Soal Kemungkinan Ferdy Sambo Dijatuhi Hukuman Mati, Guru Ilmu Hukum Sebut Larangan PBB
Prof Romli Atmasasmita, Guru ilmu hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) menjabarkan mengenai kemungkinan beban hukuman yang akan diberikan kepada Ferdy Sambo dan empat tersangka lainnya.
“Pernyataan Kapolri pada Selasa 9 Agustus 2022 telah menghentikan spekulasi awam dan ahli mengenai akhir dari perkara pembunuhan “polisi oleh polisi” yang meramaikan dinamika sosial di seantero Tanah Air”, ungkapnya seperti dilansir dari Republika, Senin (12/09/22).
Ia mengatakan bahwa ketidakpastian hukum mengenai perkara tersebut berakhir setelah Kapolri menyatakan bahwa Ferdy Sambo memerintahkan Brigadir E untuk membunuh (alm) Brigadir J sehingga kronologi kasus ini menjadi lebih terang benderang dan sekaligus membantah dan menolak berita awal yang tersebar luas ke masyarakat.
Baca Juga: Tuntutan Masyarakat Akan Kasus Ferdy Sambo, Jokowi dan Mahfud MD Harus Turun Tangan Lagi
Sedangkan masalah pelecehan yang diduga dilakukan Brigadir J menurutnya sudah terhenti dengan sendirinya karena ketentuan Pasal 77 KUHP memastikan bahwa kewenangan menuntut pidana hapus jika tertuduh meninggal dunia.
Sehingga tidak ada kepentingan hukum lain bagi peradilan terhadap Ferdy Sambo dkk hanya menemukan motif dari pembunuhan semata demi kepentingan terdakwa.
Masalah lain yang juga penting dari peristiwa ini adalah mengenai ancaman pidana mati dalam Pasal 340 KUHP yang merupakan ancaman pidana maksimal bagi Ferdy Sambo. Apakah sepatutnya Ferdy Sambo dipidana mati hanya karena motivasi pelecehan terhadap istrinya, Putri Candrawathi terhadap Brigadir J (korban)?
Baca Juga: Mempertanyakan Hasil Tes Kebohongan Ferdy Sambo dan Alasan Polri Tidak Mengungkapnya ke Publik
Penilaian mengenai standar kepatutan dari aspek kemanusiaan yang adil dan beradab dewasa ini telah mengalami perubahan signifikan sehubungan dengan pertanyaan tersebut bahkan menjadi polemik yang berlarut-larut di dalam pergaulan masyarakat internasional.
Perubahan pertama diawali dengan konvensi internasional PBB mengenai hukuman mati (death penalty).
Perubahan terkini mengenai hukuman mati menunjukkan bahwa sikap negara-negara di dunia terhadap penghapusan hukuman mati terbagi menjadi dua kelompok, yaitu negara abolisionis dan negara retensionis.
Negara abolisionis merupakan negara yang mendukung atau telah menerapkan penghapusan hukuman mati, sedangkan negara retensionis merupakan negara-negara yang menolak penghapusan hukuman mati atau masih menerapkan hukuman mati.
Baca Juga: Bripka RR Pertimbangkan Jadi Justice Collaborator Setelah Tak Satu Suara dengan Ferdy Sambo
Sampai saat ini Indonesia termasuk negara retensionis terhadap hukuman mati, dan hal ini tampak dari sikap Mahkamah Konstitusi dalam perkara Uji Material UU Narkotika.
Namun, jika berdasarkan Resolusi Sidang Majelis Umum PBB No. 44/128 tanggal 15 Desember 1989.
Resolusi PBB tersebut mengharapkan/mengimbau negara anggota PBB untuk secara evolusioner menghapuskan pidana mati.
Pengaturan tentang pidana yang lebih maju telah dilakukan pemerintah dan DPR RI dalam pembahasan RUU KUHP 2019/2020 dimana pidana mati telah diatur sebagai pidana alternatif bukan lagi menjadi pidana pokok, dalam arti hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika:
a. terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;
b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting; atau
c. ada alasan yang meringankan.
Baca Juga: Tudingan Pelecehan Seksual ke Istri Ferdy Sambo Jadi Sorotan, LBH APIK Ungkap Hal Ini, Simak!
Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.
“Penerapan pidana mati dalam hal tindak pidana khusus dan bersifat serius dan merupakan ancaman serta bahaya yang bersifat massal menghancurkan kehidupan bangsa dan negara dilakukan oleh suatu organisasi kejahatan bersifat transnasional merupakan standar kepatutan dan perikemanusiaan yang layak dipertahankannya pidana mati,” ungkapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sabrina Mulia Rhamadanty