Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ancaman Inflasi Global dan Risiko Resesi bagi Indonesia

        Ancaman Inflasi Global dan Risiko Resesi bagi Indonesia Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Dunia tengah berhadapan dengan inflasi global yang diproyeksikan akan terus berlanjut hingga 2023 mendatang. Di 2022 sendiri, sejumlah lembaga memprediksi inflasi global akan menembus 7% hingga 9% secara tahunan (year-on-year/yoy).

        Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan penyebab tingginya inflasi global adalah kenaikan harga minyak mentah akibat perang Ukraina yang belum bisa dipastikan akan mereda dalam waktu dekat. Ketegangan di Ukraina berdampak pada tingginya harga minyak mentah yang terus bertahan di rentang US$90 hingga US$110 per barel.

        Di sisi lain, pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia, memiliki keterbatasan fiskal untuk menahan harga energi subsidi. Ditambah lagi dengan kondisi sektor pangan yang berhadapan dengan cuaca ekstrem serta mahalnya harga pupuk sehingga inflasi di sektor pangan cenderung liar. Pada akhirnya, dukungan anggaran pemerintah melalui bantuan sosial makin menipis. Kondisi tersebut diperparah dengan sejumlah perusahaan yang meminta bantuan dana talangan atau bailout maupun keberlanjutan stimulus perpajakan kepada pemerintah.

        Baca Juga: Ekonom Prediksi Indonesia Bakal Alami Resesi di Paruh Kedua 2022 Akibat Inflasi Global

        "Sejauh ini, alat instrumen untuk menjinakkan inflasi di sebagian besar negara adalah dengan menaikkan tingkat suku bunga," ujar Bhima saat dihubungi Warta Ekonomi, Senin (18/7/2022). "[Tetapi] imbas dari kenaikan suku bunga tidak langsung membuat harga barang turun, justru kenaikan suku bunga secara agresif akan menaikkan biaya pinjaman pelaku usaha. Ujungnya, perusahaan akan meneruskan kenaikan bahan baku dan suku bunga ke konsumen akhir."

        Inflasi global akan memperbesar probabilitas Indonesia masuk pada resesi ekonomi. Menurut Bhima, terdapat tiga jalur yang membuat Indonesia berpeluang mengalami resesi ekonomi.

        Pertama, jalur pasar keuangan yang memungkinkan investor mengalihkan aset dari negara berkembang ke negara maju atau ke aset yang lebih aman, seperti instrumen berbasis dolar Amerika Serikat. 

        "Aliran modal yang keluar menyebabkan shock pada nilai tukar rupiah sehingga proyeksi pelemahan kurs dapat mencapai Rp15.500 sebelum akhir tahun ini," jelas Bhima.

        Kedua, jalur perdagangan. Sejumlah negara yang mengalami resesi ekonomi memiliki hubungan dagang dengan Indonesia. Di kawasan ASEAN misalnya, Laos dan Myanmar dapat mengurangi surprus perdagangan secara regional meski hanya berkontribusi 0,34% terhadap total ekspor Indonesia.

        "Kalau Myanmar dan Laos bangkrut, efeknya bisa meluas ke wilayah ASEAN," ungkap Bhima.

        Ketiga, jalur investasi langsung, yakni tertundanya realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) dari negara-negara maju karena faktor risiko yang tinggi. Bhima bilang, "Ibaratnya, negara asal investasi sedang terganggu karena resesi, sehingga aliran modal ditunda dulu untuk ekspansi ke Indonesia."

        Meski sejumlah indikator ketahanan ekonomi Indonesia terbilang jauh lebih baik dibanding krisis pada 2008 dan taper tantrum pada 2013, misalnya cadangan devisa yang cukup gemuk dengan nilai US$136,4 miliar serta windfall harga komoditas yang berhasil menjaga nilai rupiah, namun indikator tersebut tidak dapat dipastikan kestabilannya dan masih mungkin terpengaruh oleh kondisi perekonomian global.

        "Contohnya, ketergantungan terhadap harga komoditas tentu cukup berisiko. Sekarang harga crude palm oil (CPO) di pasar internasional anjlok 6,3% dalam setahun terakhir, menjadi 3.762 RM per ton (data per 13 Juli 2022). Kemudian, nikel juga mulai alami koreksi dalam sebulan terakhir. Artinya, menggantungkan ketahanan eksternal dengan fluktuasi harga komoditas sama dengan naik roller coaster tanpa sabuk pengaman. Sekali harga komoditas anjlok, hilang pendapatan, devisa dan pertahanan ekonomi langsung melemah," papar Bhima.

        Dampak tersebut telah terlibat pada kondisi petani sawit lokal yang sampai menjual TBS (tandan buah segar) mereka ke Malaysia lantaran anjloknya harga di dalam negeri.

        Bagi kelompok pekerja, imbasnya akan terasa pada biaya hidup yang kian mahal. Kondisi ini tidak diiringi dengan nilai upah yang hanya naik rata-rata sekitar 1%. "Cicilan motor dan rumah juga makin mahal karena suku bunga otomatis naik. Banyak tekanan yang disebut sebagai cost of living crisis atau krisis biaya hidup," terang Bhima.

        Direktur CELIOS itu menilai, apabila kondisi krisis terus berlanjut, makin banyak kelompok pekerja yang jatuh ke bawah garis kemiskinan.

        "Dalam jangka panjang, pekerja rentan bisa jatuh ke bawah garis kemiskinan meskipun seolah tetap aktif bekerja," tutup dia.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Imamatul Silfia
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: