Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ekonom Menilai Tahun 2022 Jadi Momentum Tepat untuk Reformasi Kebijakan Subsidi Energi

        Ekonom Menilai Tahun 2022 Jadi Momentum Tepat untuk Reformasi Kebijakan Subsidi Energi Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pengamat ekonomi menilai tahun ini merupakan momentum yang paling tepat dalam melakukan reformasi kebijakan subsidi energi. Pertimbangannya adalah masih adanya ruang diskresi dalam APBN 2022 terkait defisit dan soal ongkos politik yang akan makin besar jika ditunda.

        "Momentum reformasi kebijakan subsidi energi harus segera dipercepat di semester dua ini. Sebab, ini akan membuat perubahan drastis kebijakan subsidi energi," kata Ekonom INDEF, Abra Talattov, mengutip sebagaimana dalam siaran resmi Kementerian Keuangan, Senin (19/9/2022).

        Baca Juga: Kontribusi APBN dalam Kebijakan Subsidi Turut Jaga Pemulihan Ekonomi Nasional, Ini Kata Kemenkeu!

        Menurut Abra, kebijakan tersebut akan menimbulkan beberapa implikasi, seperti inflasi meski sifatnya temporer, serta resistensi dan pro kontra dari masyarakat terhadap kebijakan baru.

        "Momen reformasi di tengah tahun kedua ini juga akan memungkinkan dilakukannya evaluasi. Jadi, ketika dampak negatifnya cukup luas dan besar, pemerintah bisa melakukan penyesuaian atau penyempurnaan kebijakan," ujar Abra.

        Baca Juga: Diproyeksi Terus Menguat Tajam, Kemenkeu: APBN akan Terus Mendukung Ekspor dan Perekonomian

        Ruang diskresi terkait defisit pada APBN 2022 dan kondisi APBN semester I/2022 yang surplus juga menjadi semakin menguatkan bahwa momentum reformasi kebijakan subsidi yang tepat adalah tahun ini. Dengan demikian, jika terjadi risiko akibat reformasi tersebut masih dapat diredam dengan fleksibilitas APBN.

        "Saya pikir momentum tepat adalah di tahun ini dibanding tahun depan saat defisit APBN tidak bisa lagi di atas 3 persen dari PDB. Jika ternyata ada ekses negatif dari kebijakan transformasi subsidi energi, pemerintah masih bisa meredamnya," kata Abra.

        Lebih lanjut, Abra memberikan contoh, misal pemberian subsidi energi oleh pemerintah ditargetkan kepada 40 persen masyarakat terbawah. Namun, pada kenyataannya, masyarakat yang berada di 50 hingga 70 persen juga membutuhkan subsidi tersebut.

        "Mungkin pemerintah masih bisa memperluas pemberian subsidi energi, bukan hanya 40 persen terbawah, tapi sampai 70 persen. Tetapi ini akan dievaluasi seperti apa besaran subsidi yang diberikan, seberapa besar efisiensi yang diciptakan dari perubahan kebijakan subsidi energi secara tertutup," ujar Abra.

        Baca Juga: Segera Cek! Ini Nama Penerima BSU Subsidi Gaji Rp600 Ribu Tahap 2

        Perspektif senada disampaikan Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky. Ia menilai bahwa saat ini adalah momentum untuk melakukan reformasi fiskal, terutama subsidi BBM. Menurutnya, selain saat ini Indonesia telah melewati pandemi, situasi saat ini juga belum terlalu jauh memasuki tahun politik. Dengan demikian, ongkos politiknya masih tidak sebesar jika ditunda ke tahun berikutnya.

        "Menurut saya lebih cepat lebih baik karena semakin ditunda, political cost makin besar. Makin dekat pemilu makin mahal ongkos politiknya. Dalam arti lebih banyak yang perlu dinegosiasi dan perlu banyak mendapatkan dukungan politik dari sisi manapun," kata Riefky.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Martyasari Rizky
        Editor: Ayu Almas

        Bagikan Artikel: