah-langkah stimulus terkoordinasi, bekerja untuk memperkuat regulasi keuangan, dan memperluas kapasitas pinjaman Dana Moneter Internasional (IMF).
Yang pasti, upaya kooperatif semacam itu sepertinya jarang membuahkan hasil yang bersifat transformasional. Baik G7 maupun G20 tidak memiliki otoritas pengambilan keputusan, lebih berfungsi sebagai suatu wadah dan upaya untuk mendorong negara-negara agar mengambil kebijakan yang saling mendukung. Tujuan organisasi semacam itu seringkali bukan tentang mengembangkan skema besar untuk pemulihan, namun bertujuan lebih kearah penjagaan agar masalah dunia tidak bertambah buruk.
Baca Juga: Menkeu: Dana Perantara Keuangan Pandemi G20 Capai USD1,1 Miliar
Salah satu pencapaian utama G20 selama krisis keuangan global adalah persetujuan dari negara-negara anggota untuk menghindari respon proteksionis, yang akan memperburuk perlambatan global. Bahkan pencapaian sederhana seperti itu jauh lebih baik daripada negara-negara yang bekerja dengan tujuan yang saling bertentangan atau secara aktif merusak kepentingan ekonomi satu sama lain.
Jadi, jika WTO dibelenggu oleh konsensus dan jika G7 dan G20 tidak memiliki otoritas, kelompok atau badan apa yang mungkin akan naik untuk menyelamatkan krisis dunia saat ini?
Amerika Serikat dan mitranya secara aktif bekerja untuk melemahkan ekonomi Rusia melalui sanksi terluas yang pernah dikenakan, dan Rusia merespons dengan memblokir pengiriman gandum Ukraina melalui pelabuhan Laut Hitamnya. Hal ini membuat G20 terpecah dan tidak berdaya.
Kelompok Amerika Serikat telah menyerukan pengusiran Rusia dari kelompok G20 dan mengancam akan memboikot pertemuan jika Rusia hadir. Tetapi mengeluarkan Rusia dari grup tidak mungkin terjadi karena hanya Kanada dan Australia yang secara resmi bergabung dengan permintaan Amerika Serikat untuk melakukannya.
Baca Juga: Rusia: Drone-drone Milik Ukraina Hantam Kilang Minyak Kami
Negara kita yang menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tahun ini bersifat netral dengan tetap mengundang Rusia ke pertemuan November yang direncanakan dan juga mengundang Ukraina, yang bukan anggota G20. Partisipasi Rusia saja mungkin cukup untuk meniadakan G20, tetapi anggota lain juga tidak mungkin mengikuti strategi apa pun yang didasarkan pada penguatan ekonomi global sambil mengisolasi Rusia.
Tiongkok, khususnya, telah menolak untuk memutuskan hubungan dengan Rusia dan berfokus pada swasembada yang lebih besar untuk melindungi ekonominya dari jenis sanksi yang dikenakan terhadap Rusia oleh ekonomi Barat.
Ada banyak lagi inisiatif yang dikemukakan oleh Amerika Serikat dan mitranya di G7. Walaupun sangat kreatif, namun tidak satu pun dari inisiatif ini yang dapat menjawab bagaimana cara menghadapi urgensi krisis saat ini. Saat krisis sebelumnya, pemerintah negara-negara dunia terkemuka mampu memilah dan menyisihkan banyak perbedaan mereka untuk menghasilkan tanggapan kerja sama yang kuat. Namun saat ini hal tersebut belum terlihat sama sekali.
Baca Juga: Kunjungan Jokowi ke Rusia dan Ukraina Bisa Selamatkan Dunia, Alasannya Bikin Bangga
Putusnya kerja sama ini mungkin merupakan efek yang dapat bertahan lama dan hal ini sangat mengkhawatirkan. Namun demikian, gangguan tersebut belum secara signifikan merugikan perdagangan global secara keseluruhan di mana nilai perdagangan dunia mencapai rekor tertinggi pada tahun 2021 sebesar USD28.5 triliun, meskipun melambat tahun ini karena sektor-sektor penting seperti makanan dan energi telah terganggu secara signifikan.
Tetapi krisis saat ini telah menunjukkan bahwa ekonomi terkemuka dunia tidak lagi bersatu pada pentingnya pertumbuhan dan stabilitas ekonomi dan tidak dapat bekerja sama semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan tersebut. Kapal pelayaran dunia tahu bahwa ia harus bersatu, namun masalahnya saat ini tidak terdapat nahkoda kapal yang handal.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait: