Hukuman Mati di Beberapa Negara Sudah Dihilangkan, Bagaimana Nasib Ferdy Sambo di Indonesia?
Perjalanan kasus tewasnya Yosua Hutabarat alias Brigadir J yang kini telah ditetapkan sejumlah tersangka pembunuhan berencana salah satunya adalah Irjen Ferdy Sabo terus mendapat perhatian masyarakat.
Ferdy Sambo yang menjadi dalang di balik pembunuhan berencana itu kini terancam hukuman maksimal yang tidak main-main, yakni hukuman mati.
Meski demikian, layak atau patut tidaknya hukuman mati ke Ferdy Sambo ini juga jadi pembahasan yang tak mudah dan telah menjadi bahan diskusi sejumlah pengamat dan pakar.
Mengenai ancaman hukuman mati ke Ferdy Sambo ini, Pakar Hukum Universitas Padjajaran Profesor Romli Atmasasmita mengungkapkan standar kepatutan dari aspek kemanusiaan mengalami perubahan.
“Penilaian mengenai standar kepatutan dari aspek kemanusiaan yang adil dan beradab dewasa ini telah mengalami perubahan signifikan sehubungan dengan pertanyaan tersebut bahkan menjadi polemik yang berlarut-larut di dalam pergaulan masyarakat internasional.” tulis Romli dalam catatannya di laman Republika, dikutip Selasa (13/9/22).
Menurut Romli, perubahan terjadi ditandai dengan konvensi internasional PBB mengenai hukuman mati (death penalty).
Mengenai perkembagan yang ada, Romli menjelaskan bahwa hukuman mati yang ada di berbagai negara menunjukkan adanya pembagian terhadap dua kelompok pandangan mengenai jenis hukuman ini. Pertama adalah Abolisionis (Mendukung Penghapusan Hukuman Mati) dan yang kedua, Retensionis (Mendukung Penerapan Hukuman Mati).
“Sampai saat ini Indonesia termasuk negara retentionis terhadap hukuman mati, dan hal ini tampak dari sikap Mahkamah Konstitusi dalam perkara Uji Material UU Narkotika,” lanjut Romli.
Dalam sikap MK yang disinggung tadi, Romli menjelaskan bahwa dipandang Hukuman mati diperlukan untuk mencegah dan memberantas kejahatan-kejahatan tadi, maka langkah-langkah demikian bukan hanya tidak bertentangan tetapi justru dibenarkan dan diakui konvensi internasional.
Pakar Ilmu Hukum Universitas Padjajaran tersebut juga mengungkapkan bahwa Pengaturan tentang pidana yang lebih maju telah dilakukan pemerintah dan DPR RI dalam pembahasan RUU KUHP 2019/2020 pidana mati telah diatur sebagai pidana alternatif bukan lagi menjadi pidana pokok.
“Dalam arti hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika: a. terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana tidak terlalu penting; atau c. ada alasan yang meringankan,” tulisnya.
Atas dasar itu Romli menyebut bahwa meskipun sikap pemerintah RI masih tetap retentionis bersyarat, tampak jelas asas kepatutan dan alasan kemanusiaan telah berkembang sedemikian rupa di Indonesia.
“Penerapan pidana mati dalam hal tindak pidana khusus dan bersifat serius dan merupakan ancaman serta bahaya yang bersifat massal menghancurkan kehidupan bangsa dan negara dilakukan oleh suatu organisasi kejahatan bersifat transnasional merupakan standar kepatutan dan perikemanusiaan yang layak dipertahankannya pidana mati,” tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Bayu Muhardianto